Halaman

Minggu, 19 Juni 2011

Tuhan

TUHAN
Pendapat umum menyatakan Tuhan itu adalah Dzat paling gaib dari kegaiban-kegaiban yang ada. Sedangkan semesta raya yang tampak nyata di hadapan kita ini adalah sesuatau yang paling tidak gaib. Alam semsta ini dapat dilihat, disengar, diraba, dan dicium baunya, sementar Tuhan tak dapat dijamah dengan panca indra. Inilah kenyataan bagi kebanyakan umat manusia.
Namun menurutku, pandangan seperti ini salah. Jika alam semesta ini nyata dan Tuhan adalah gaib, maka hal ini bagiku tidak masuk akal. Bukankah Tuhan Pencipta dan alam semesta adalah ciptaan-Nya? Bukankah Pencipta itu sebenarnya yang benar benar Nyata?
Sejatinya, Tuhan-lah yang sebenarnya Nyata, sementara alam semesta adalah tak ada. Kalaupun ini dianggap ada, itu hanyalah sekedar anggapan. Ibarat bayangan didalam cermin yang nyata kelihatan, namun tak ada wujudnya.
Dan, hubungan antara manusia dengan Tuhan bukanlah sekedar hubungan antara Pencipta dan yang diciptakan, bukan hubungan antara bapak dan anak (seperti anggapan terhadap Yesus), bukan antara Yang Tunggal dengan yang banyak. Antara Tuhan dan ciptaan-Nya sebenaranya adalah ibarart laut dan ombak, keduanya adalah satu, yakni adalah air. Kalaupun ada istilah Pencipta dan ciptaan, maka itu sekedar bahasa symbol atau majas saja.
Alam semesta ini, termasuk manusia (kita), sebenarnya adalah pengejawantahan diri Tuhan. Ibarat bayangan, Tuhan-lah Pelaku sejati. Ibarat cermin, Tuhan-lah Subyek didepan cerminnya. Ibarat ombak, Tuhan adalah Air yang sejatinya sumber dari ombak tersebut.
Diri kita ini tak nyata. Keberadaan kita semata karena adanya Tuhan. Sebagai bayangan di cermin dari keberadaan Tuhan. Tuhan adalah Pelaku Sejati. Dan semua selain Tuhan adalah wajah Tuhan. Artinya, apa saja yang kita lihat, dengar, dan rasakan pada hakikatnya adalah Tuhan. Saya tegaskan ‘hanya’ hakikatnya saja. Tidak tepat kalau Anda mengartikan, “Gunung adalah Tuhan, sungai adalah Tuhan, manusia adalah Tuhan, dan seterusnya.”
Syahdan, Tuhan adalah Dzat Yang Satu, ‘Satu’ tanpa berbilang. Satu-Nya dia berbeda dengan jumlah satu dari hidung kita, atau satu dari jumlah benda benda lainnya. Dikatakan satu karena tak ada yang lain selain diri-Nya. Tuhan bukan benda, bukan sesuatu. Dia mutlak dalam kemutlakan. Orang orang Jawa mengatakan dengan keadaan kosong, hampa, dan sunyi. Tanpa nama, tanpa sebutan.
Dalam keheningan ini, Tuhan berkehandak agar Diri-Nya dikenal. Tapi, siapa yang akan mengelanya jika Dia tak memiliki nama? Karena itu, Tuhan menampakkan Diri. Dia juga memberi nama untuk dirinya sendiri dengan nama ‘Allah’.
Lalu, bagaimana dengan sebutan, seperti Manon, YHWH, Yesus, Pangeran, Hyang Maha Bhikku, Dewa, Raja, Emperor dan sebagainya?
Bagiku, itu semua hanyalah sarana untuk menyebut atau memanggilnya saja. Hanya bedanya, nama yang sah dari-Nya adalah Allah, karena itu berasal dari-Nya. Sementara, nama-nama yang lain adalah karena ketidaktahuan manusia pada nama ‘Allah’ itu sendiri. Hal itu bukanlah menjadi persoalan yang asasi. Jadi, antara nama Allah dan nama-nama lain itu, tiada berbeda. Karena tujuannya sama, yakni Tuhan sejati yang tak bernama. Jika demikian, apakah Allah bukan sejatinya Tuhan?
Ya, Allah adalah nama untuk Tuhan, namun sejatinya Tuhan sendiri tak dapat dijangkau dengan nama. Sebutan ‘Allah’ sekedar sarana saja, bukan menunjukkan kesejatian Tuhan. Hanya keheningan dan kehampaan diri dalam ibadah kepada-Nya saja yang dapat menjangkau diri-Nya. Sebab itu, mengingat terdalam untuk menjangkau-Nya adalah beribadah dengan diam (khusuk—memusatkan perhatian) dalam keheningan, kekosongan, kesunyian, dan kehampaan. Sementara, ‘mengingat’ dengan menyebut nama Allah adalah sarana untuk menuju pada ‘mengingat’ hening.
Saat Anda dalam keadaan hening, Anda akan merasakan Tuhan dalam kesejatian. Saat dalam kesadaran Tuhan sebagai Dzat yang bernama Allah, Anda berada dalam Tuhan yang bernama Allah. (Semoga ini tak menjadikan Anda kebingungan).
Tuhan yang bernama Allah memiliki sifat Maha Besar, Maha Kuasa, Maha Bijaksana, dan sifat sifat-Nya yang lain. Tapi, siapa yang akan mengagungkan kebesaran, kebijaksanaan, kekuasaan, dan sifat-sifat-Nya yang lain, padahal tak ada sesuatu yang lain selain diri-Nya?
Pertanyaan diatas adalah dasar alasan Tuhan menciptakan mahkluk. Allah adalah perbendaharaan yang tersembunyi, padahal Allah sangat ingin dikenal. Oleh karena itu Allah menjadikan mahkluk agar mengenal-Nya, mengenal kekuasaan-Nya, kesucian, keagungan, keadilan, dan kebijaksanaan-Nya. Pengenalah Tuhan ini pula yang menjadi dasar dalam beragama. “Permulaan beragama itu adalah mengenal Tuhan”.
Mulailah Allah menjadikan mahkluk. Maksud dari menjadikan mahkluk ini adalah Allah tak menciptakan mahkluk.
Allah berfirman, “Kun Fayakun”, “Jadilah, Maka Jadilah”, bukan “Ciptalah, Maka Terciptalah.” Saya cuma menerangkan apa yang ada saja, tak lebih.
Saya mengajak Anda lebih dalam lagi. Kita ambil contoh dari kejadian sehari hari disekitar kita. Misalnya manusia, ia berasal dari janin yang dilahirkan ibunya. Janin ada setelah sperma sang ayah bertemu dengan sel telur ibunya. Demikian juga dengan Nabi Adam. Badan beliau dibentuk dari empat unsur bumi, tanah sebagai bahan dominan, air, api, dan udara. Beliau dijadikan dari bahan tertentu yang asalnya sudah ada yang kemudian Tuhan memberikannya ruh agar tetap hidup. Begitu juga dengan mahkluk yang lainnya.
Begitu juga dengan alam semesta. Pada mulanya alam semesta ini adalah ruang hampa, sunyi-senyap. Ruang kosong yang terdiri partikel-partikel dengan empat unsur dasar di dalamnya, air, tanah, angin, dan api yang masih belum tersusun menjadi materi. Kehampaan ini lambat laun berevolusi mengikuti irama hukum alam hingga unsur-unsur di dalamnya saling bersentuhan, menempel, menyatu, dan akhirnya membentuk aneka benda. Yang sampai sekarang kita lihat sebagai benda-benda yang mengapung dalam ruang hampa, tersusun rapi dalam rangkaian tata surya, teratur hingga tak ada tabrakan diantaranya.
Lalu dari mana asalnya semua itu? Bukankah ia juga punya asal sebagai bahan untuk kejadiannya hingga sekarang ini? Jawabannya dari ‘Nur Muhammad’.
Sebelunya kita kembali kepermasalahan awal dulu, bahwa Allah, yakni Tuhan yang menampakkan diri menciptakan mahkluk agar diri-Nya dikenal. Dia menciptakan sesuatu dengan menggunakan bahan dari-Nya. (Adapun penggunaan ‘menciptakan’ ini hanyalah simbol untuk memudahkan pemahaman, karena tidak semua manusia memahami seperti ini). Dia tak menciptakan barang baru, namun menampakkan Diri lagi dalam wujud baru, yakni Nur Muhammad. Nur Muhammad bermakna ‘Cahaya Yang Terpuji’. Dikatakan cahaya karena pertama kali ada terciptakan adalah cahaya/nur.
Apakah Nur Muhammad sama dengan Allah?
Nur Muhammad adalah penampakan dari Allah, namun bukan Allah, Karena dia bukan Allah. Nur Muhammad adalah ‘kejadian’, sebab dia merupakan cikal-bakal kejadian mahkluk.
Akhirnya hanya ada Allah semata. Artinya, jika kita menempatkan pandangan kepada Allah, maka pada hakekatnya tak ada apa-apa, tak ada mahkluk, hanya ada Allah semata. Dan kedua, kalimat ‘Muhammadar rasulullah’ (Muhammad adalah utusan Allah), artinya ‘sejatinya Muhammad adalah utusan Allah/penampakan dari Allah’. Muhammad atau segala sesuatu yang terpuji itu meliputi semua sifat dan keadaan yang tergabung dalam satu ungkapan, Muhammad (Yang Terpuji). Jadi bukan sosok Nabi Muhammad yang hidup 14 abad silam. Tapi, individu paling sempurnya dalam mewakili keadaan Nur Muhammad.
Memang kedengarannya pemikiran ini termasuk ‘gila’. Maka untuk yang ini Anda harus memisahkan antara iman dan logika!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar