Halaman

Senin, 20 Juni 2011

Musibah

MUSIBAH

Tuhan menciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini selalu memiliki sifat kontra yang mendua. Ada baik ada jahat, ada tingggi ada rendah, ada laki laki dan perempuan, ada kaya ada miskin, ada senang ada susah, ada hidup ada mati, dan sebagainya. Hanya Tuhanlah yang bersifat Maha Satu, tanpa tandingan dan padanan.
Maksud dari penciptaan secara berpasangan ini, tiada lain, agar dapat menjadi sarana bagi kita untuk dapat mengingat Tuhan. Sifat mahkluk yang mendua ini mengandung ilmu Tuhan dan hikmah bagi manusia hingga dapat mengantarkan pada ‘pengenalan’ kepada Tuhan.
Salah satu pasangan yang berlaku adalah adanya rasa senang dan sedih. Karena kita tak selamanya dalam kondisi tetap dan tak berubah. Bahagia dan sedih akan datang silih berganti menhampiri manusia. Kondisi senacam ini akan menimpa seluruh manusia. Kita merasa sedih manakala ditimpa musibah, dan senang jika mendapat kenikmatan.
Tuhan memberikan beragam bentuk musibah kepada kita hingga mengakibatkan munculnya rasa susah dan tertekan. Disaat hampir terhimpit inilah biasanya kita tersadar hingga kita menjadi ingat kepada Tuhan. Kita menjadi tergantung harapan kepada-Nya disaat tak ada lagi yang bisa kita harapkan dari dunia.
Oleh sebab itu sepantasnya kita bersyukur bila mendapat musibah yang membuat kita tertekan, bukan malah menyalahkan-Nya! Malah seharusnya kita meminta musibah yang lebih besar lagi, bukan yang mudah-mudah saja. Logikanya adalah: kalau kita diberi musibah oleh Allah yang mudah-mudah saja tentu kita tak akan mendapat ganjaran yang hebat.
Musibah adalah paket yang harus diterima, musibah adalah hadiah yang tak dapat ditawar kehadirannya, sebuah keniscayaan yang tak bisa ditolak. Berbagai musibah menembus berbagai macam kesalahan dan menambah kebaikan, dan keduanya menjadi penyebab masuk surga. Karena musibah itu meringankan timbangan dan menambah daun timbangan, dan memudahkan dalam proses hisab. Ketahuilah, musibah itu juga merupakan sebagian hisab untuk diakhirat kelak.
Karena ada kalanya tanpa kita sadari kita sering terlalu percaya dan terlalu berbangga diri dengan kemampuan diri, hingga kita malas untuk meminta pertolongan kepada Allah. Kita sering merasa diri kita hebat. Kita sering beranggapan segala sesuatu itu tergantung pada diri kita sehingga kita menjadi congak dan sombong manakala kesuksesan dunia kita dapatkan. Maka, wajar apabila Allah mengingatkan kita dengan serangkaian bencana yang membuat hati kita berguncang. Pada akhirnya, kita menjadi sadar bahwa hanya kepada-Nya saja kita layak meminta tolong. Ketauhilah bahwasanya Allah itu sangat senang manakala kita merendahkan diri dihadapan-Nya, memohon seraya mengagungkan-Nya.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” (Al-An’aam:42)

Musibah ini diberikan Tuhan sebagai ungkapan kasih sayang-Nya. Musibah adalah tanda perhatiannya kepada kita. Jika Dia tak sayang tentu kita akan dicueki atau dibiarkan begitu saja bukan?
Seorang yang bisa berpikir pasti akan merasa merana jika ia hanya dibiarkan begitu saja. Inilah analogi dari datangnya musibah yang kita terima. Karena hidup ini adalah sebuah proses belajar-mengajar. Kita adalah murid yang sedang menempuh studi di dunia. Belajar dari alam demi meningkatkan kulaitas ruhani kita. Untuk itu kita dibekali akal untuk belajar dan terus belajar. Agar kita mampu mengambil manfaat dari setiap musibah yang kita terima.
Kita adalah siswa yang sedang bersekolah dan belajar suatu jenjang studi tertentu, Tuhan adalah Gurunya, alam adalah sekolahnya, dan musibah adalah ujian semester sesuai dengan jenjang yang kita duduki. Berkesinambungan, terus-menerus, dari kanak-kanak hingga ajal menghampiri. Manusia yang sadar akan serius memanfaatkan setiap waktu dan kesempatannya untuk belajar, sehingga dia tak akan menjadi orang yang tertipu di dunia. Yang saya maksudkan belajar disini adalah ‘belajar tentang kehidupan’ (bukan di bangku sekolah secara formal saja). Agar kita dapat mengenal hakikat Tuhan.
Setiap manusia yang berakal harus belajar. Tuhanlah gurunya, kitab suci adalah buku teksnya, dan alam semesta adalah objek penelitian atau mata pelajaran yang dipelajari. Itu artinya ilmu pengetahuan bukanlah yang hanya diperoleh dibangku sekolah atau sarana formal lain saja. Belajar dari buaian adalah pengejawantahan dari perintah ‘membaca’, yakni membaca alam semesta. Dunia adalah symbol. Alam semesta adalah objek yang penuh dengan tanda. Dibaliknya terdapat symbol yang sangat luas. Orang-orang yang tercerahkan akan mampu membaca setiap tanda yang ada didepannya.
Kitab suci adalah kumpulan teori dan rumus yang berguna sebagai sarana untuk memahamai setiap catatan yang tergoreskan pada semesta, buah karya Tuhan Sang Pencipta. Dua puluh empat jam dalam sehari adalah waktu yang digunakan dalam memahami teori serta memecahkan rumus yang termaktub dalam firman Tuhan dan utusan-Nya. Diselsa-sela pembelajaran itulah terselip serangkaian ujian sebagai bahan evaluasi hasil belajar. Ujiian itu adalah ‘musibah’.
“Siapa yang tidak mendapat ujian atau musibah dalam hartanya, maka akan diuji jasadnya. Siapa yang tidak diuji jasadnya, maka akan diuji anak-anaknya. Maka sudah merupakan sunnatullah bahwa setiap insan pastilah akan mendapatkan ujian, baik berupa keburukan atau kebaikan. Allah telah berfirman: ‘Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah” (Al-Balad: 4)

Makna Musibah
Orang yang tak memiliki lagi segala keinginan dan kehendak, sebenarnya sudah mendapatkan kunci awal menuju makrifat. Sebab jika masih saja melibatkan diri dengan objek-objek duniawi akan membuahkan apa yang disebut dengan ‘ketertarikan’. Ketertarikan itu membuahkan keinginan, dan keinginan membuahkan amarah yang merupakan sumber mula dari kehancuran manusia.
Barangkali Anda menyangkal, “Bagaimana mungkin keinginan harus dihilangkan? Bukankah keinginan merupakan bagian dari karsa manusia untuk berkarya? Bukankah ini sama saja upaya untuk menghambat kemajuan?”

Jika dipandang dari sisi kemanusiaan, pertanyaan diatas memang benar. Karena memang setiap manusia pastilah memiliki keinginan (dan kehendak). Keinginan manusia itu merupakan kepanjangan tangan dari keinginan Tuhan. Sebagai sarana pendukungnya, maka manusia diberi kekuatan. Kodrat ini juga merupakan kepanjangan dari kodrat Tuhan.
Dan bukan berarti kita harus meninggalkan keinginan tentang dunia, tentang urusan dunia. Karena kita diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi. Yang saya maksudkan disini, kita sebagai manusia harus berpegang pada ajaran Allah.
Laiknya pemain drama, dunia ini sebagai panggungnya, kitalah adalah pemainnya, dan skenarionya adalah catatan di Lauh Mahfuzh yang merupakan pengejawantahan dari kehendak Tuhan. Hidup ini akan seimbang jika segala sesuatu dialani sesuai dengan skenario. Artinya keselarasan antara skenario di Lauh Mahfuzh dengan lakon di dunia, sesuai dengan keinginan Allah, sesuai dengan aturan-Nya.
Namun kenyataannya, kebanyakan dari kita lebih memilih menentukan lakonnya sendiri. Itulah keinginan, dan keinginan itu mengarah pada nafsu, yang selalu diminta tanpa mengenal puas. Sayangnya banyak manusia yang diperbudak keinginannya. Hingga akhirnya seenaknya sendiri mengambil keputusan, menentukan tindakan yang tak sesuai dengan sunnatullah. Itulah yang dinamakan tindakan yang mendatangkan musibah. Inilah yang kemudian memunculkan kerusakan, peperangan, dan bencana alam dimuka bumi. Jika lakon yang dibuat itu masih dalam konteks kebaikan, tak akan jadi masalah. Lantas, mengapa kebanyakan dari manusia lebih memilih jalannya sendiri yang artinya bertentangan dengan skenario Tuhan? Karena, manusia menuruti keinginannya sendiri.
Seharunya keinginan itu harus dihilangkan, hingga memunculkan kehendak-kehendak Tuhan! Para sufi mengatakan ada tiga langkah untuk menempatkan keinginan sebagaimana mestinya.
Pertama, menghilangkan keinginan itu sendiri. Tuhan akan membantu dengan musibah yang menimpa, hingga nanti manusia akan merasa putus asa terhadap dunia. Tak memiliki lagi keinginan, termasuk pula keinginan hidup; meskipun agama melarang untuk meminta mati. Jika sudah merasa benar-benar putus asa, hampa, sunyi dari kenyataan, dan tiada lagi memiliki keinginan macam-macam, dan menyerahkan apa saja pada Tuhan, hanya Tuhan yang diharapkan, bukan karena pahala, surga, apalagi dunia. Saat itulah baju kedirian telah lenyap, dan ego telah terkesampingkan, inilah yang mengantar pada kepasrahan. Orang Jawa menyebutnya ‘sumeleh’.
Inilah hikmah dari datangnya musibah bagi manusia. Musibah bukanlah sesuatu yang harus dihindari lagi. Justru seharusnya Anda harus merasa senang karena diberi musibah. Karena itu berarti Tuhan masih menyayangi dan bersedia membantu Anda.
Musibah adalah anugerah dari Tuhan. Musibah datang agar Anda merasa putus asa terhadap dunia, hingga tiada lagi memiliki keinginan, termasuk pula (mungkin) keinginan untuk hidup. Mati saat itu pula pasti akan Anda terima dengan riang.
Saat Anda sudah merasa putus asa, hampa, sunyi dari pengharapan, dan tiada lagi memiliki keinginan macam-macam, dan Anda pasrahlah sudah kepada Tuhan. Maka hanya Tuhanlah yang Anda
haparkan dan Anda inginkan. Anda menjadi manusia pilihan, karna telah melepaskan baju kesendirian.

Maka ego telah terlepas, ego yang menjadi penghalang Anda untuk menjumpai Tuhan.
Kedua, yakni, Tuhan akan hadir memenuhi kekosongan dan kehampaan hidup manusia. Keduakaan hati telah terganti oleh rasa tenang dan bahagia. Dan tak akan ada lagi merasa sedih hati, karena sudah tak ada lagi yang terminati.
Dengan melepasnya segala keinginan itu, hati Anda akan terisi oleh keinginan baru yang bukan lagi keinginan manusia. Kalaupun ada, itu hanyalah keinginan semu saja.
Ketiga, kehadiran keinginan terhadap dunia dalam diri sebagaimana manusia yang lain. Namun bukan lagi keinginan oleh nafsu, namun keinginan dari Tuhan. Ditunjukkan untuk pengabdian. Dan tak akan lagi tersia-siakan. Bahagia itu akan muncul dari dalam diri kita sendiri, bukan dari nafsu ataupun orang lain. Tak tersentuh, tak ada yang sia-sia, demikian seterusnya.
Kesabaran hakiki seperti inilah. Kesabaran yang dengannya makna kebahagiaan yang tak bersumber dari dunia. Bahagia muncul dari dalam diri, bukan orang lain. Tak ada orang lain yang dapat menyentuh.
Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda masih terpengaruh oleh dunia sekitar? Ketergantungan dengan orang lain masih sangat besar? Jika “ya”, inilah yang menjadi sumber kecemasan dan kesedihan Anda. Marilah kita lihat perilaku sehari-hari. Manakala orang lain mengkritik atau menghina, Anda tersinggung. Berarti anda masih memiliki keinginan untuk dihormati. Kita meyalahkan orang lain itu sebagai pihak yang membuat kita tak bahagia.

“Sebaiknya Anda tak berpikir itu akan mendatangkan keburukan. Sebab, dari sekian banyak dari mereka itu tak mengetahui maksud dari yang diucapkannya. Mereka tak menyadari bahwa sejatinya Anda telah mengunguli mereka dalam suatu hal, kesuksesan, ketegaran dalam mengarungi hidup, atau karena mereka tak mendapatkan sesuatu yang Anda peroleh. Sadarilah diri Anda adalah seekor singa yang mempunyai target domba didepannya. Tak menghiraukan nyamuk yang menggigitnya. Dan tak ada waktu hanya untuk memikirkan gigitannya.”

Ketika kehilangan barang berharga, kita sedih dan menyalahkan keadaan, hal ini menandakan bahwa kita masih terikat dengan barang yang telah hilang itu, Anda masih terikat dengan duniawi. Dan seterusnya itu adalah yang menyebabkan kesulitan.
Sebab, rasa suka kita terhadap sesuatu telah membuat kita menjadi posesif atau ingin memiliki dan menguasai. Tak boleh ada yang mengganggunya. Kita menjadi takut kehilangan. Jika memang kita kehilangan, kita menjadi sedih atau bahkan marah. Namun, jika kita tidak menyukai sesuatu, atau rasa suka kita terhadapnya sekadarnya saja, tentu kita tak akan terlalu takut kehilangan. Kalaupun kita kehilangan, kita tak akan terlalu merasa sedih.
Karenanya, jangan takut dengan adanya kesulitan hidup, dan meletakannya (ketakutan) pada tempat yang salah. Sebab, kesulitan itu (jika dilandasi ketakutan yang benar pada tempatnya) akan menguatkan hati, akan merasakan akan nikmatnya sehat dan membulatkan tekad, akan mengangkat kedudukan, dan memunculkan kesabaran. Ingatlah, takdir Tuhan tak bisa diubah. Rasa takut yang Anda rasakan akan membawa Anda pada perilaku yang beradab, menjunjung etika, dan selalu

mengamalkan perintah-perintah Tuhan. Karena itu berasal dari Tuhan, agar Anda sampai ke perasaan takut pada-Nya, pada neraka dan siksa-Nya.

“Rasa takut hingga menjumpai ketentraman adalah lebih baik daripada perasaan tentram hingga memunculkan rasa takut”

Dan, jika Anda mau menelisik lagi, sebenarnya musibah ada karena Anda masih terikat dengan duniawi dan keinginan terhadapnya. Rasa keinginan inilah yang menjadikan sesuatu yang dirasa tidak menyenangkan menjadi bencana atau musibah.
Sebagai tambahan, rasa suka terhadap dunia inilah ang menyebabkan manusia merasakan sakitnya sakaratul maut. Mereka tersesat saat dihampirinya. Dia mau meninggalkan dunia, namun jiwanya masih ingin menikmatinya. Akalnya masih belum rela ia pergi, hatinya pun enggan berpisah dengan yang selama ini dirasakannya. Maka, jadilah tarik-menarik, antara keinginan untuk tetap tinggal didunia dan ketentuan bahwa sudah masanya untuk meninggalkannya.
Jika pernyataan ini Anda balik, maka dapat Anda katakana bahwa musibah itu tak ada. Adanya musibah, karena Anda tak mampu memenuhi keinginan Anda. Bahkan, menjadi kebalikan darinya, apa yang Anda benci malah akan datang.

“Jangan menyalahkan keadaan atau pihak lain saat tertimpa kesulitan. Jangan mencari kambing hitam. Jika sedih, salahkan dirimu sendiri yang masih terpengaruh sesuatu diluar dirimu. Raihlah ketenangan dengan hatimu, bukan dengan sesuatu yang bersifat duniawi.”

Melalui kejadian yang mengguncang hati Anda, sebenarnya Tuhan sedang mengarahkan hati Anda untuk memantapkan keyakinan bahwa semua ini bukan milik Anda. Anda diharapkan-Nya untuk mampu membatasi rasa kepemilikan, rasa mencintai sesuatu, dan keinginan-keinginan yang berlebihan. Sebab Tuhan adalah perbendaharaan tersembunyi yang sangat ingin dikenal oleh hamba-Nya.

“Jika pikiran manusia telah mantab terhadap penciptnya, maka dia akan tahu bahwa Tuhan tidak akan mengujinya, kecuali bahwa ujian itu akan membawa kebaikan baginya atau mengilangkan dosa besar darinya. Dengan demikian, ia akan selalu mendatangkan keuntungan yang terus berkelanjutan dan manfaat yang tiada henti.”

“Tapi bagaimanakah caranya agar kita bisa bisa bersikap seperti itu?”
Pertanyaan di atas sulit untuk dijawab dengan kata-kata. Semuanya bersifat misteri. Seperti menanyakan rumusan kehidupan, rahasia kehidupan, dan jawaban dari inti kehidupan. Namun saya yakin ada jawaban dari semua pertanyaan itu. Menurut saya jawaban dari semua itu adalah bagaimana kita bersikap.
“Caranya?”

Air... jadilah seperti air, maka kita akan mendapatkan rahasia kehidupan di dalamnya.
Tentang menjadi air, ada sesuatu yang sangat menarik dari air. Air selalu berubah, namun di lain pihak, air tetaplah air. Air tetap sama... hanyalah air. Air tetaplah air, namun air berubah mengikuti hal lain, mengikuti wadahnya. Gayanya sangat alami dan berirama, lembut dan halus, namun selalu berubah. Bentuknya tidak pernah tetap, namun volumenya selalu sama. Semua itu terjadi dengan sendirinya; gerakan dan bentuknya sangat cepat dan alami.
Air adalah simbol kehidupan yang alami, langkah yang alami. Air bukanlah benda yang dapat dipegang, namun zat yang berubah mengikuti alam sekitar... sebuah irama yang mengalir. Seperti air, kita harus berubah secara alami mengikuti bentuk kehidupan, dan tidak bertentangan dengan alam kehidupan, tidak memaksa dan tidak menolak alam kehidupan. Hal ini berlaku dalam segala hal... mengikuti irama kehidupan, berjalan dengan batin dan keyakinan, kediaman dan ketenangan.
Di bawah surga tidak ada apa pun yang lebih lembut daripada air, dan tidak ada yang sekuat air. Air membantu sekaligus dapat membunuh, namun air itu diam dan terus mengalir. Tidak ada bandingannya.
Manusia lahir lemas dan lembut, sedangkan di saat kematiannya, manusia berubah menjadi kaku dan keras. Daun yang hidup sangat halus dan lembut, sedangkan daun yang mati begitu kering dan rapuh. Artinya, keras dan kaku adalah simbol kematian, sedangkan lembut dan berirama adalah symbol kehidupan.
“Lalu?”
Ikuti air, pelajari intinya, caranya bergerak dan berubah. Kekakuan tidak akan membawa kemenangan. Lihatlah, ranting yang kaku dan keras akan lebih mudah patah dibanding ranting yang lembut dan halus mengikuti angin. Air yang lembut dapat melubangi batu yang keras. Artinya, kelembutan dapat mengalahkan kekerasan. Manusia mengetahui hal ini, namun jarang menggunakannya dalam kehidupan.
“Bagaimana menggunakannya?”
Jangan mencari jawaban untuk itu. Amati saja air dan menyatulah ke dalamnya. Pelajari dan jadilah air. Bermeditasilah bersamanya, lepaskan segalanya, kenangan masa lalu, masalah sekarang dan pikiran kia akan masa depan. Hilangkan semua itu. Tenang dan mengalirlah bersama air. Jangan mengkomentari, jangan berbicara, apalagi melawannya. Ikuti jalan dan gerakannya, jangan mengubahnya.
Dan bangunlah dari tidur panjang itu, lalu nikmati keajaiban yang ada, lihatlah bunga-bunga, pepohonan, nyanyian anak-anak di jalan, udara yang segar dan air yang terus mengalir. Ketika segalanya menjadi rumit, berpikirlah seperti air dan bergeraklah seperti air. Kembalilah ke titik awal kehidupan... berjalan dengan lembut mengikuti alam hingga kita mencapai titik akhir dari misteri kehidupan kita, yaitu kematian.... Dan selama itu, jadilah air.
“Namun bagaimana menerapkannya dalam hidup, dan bagaimana menjawab misteri kehidupan itu sendiri?”
Air. Jadilah air. Mengalirlah!


Hati yang tak tergoyahkan dalam keadaan duka
Hidup yang tidak semata mengejar kesenangan dunia
Nafsu yang tersebas dari rasa sedih,
takut
dan angkara
Tidak kegirangan ketika mendapatkan kelapangan
Tidak kecewa ketika dihampiri kesempitan

“Tak terlihatnya perubahan yang berarti akibat musibah yang menimpa, seolah-olah sama antara ketika ia ditimpa musibah dan tidak tertimpa musibah.”

Sebaiknya kalau kita tertimpa musibah kita mengucapkan Alhamdulillah 4 kali; 1) Memuji-Nya karena musibah itu tak terlalu buruk dari yang telah terjadi, 2) Memuji-Nya ketika Allah memberi kita kesabaran mengahadapinya, 3) Memuji-Nya karena membuat kita mampu mengucapkan kalimat istirja (innalillahi wa inna ilaihi roji’un) berharap akan pahala yang besar, dan 4) Memuji-Nya karena Allah tidak menjadikannya musibah dalam agama kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar