Halaman

Senin, 20 Juni 2011

Nasihat dari Jendral

Suatu ketika disore hari itu, daun-daun beringin ditengah taman istana melonjak-lonjak tertiup angin, seperti beberapa anak-anak yang ceria bermain dibawahnya. Disudut selatan tampak beberapa prajurit sedang memandang pepohonan taman, sembari mencari sebuah makna dari kehidupan. Mengharap-harap hidup seperti dulu, tapi mereka tahu yang dulu tak akan kembali; telah mereka ubah segalanya selamanya. Terbayang satu pertanyaan tentang mengapa mereka disini. Kenangan yang sampai sekarang masih malang-melintang dipentas hati mereka.
Dua puluh tiga tahun yang lalu, dibalik keramaian istana dan pena takdir pun telah tergoreskan. Tersebutlah sang Jendral yang sedang bertanya kepada beberapa calon prajurit muda; seakan-akan ia menganggap ini hanyalah permainan, “Kenapa kalian ingin jadi prajurit?”, Tanya sang Jendral yang memakai rias wajah seperti atribut perang, mungkin untuk menakut-nakuti orang lain. Dan salah satu dari mereka menjawab, “jika dunia damai nanti, kami ingin berkeluarga, karena kami sedih mengetahui kami hanyalah seorang diri. Dan tak ada yang merasa bersalah akan nasib kami.” Demikianlah, jawaban seorang prajurit yang mewakili hidupnya.
“Kalian sedang mencarinya, dan akan kalian temukan”, jawab sang Jendral dengan menepuk pundak seorang darinya.
“Aku hanya ingin tahu jawaban kalian, tak mengecewakan”, ia sambung dengan wajah yang cerah, seakan-akan ia telah menemukan sesuatu yang melengkapi dirinya.
“Ketahuilah, bahwasanya menjadi prajurit bukanlah selalu untuk membunuh, tapi menghidupkan; sebab membunuh berarti memilih, meski terkadang membunuh adalah ide terbaik. Memang kejahatan harus dihancurkan, tapi tak perlulah kita jadi algojo selamanya. Dan janganlah menjadi sampah, yang menegakkan keadilan hanya demi uang. Dan jangan bicara seperti penegak hukum, karena kalian bukan mereka; meski kalian ingin seperti mereka.”
“Bagi mereka, kalian hanyalah seorang anak seperti aku, mereka akan perlu kalian, tapi setelah mereka tak perlu kalian lagi, kalian akan dibuang bagai penderita kusta. Moral dan kode etik mereka hanyalah lawakan buruk, dilupakan begitu ada bahaya. Kebaikan mereka hanya tergantung situasi. Saat masalah datang, orang-orang itu mulai memakan satu sama lain. Ketahuilah, orang-orang seperti merekalah musuh kita bersama. Namun jangan sampai pula kuasa hukum mafia menuduh kita panganiaya.”
“Mereka adalah senyata-nyatanya orang jahat. Dan adanya merekalah yang membuat keadilan didunia ini serasa tak ada. Dan jangan menyalahkan Tuhan, sebab kita berada dikenyataan dunia, bukan kenyataan dalam cerita. Yang mana yang menang adalah mereka yang jahat meski berjumlah sedikit, dan bukanlah mereka yang benar yang akan menang, meskipun mereka berjumlah banyak. Pun janganlah pula kau mengancam mereka sendirian, sebab segala kekuatanmu tak ada gunanya.
“Wahai kalian semua. Tuhan telah memilih kalian sebagai umat pilihan-Nya. Kalianlah seumpama menara yang benar-benar tinggi. Dan ketahuilah, bahwasanya kejahatan mereka hanyalah kebaikan yang didera haus dan dahaga mereka sendiri. Dan pengertian itu hidup karena adanya toleransi dari masyarakat.”
“Kejahatan bukanlah hakekat atau fakta, karena kejahatan adalalah bayangan yang berjalan bersama kebaikan. Itulah mengapa terkadang mematuhi peraturan itu tak bisa menyelamatkanmu. Sebab pelanggaran itu juga salah satu cara untuk mendapatkan kebenaran. Namun janganlah berpikir hidup tanpa aturan adalah yang paling masuk akal didunia ini. Pun jangan berpikir, adanya dibuat aturan adalah untuk dilanggar.”
“Hari ini, kalian akan diberi banyak kesempatan untuk mematuhi atau melanggar perintah. Tinggal menunggu waktu dan kalian akan ikut permainan yang selama ini juga aku mainkan.”
Sampai disitu sang Jendral berbicara lantas berhenti sejenak mengambil anggur yang diletakkan tak jauh darinya. Kadang ia berpikir untuk merekrut orang lain guna menggantikannya, agar ia bisa libur diakhir pekan. “Tolong usir suara-suara dikepalaku, dan taruhlah lampu terang didalamnya,” bisik sang Jendral dalam hati dan mengharap ada yang tahu apa yang membebaninya.
“Waktuku telah banyak berlalu, dan suatu saat nanti aku akan pergi juga. Dan kalianlah yang nantinya akan menggantikanku. Dan aku harap, lepaslah semua idealis yang kalian miliki sekarang, cukuplah bagi kalian untuk memberi dari yang kalian miliki.’
“Tahukah kalian mengapa setiap prajurit harus membawa pedang?” tanya sang Jendral. “Karena senjata api terlalu cepat membunuh, tak bisa menikmati letupan emosi yang ada. Pasti kalian akan menikmatinya, dan akan coba lebih menikmatinya. Disaat akhir-akhirnya orang selalu perlihatkan diri sesungguhnya. Maka bisa dibilang kalian nanti lebih mengenal mereka dari pada teman terdekatnya; meski kalian cuma sebentar dibanding mereka. Namun janganlah bermimpi saat-saat seperti itulah waktu terakhir kita, karena seorang prajurit bukanlah mereka yang ingin diprioritaskan. Seorang prajurit adalah mereka yang memprioritaskan, sebab mereka memahami bahwasanya menjadi yang terbaik bukanlah menjadi yang pertama. Dan suatu saat nanti semua orang akan tahu siapa yang terbaik, meski tak semuanya bakal tahu.”
“Maka berilah dunia ilham kebaikan, bukan kegilaan atau kematian. Pun jangan pula saat kalian memberikannya kalian juga meludahi muka para penjahat. Tentulah akan jatuh korban; sebab situasi akan selalu memburuk sebelum membaik. Jangan berpikir kalian pantas di percayai dan dunia memerlukan kalian. Tidak, sekalipun tidak; karena dunia hanya perlu pahlawan sejatinya. Dan pahlawan sejati bukanlah memutuskan membakar hutan untuk menangkap para panjahat. Namun ialah yang bergerak memasuki hutan dan mencarinya dengak menggunakan akal. Sebab dunia telah lama menantikan kalian melakukan hal yang benar.
“Dan setialah dengan apa yang kalian yakini, supaya mereka berkata pada kalian,’bagaimana jikalau kita sayat kau dan kita berikan pada anjing-anjingmu? Kita lihat, apakah anjing yang lapar masih setia padamu?’ Maka jawablah,’seekor anjingpun akan tetap mengenali daging tuannya dibanding tuannya yang jikalaui memakan dagingnya.’ Dan jawablah lagi dengan percaya diri, ‘ini bukan soal uang atau yang lainnya, aku hanya ingin sampaikan pesan. Dengarkanlah, aku punya misi akan dunia tanpa pahlawan lagi. Agar supaya kalian tak bisa mencetak lagi keuntungan walau sedikit, dan penegak hukum tak akan menghentikan kalian hanya sedikit demi sedikit cara. Ketahuilah, itu membuaku bosan’.”
“Mereka itu hanya mengikuti naluri. Apa mereka mempunyai rencana? Kalaupun berhasil akupun juga tak tahu apa yang mesti aku lakukan. Mereka hanya beraksi. Penjahat rencana, penegak hukum punya rencana, perencana yang berusaha mengendalikan dunianya masing-masing. Mereka semua perencana, mereka punya bencana. Sedang aku bukan perencana, aku hanya ingin tunjukkan betapa konyolnya rencana mereka itu”
“Dengan apakah aku akan tunjukkan pada mereka itu? Kalian tahu kah, apa jawabannya wahai calon-calon prajurit?” “Aku lakukan keahlianku, lalu kuputar balikkan rencana mereka, dan tak akan kuserahkan urusan itu ke nasib. Sekalipun tidak, karena keberuntunganku datang sendiri ”, jawab ia yang berada didepan berdirinya sang jendral.
“Benar, tapi yang lebih baik adalah kita menangkap dan menafsirkan ide-ide mereka yang kemudian kita sesuaikan dengan kebutuhan kita daripada membasminya,’ sang Jendral menjawab dengan duduk kekursinya, seolah-olah ia mendapat bagian. “Pun jagalah apa yang kalian yakini, sebab semakin sedikit yang tahu akan semakin baik. Karena bahwasanya kalian bukanlah pencari kehormatan, tapi kalian pemberi pelayanan public.”
“Melayani adalah kepastian, dan pengorbanan adalah kewajiban. Maka apabila peperangan menghadang kalian, pun jangan pernah mengeluh. Karena perang itu sejauh mungkin tak dapat dihindarkan. Perang akan selalu ada karena memang harus adanya. Meski seluruh hati umat manusia menginginkan akan adanya perdamaian, perang memang harus selalu ada. Maka persiapakan diri kalian agar kalian selalu dalam keadaan siap untuk berperang. Sehingga jikalau musuh menyerang, kita tidak terbantai dan terjajah.”
“Ingatlah kata-kata ini,’jika ingin damai, kita harus menyiapkan perang.’ Dan sesungguhnya semangat untuk mendapatkan mati dalam keadaan mulia adalah semangat yang membuat kita menjadi kuat dan sulit untuk dizalimi, dijajah, atau dikalahkan. Jika kalian ragu, maka pilihlah; jika kalian mati, maka kalian akan mati sebagai pahlawan, atau pun bila kalian hidup panjang, maka perlahan jadi penjahat.
Jangan biarkan kebencian kalian kurang. Sebab alasan itulah yang menyebabkan kalian lemah. Pun milikilah rasa iba, meski mereka menganggap ini adalah kelemahan kita. Namun ketahuilah, rasa itulah yang membedakan kita dengan mereka.
Jadilah petarung yang tak terkalahkan, abadikan dirimu pada suatu gagasan, dan jika kau tak bisa dihentikan, maka kau akan jadi sesuatu yang berbeda. Jadi legenda.”
Inilah nasihat terakhir dari sang Jendral, “Selama kalian semua masih mempunyai darah merah, yang dapat meninggalkan bekas yang menempel dibebatuan lembah selamanaya, maka selama itu janganlah menyerah kepada siapapun juga. Janganlah kalian mengira aku ini monster karena becara seperti ini, aku hanya lebih maju dari kebanyakan orang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar