Halaman

Senin, 20 Juni 2011

Diam

DIAM

D
alam mendengarkan seseorang yang bicara, kita seharusnya mendengarkan apa yang mereka katakan (meskipun tidak penting) dengan penuh atensi sembari menjaga kontak mata dan bahasa tubuh yang positif, seolah-olah mereka yang maha penting di mata kita. Lakukanlah dengan dibarengi sebuah senyuman, maka mereka akan memahami apa yang tersembunyi dari Anda lewat senyuman itu.
Karena, ini adalah skill dan attitude yang mutlak dimiliki siapapun agar bisa memahami dan menghargai orang lain pada tingkat yang lebih tinggi. Mendengarkan (listening) merupakan salah satu skill yang harus dimiliki siapapun tak cuma pemimpin bisnis atau pejabat pemerintah, tetapi juga kita sendiri.
Mendengarkan bukan merupakan solo performance, melainkan circular connection yang saling terkait. “I listen, you respond; you listen, I respond”.
Karena seperti kita tahu, komunikasi merupakan proses penyampaian ide antara dua pihak yang berbeda. Agar berjalan dengan efektif, kita tak cuma harus menjaga apa yang kita ucapkan melainkan juga mendengarkan dengan engagement yang penuh.
Kemampuan mendengarkan adalah hal yang sangat krusial. Misalnya, seorang pemimpin (leader) bertanggung jawab terhadap kinerja dan hasil dalam suatu organisasi. Sukses tidaknya dipengaruhi oleh sebarapa efektif ia memobilisasi orang-orang di sekitarnya dengan misi, visi, nilai yang diemban; serta bagaimana orang-orang tersebut mendengar dengan baik. Dengan itu ia juga akan mendapatkan balasan positif yang berguna bagi pertumbuhan dan produktivitas.
Kenapa bangsa ini terpuruk dan carut marut tak karuan? Kenapa bangsa ini mulai kehilangan nilai-nilai ketimurannya? Barangkali karena kita telah salah bercara pandang, akhirnya kita terlalu banyak berbicara dan bukannya mendengarkan orang-orang di sekeliling kita dan memperhatikan apa-apa yang ada di sekitar kita.
“Sesungguhnya sekarang kalian melakukan perbuatan yang kalian lihat lebih kecil dari sehelai rambut, tetapi pada zaman Rasulullah saw, kami menganggapnya dosa besar yang membinasakan.” (HR. Bukhari)
Mungkin inilah saatnya untuk mulai belajar menghargai orang lain.
Belajarlah mendengarkan orang lain!
“Karena apa?’
Karena manusia memang cenderung lebih ingin didengarkan. Dalam sebuah survei terhadap ribuan percakapan telephone, terdapat satu kata yang paling banyak disebut. Kata itu adalah saya. Hasil ini mengindikasikan bahwa mayoritas orang ternyata lebih suka menonjolkan kediriannya: bahwa saya lebih ingin bicara dan didengarkan.
Saya punya tips praktis: cobalah hari ini juga, Anda seharian mencoba berbicara SESEDIKIT MUNGKIN, dan LEBIH BANYAK MENDENGAR. Entah bertemu dengan teman, saudara, pasangan

hidup atau siapapun. Dengarkan dengan PENUH EMPATI apa saja celoteh mereka. Dan TAHAN ego dan keinginan Anda untuk BERCELOTEH. Praktekkan tips ini dengan sepenuh hati. Dan percayalah, Anda akan surprise, betapa hidup akan jauh lebih bermakna jika Anda lebih sedikit bicara.
Namun, mendengarkan orang lain bukanlah hal yang mudah, asal tahu saja bahwa hampir semua orang memang berorientasi pada diri sendiri, bagaimana citra dirinya di hadapan orang lain, dsb. Mendengarkan orang lain memang penting. Tetapi bagaimana kita mendengarkan hati kita juga tak kalah penting. Semakin tinggi intelektualitas seseorang semakin mudah mengabaikan bisikan hati kita. Makin sering kita mengabaikan, makin mudah kita menjadi seorang yang ignorant.
Di negara luar sana, mendengarkan adalah salah satu skill yang harus dikuasai mahasiswa komunikasi. Ilmu tentang mendengarkan itu merupakan wacana yang selalu dibahas di dalam satu chapter khusus dari buku-buku kojo KAP (komunikasi antarpribadi atau komunikasi interpersonal) keluaran orang luar seperti DeVito, McCroskey, dll. Kalau untuk pengarang dalam negeri, apa kita pernah membacanya? Ada bab mendengarkan di buku-buku KAP mereka (kecuali yang memang membahas komunikasi secara keseluruhan).
Jadi benar sekali kalau orang-orang Indonesia memang belum aware dengan wacana yang satu ini. Coba saja bersurvei kecil-kecilan terhadap teman-teman kita (se-angkatan, se-jurusan, se-kosan, se-kelas, se-angkot, atau lainnya!). Pastilah akan sedikit sekali yang benar-benar bisa menyimak apa yang lagi dibicarakan. Mereka biasanya mudah teralihkan dengan pikiran mereka (yang akhirnya dibicarain juga) tentang, “kalau pengalaman gw, kalo menurut gw, gw juga punya cerita kaya gitu, kalo gw sih yippi,” semuanya tentang gw, saya, aku.
Dari sekarang kita memang harus belajar mendengarkan, bukan?
Sayangnya, orang yang lebih banyak bicara daripada mendengarkan, justru seringkali lebih menonjol di komunitasnya. Interesting topic, sering dianggap sepele, padahal penting. Allah SWT saja memberi kita dua telinga dan satu mulut. Artinya kita harus mendengar lebih banyak daripada berbicara. Percayalah, effective listening (EL) itu powerful. Dari yang pernah saya pelajari stepsnya itu mengulang apa yang kita dengar (yang saya tangkap adalah), memperjelas isi (mohon anda jelaskan lagi apa yang anda maksud dengan), mengakui (bila apa yang saya artikan benar, maka maksud anda adalah) dan terakhir tawarkan pendapat (dapatkah saya kemukakan pendapat saya atas pendapat anda bahwa) selain itu eye contact jangan lupa. Insya Allah, kalau kita ikuti steps ini tak akan ada lagi miscommunication.
Terkadang menjadi pendengar harus rela menyediakan waktu untuk sesuatu yang belum tentu cocok dengan hatinya. Terkadang juga harus rela menyediakan waktunya untuk sesuatu yang belum tentu cocok dengan hatinya. Justru memang di situ intinya. Bandingkan antara telinga dan mata. Untuk mata, biasanya kita bisa meluangkan waktu untuk melihat sesuatu, kita mengeksplorasi dan menganalisanya dengan berbagai kerumitan, yang tentu belum tentu sesuai dengan hati kita. Kita bisa karena kita sadar dan kita siap untuk melihat apa adanya .
Seharusnya berlaku hal yang sama untuk telinga, kita bisa belajar meluangkan waktu untuk mendengar, lalu mengeksplorasi dan menganalisa dengan kesadaran dan kesiapan untuk mendengar apa adanya.

Memang sulit dalam prakteknya. Kita biasanya terlalu bersemangat dengan ide kita sehingga gagal menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Lantas kita berbicara secara langsung dan terus terang. Namun, tahukah Anda bahwa hal itu dapat membuat sesuatu menjadi tidak efektif. Bahkan kadang menjadi tidak berguna.
Tapi kalau kita bisa melakukannya, kita akan jadi sedemikian menarik, itu karena kita pendengar yang baik; untuk memberi manfaat, terkadang kita culup sebagai mustamik saja, cukup sebagai pendengar. Dengan tak memotong pembicaraan, kalau tidak setuju, jangan langsung menyanggah, namun lontarkanlah pertanyaan ingin tahu. (Beda dengan pertanyaan pengacara yang berkesan mematahkan argumen); Dan segala sesuatu itu janganlah berlebihan, termasuk dalam pertanyaan ingin tahu tersebut. Karena tahu terlalu banyak itu kadang berbahaya. Jadi tanyakanlah rasa ingin tahu itu apa-apa saja yang baik untuk Anda. Kalau Anda tahu terlalu banyak, nanti Anda akan bingung.
Meski kita memahami bahwa kita jangan selalu ingin menangnya sendiri, namun bukan berarti kita tak boleh berkata-kata. Boleh kita berkata-bata, asal bukan hanya sekedar apa sedang kita sampaikan itu benar, namun juga mencermati apakah cara penyampaiannya juga sudah benar, sudah sesuaikah dengan pendengar ataukah belum. Orang jawa bilang, “Benar yang disampaikan dan benar dalam penyampaiannya”. Jadi jangan hanya berbicara benar saja. Ada tata kramanya. Ada aturan dalam membicarakan sesuatu.
Maka hati-hatilah menggunakan pisau mulut atau berbicara. Karena berbicara bisa mengalahkan tajamnya pisau atau pedang. Yang terkadang pun tidak hanya sekedar berdarah, namum masuk kedalamnya hati. Memberikan luka yang lebih membekas ketimbang pisau itu sendiri. Membuat goredan hati yang tak terobati. Dan yang fatal, suli lagi bagi kita untuk mengajak bicara lagi orang yang sudah terluka hatinya.
Pantas Umar bin Khothob mengatakan, “Orang yang paling banyak bicara adalah orang yang paling banyak kesalahannya.”
Berkatalah yang tepat saja, yang memberikan pandapat yang bijak, serta perencanaan yang matang. Banyaklah diam dan memperhatikan. Berilah pendapat yang sesuai kenyataan. Berilah pendapat tidak jika sekiranya jawaban itu lah yang terbaik. Dengan jawaban demikian kita tak akan dicela, sebab dari semula kita tak memberikan janji apapun terhadapnya. Bahkan jawaban ini lebih baik daripada meng’iya’kan namun tak sesuai kenyataan. Karena meng’iya’kan sesudah meniadakan adalah sikap terpuji. Sebab dengannya, mata hati Anda akan terbuka. Walaupun semua hal akan tetap sama, tapi tafsirannya akan jadi berbeda. Hati Anda akan terbuka, melampui tataran materi yang ada disekeliling Anda, menemui getar nurani yang tercipta. Dan semua orangpun akan memuji Anda.
Imam Ibnu Rajab ra mengatakan, “Sesungguhnya barang siapa yang baik Islamnya, pasti ia meninggalakan ucapan atau perbuatan yang tidak penting atau tak bermanfaat baginya.” Karena ukuran penting atau tidaknya itu tentu ditimbang dari syari’at. Bukan menurut rasio atau akal, atau hawa nafsu. Carilah keselamatan dengan banyak diam dan meninggalkan ucapan-ucapan yang tak perlu. Karena mencari keselamatan itu tak ada bandinganya.
Imam Ibnu Qoyyim berkata, “Adalah sangat mengherankan orang bisa menghindari dari hal-hal yang haram, berzina, mabuk-mabukan, mencuri, memandang hal yang diharamkan, dan lainnya,

tapi sulit menjaga pergerakan lisannya. Sampai-sampai ada orang yang dipandang ahli ibadah, zuhud, tapi ia berbicara dengan tanpa sangka telah mendatangkan murka Allah.”
Diamlah, dengarkan mereka yang berbicara kepada kita dan perhatikanlah, tahanlah ego dalam diri kita, jangan pula mencampuri urusan orang lain jika tak ada kepentingan terhadapnya. Janganlah seperti kebanyakan orang hari ini, dimana rasa ingin tahu terhadap masalah yang sedang di bicarakan oleh dua orang, mendorongnya untuk mendatangi kedua orang itu dan mencampurinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar