Halaman

Senin, 20 Juni 2011

Shalat

SHALAT

T
elah kita pahami bersama bahwa salat adalah sebuah agung di dalam Islam, dan dianggap parameter keimanan dan keislaman sesorang. Orang yang menegakkan salat, dalam arti sesuai dengan rukun dan syarat-syaratnya serta adab-adabnya berarti ia telah menegakkan agama. Dan orang yang meninggalakan shalat, dia telah terperosok dalam jurang kekufuran karena dia telah kafir, sebagaimana sabda Nabi.
“Antara seorang hamba dan kekufuran adalah meninggalkan shalat” (HR. Muslim dan Abu Dawud).
Maka, jadilah Anda hamba Allah. Tapi pengertian menghambakan diri pada Allah bukanlah seperti pendapat golongan Mujri-ah yang mengatakan iman yang bersemi dalam hati, membenarkan dan mengenal semata, karena hal itu sama seperti yang diakui pula oleh Fir’aun, Qarun, dan Haman. Jadilah hamba yang bertaqwa, yang dengan taqwa itu bukan berupa harapan, bukan kata-kata kosong, bukan pemikiran yang aneh, dan bukan masalah keamanan dan perasan, melainkan hakekat yang nyata.
Kebutuhan setiap umat manusia adalah pengampunan dan penerimaan oleh Tuhan. Tanpa pengetahuan bagaimana sesorang dapat diampuni, keberadaan manusia itu tak berarti lagi, bagi yang diciptakan oleh Tuhan dan dari Tuhan. Untuk di dalam hadirat-Nya adalah tujuan utama Tuhan bagi kita sebagai umat manusia. Tanpa pengampunan, hal ini tidak mungkin. Adalah dengan pemikiran ini, artikel ini saya tulis. Dan bukan untuk motifasi lain.
Lalu, bagaimana caranya agar kita mendapat pengampunan dan penerimaan dari Tuhan itu? Tiada lain dan tiada bukan hal pertama yang mesti kita lakukan (sesudah mengakui keesaaan Allah) adalah shalat.
“Wahai manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban (dosa) mu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu.”
Akan tetapi janganlah kita shalat kepada Allah dengan mengatakan: “Kami menyembah Allah bukan karena menginginkan surga-Nya dan bukan pula takut pada neraka-Nya”. Maka pendapat Anda yang demikian ini akan terbantahkan dengan ahli sunnah wal jama’ah yang mengatakan: “Tidak demikian! Bahkan sesungguhnya dambaan paling besar bagi kaum muslim adalah meraih keberuntungan masuk syurga”.
Telah kita pahami bersama bahwa shalat fardlu bagi kaum lelaki kesempurnaannya dikerjakan dimasjid secara berjama’ah. Juga telah kita pahami bersama lagi bahwa shalat adalah amalan yang sangat mendasar. Tentu kita berharap agar amal yang kita lakukan ini diterima oleh Allah SWT. Para
ulama menjelaskan bahwa syarat umum diterimanya amal ada dua, yaitu sesuai dengan contoh dari Rasulullah saw, dan ikhlas.


‘Aisyah ra. pernah ditanya: “Bagaimanakah Rasulullah saw dahulu bangkit untuk mengerjakan shalatul lail?” “Aisyah menjawab: “Adalah beliau mendengar suara azan (tarkhim), beliau langsung melompat.” yakni seperti singa. (HR. Bukhari)

Namun, apabila kita perhatikan shalat-shalat saudara kita, maka akan sering kita perhatikan berbagai kejanggalan. Banyak hal yang dilakukan kaum muslimin tetapi tidak sesuai dengan tuntunan syari’at. Ini dikarenakan bahwa keislaman oleh kebanyakan kaum muslimin saat ini pada umumnya masih berupa islam pelangi, warna-warni, campur aduk. Dalam sisi lain mengaku muslim, tetapi disisi lain melakukan praktek yang tak sesuai syariat.

“Hai manusia sekalian, barang siapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah mati; dan barang siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah hidup kekal dan tidak mati!”

1. Menyia-nyiakan Shalat
Mengerjakan shalat tepat pada waktunya menunjukkan kebenaran seorang hamba terhadap Tuhannya. Ini berarti hamba yang bersangkutan telah memperbaharui pengakuannya terhadap keesaan Allah SWT.
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertobat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikit pun.” (Maryam 59-60)
Ibnu Abbas berkata, “Makna menyia-nyiakan shalat bukanlah meninggalkan shalat sama sekali, tetapi mengakhirkan dari waktu yang seharusnya.”
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya.”(Al Maa’uun: 4-5).
Orang-orang lupa adalah orang yang lalai dan meremehkan shalat hingga mengakhirkannya. Orang yang bersangukan berada dalam kekuasaan halusinasinya dan kemauan nafsunya. Dan lalai adalah salah satu rukun dari kekafiran.
Lalai adalah penyakit yang berbahaya. Anda jumpai orang yang lalai ini selalu ingat akan segala sesuatu, kecuali agamanya. Andai jumpai orang yang lalai ini selalu memperhatikan akan segala sesuatu, tetapi ia tidak mengenal agamanya.
Diantara penyebab kelalaian adalah para penghuni daerah pedalaman. Akan tetapi dalam hal ini saya tak menghimbau pada penduduk pedalaman: “Kemarilah kalian! Pindahlah kalian dari pedalaman ke daerah perkotaan!” Sama sekali tidak demikian.
Akan tetapi, saya ingin mengatakan kepada penduduk pedalaman: “ Perhatikanlah urusan agama kalian dan kembalilah padanya!”


“Hai Tsauban, janganlah kamu tinggal diperkampungan, karena penduduk kampung sama dengan penghuni kuburan.” (HR. Tsauban)

Mereka disebut orang-orang yang shalat. Namun, ketika mereka meremehkan dan mengakhirkan dari waktu yang semestinya, mereka diancam dengan Wali, azab yang berat. Ada juga yang mengatakan bahwa Wali itu adalah lembah di neraka jahannam, jika gunung-gunung yang ada dimasukkan kesana, niscaya akan meleleh semua karena sangat panasnya. Itulah tempat bagi orang-orang yang meremehkan shalat juga mengakhirkan dari waktunya. Kecuali, orang-orang bertobat kepada Allah dan menyesal atas kelalaiannya.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”(Al Munafiqun: 9)
Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang hamba mengerjakan shalat di awal waktu, salat itu -ia memiliki cahaya- akan naik sampai ke Arsy, lalu memohonkan ampunan bagi orang yang mengerjakannya. Begitu seterusnya sampai hari kiamat. Shalat itu berkata, ‘Semoga Allah menjagamu sebagaimana kau menjagaku.’ Dan, apabila seorang hamba mengerjakan bukan pada waktunya, shalat itu –ia memiliki kegelapan- akan naik ke langit. Sesampainya disana ia akan dilipat sebagaimana dilipatnya kain yang usang, lalu dipukulkan kewajah orang yang telah mengerjalannya. Shalat itu berkata, ‘Semoga Allah menyia-nyiakanmu sebagaimana kamu menyia-nyiakanku’.”
Dalam sebuah hadist lain disebutkan, “Sesungguhnya, orang yang selalu menjaga shalat wajib niscaya akan dikaruniai Allah SWT dengan lima karomah: ditempis darinya kesempitan hidup, dijauhkan dari azab kubur, diterimakan darinya catatan amal perbuataanya dengan tangan kanan, ia akan melewati shirath seperti kilat yang menyambar, dan akan masuk surga tanpa hisab.
Sebaliknya orang yang menyia-nyiakan shalat akan di hukum oleh Allah dengan 14 hukuman: lima didunia, tiga ketika mati, tiga di alam kubur, dan tiga lagi ketika keluar dari kubur.
Kelima hukuman di dunia adalah barakah dicabut dalam hidupnya, tanda sebagai orang shaleh dihapus dari wajahnya, semua amalan yang dikerjakan tak akan diberi pahala dari Allah, doanya tak akan diangkat kelangit oleh Allah, dan takakan mendapat bagian dari doanya orang-orang yang shaleh.
Hukuman yang diterimanya ketika mati adalah ia akan mati dalam keadaan hina, dalam kelaparan dan dalam kehausan. Meskipun ia diberi minum air seisi dunia, semua itu tak akan mampu menghikangkan hausnya.
Hukuman yang diterimanya ketika dikubur adalah kuburnya menyempit hingga tulang-tulangnya remuk tak karuan, dinyalakan disana api yang nyalanya membara siang-malam, dan ia dihidangkan kepada seekor ular yang bernama As Suja al-Aqra. Kedua bola matanya dari api, kuku-kukunya dari besi, dan panjang tiap kuku itu sepanjang perjalanan satu hari. Ular itu terus menerus melukai si mayit sambil berkata, ‘Akulah As Suja al-Aqra!’ serujannya bagaikan gemuruh halilintar, Aku diperintahkan oleh Rabku untuk memukulmu atas kelakuanmu yang menunda-nunda shalat subuh sampai sampai terbit matahari, atas shalat zuhur yantg kau tunda hingga masuk waktu asar, atas

shalat asar yang kau tunda hingga masuk waktu magrib, atas shalat mabrib yang kau tunda hingga masuk waktu isya, dan juga atas shalat isya yantg kau tunda hingga masuk waktu subuh.’ Setiap kali ular itu memukulnya, ia terjerembab kebumi selama 70 hasta.
Demikian keadaanya hingga datangnya hari kiamat nanti. Adapun hukuman yang menimpanya sekeluar dari alam kubur adalah hisap yang berat, kemurkaan Rab, dan masuk neraka.”

Ya Allah,
ampunilah kesungguhanku, kelalaianku, kesalahanku, dan kesengajaanku
yang semua itu ada padaku.

2. Menganggap Shalat Berjama’ah Adalah Keutamaan
Kebanyakan dari kita terjebak dalam pemahaman bahwa shalat berjama’ah hanyalah sunnah, keutamaan saja. Itulah syubhat, atau keracunan pemikiran.
Suatu hari Abdullah bin Umi Maktum menghadap kepada Rasulllah saw melaporkan keadaanya yang buta dan tidak ada orang yang menuntunya untuk shalat berjama’ah kemasjid. Padahal rumah Umi Maktum lumayan jauh. Untuk itulah Umi Maktum meminta keringanan untuk diizinkan tidak menuaikan shalat berjama’ah dimasjid. Mendengar penuturan yang demikian itu Rasulullah mengizinkannya. Namun kemudian ketika orang itu berpaling, Rasulullah itu memanggilnya seraya berkata: “Apakah engkau mendengar panggilan untuk shalat?” dia menjawab: “Ya”. Maka beliau bersabda: “Kalau begitu penuhilah!” (HR. Muslim).
Dalam hadist diatas disebutkan bahwa Rasulullah saw tidak memberikan izin bagi orang yang buta tersebut untuk meninggalkan shalat berjama’ah. Alasannya sederhana, sebab ia masih mendengar azan, meskipun tak adanya juga orang yang menunutnya. Padahal dia buta.
Syaikh Ibnu Utsmain menyatakan bahwa dapat mendengar azan adalah ukuran jarak rumahnya dari masjid. Jadi selama ia masih mendengar azan, dia masih dianggap dekat dan tidak ada keringanan baginya.
”Wahai Rasulullah, sesungguhnya dikota Madinah ini masih banyak binatang- binatang buas dan binatang berbahaya. Maka Nabi saw bertanya: ‘Apakah kau mendengar hayya ‘ala shalah, hayya ‘alal falah? Kalau ya, maka segeralah engkau penuhi panggilan itu.” (HR. Muslim).
Ibnu Khuzaimah menyebutkan, “Ini merupakan dalil bahwa shalat berjama’ah adalah faridlah (wajib hukumnya) bukan fadilah (keutamaan saja)”.
Dan dalam hadist diatas bukan hanya jarak yang jauh, tetapi medan yang berat dan berbahaya pun tak menjadikannya toleransi untuk meninggalkan shalat berjama’ah di masjid. Sedangkan sekarang, kondisi jalan bagus, dipaving, dibeton, atau diaspal. Sementara Umi Maktum harus melewati semak belukar yang mungkin ada ular, atau binatang berbahaya lainnya. Tapi, tetap saja tak ada keringanan baginya untuk tak shalat dimasjid secara berjama’ah, ditambah lagi ia buta. Jika orang buta saja diharuskan untuk tak meninggalakan shalat berjama’ah, maka yang tak buta lebih tidak diizinkan lagi.
Berdasarkan riwayat itulah Imam Al Khathabi berkata, “Hadist ini menjadi dalil bahwa shalat

berjama’ah adalah wajib”. Kalau saja shalat berjama’ah itu hanya anjuran, maka orang yang pantas meninggalkan shalat adalah orang yang memiliki udzur atau kelemahan atau orang seperti Abdullah bin Umi Maktum.

Diantara tanda kemunafikan adalah meninggalkan shalat berjama’ah, sehingga Ibnu Mas’ud mengatakan: “Tidaklah sekali-kali mangkir dari shalat (berjama’ah), kecuali orang munafiq yang dikenal kemunafikannya”.

“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang ruku’.” (Al Baqarah: 43)
Maksud dari “rukuklah beserta orang-orang yang ruku” adalah “Bersama jama’ah mereka”. Perintah ini mutlak karena dari Al Qur’an, maka ini menunjukkan wajibnya perkara itu.
Alangkah indahnya dalam sujud dan ruku’ kita mensucikan dan memuji Allah sebagai symbol ketundukan dan ketaatan kita pada Allah SWT. Allah Maha Pengasih dan MAha Penyayang, jangankan pada mahkluk-Nya yang tunduk dan taat, bahkan dengan orang yang membangkang pun dengan segala kesombongannya, Allah masih memberikan nikmat yang tiada tara.
Senada dengan petunjuk diatas, Al Qur’an pun memerintahkan untuk tetap menjaga shalat berjama’ah meskipun di tengah perperangan, sebagaimana firman-Nya, “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (An Nisaa’ 102).
Kalau dalam keadaan perang saja Allah tetap memerintahakn untuk shalat berjama’ah, dengan shalat khauf, tentunya dalam keadaan aman lebih diwajibkan. Kalau saja shalat berjama’ah tidak diwajibkan, tentu perang merupakan udzur yang sangat besar untuk meninggalkannya.
Ibnu Taimiyah berkata: “Sesungguhnya di perintahkan shalat khauf berasama jama’ah dengan tata cara khusus yang membolehkan perkara-perkara yang pada dasarnya dilarang tanpa udzur seperti tidak menghadap kiblat dan banyak bergerak-dimana perkara-perkara tersebut tidak boleh dilakukan jika tanpa udzur dengan kesepakatan para ulama-, atau meninggalkan imam sebelum salam menurut jumhur, demikian pula menyelisihi perbuatan imam seperti tetap berdiri dishaf belakang ketika imam ruku’ bersama shaf depan, jika musuh ada dihadapannya.”
Para ulama berkata: “Perkara-perkara tersebut akan membatalkan shalat jika dilakukan tanpa udzur. Kalau saja shalat berjama’ah dimasjid tidak diwajibkan namun hanya merupakan anjuran,

niscaya perbuatan-perbuatan diatas membatalkan shalat, karea meninggalkan sesuatu yang wajib hanya karena hal yang sunnah. Padahal, sangat mungkin shalat dilakukan oleh mereka secara sempurna jika mereka masing-masing shalat secara sendirian (bergantian). Maka jelaslah shalat berjama’ah merupakan perkara yang wajib”.
Maka dengan alasan apalagikah Anda semua meninggalakan sahalat berjama’ah dimasjid, padahal Anda dalam keadaan tidak buta, badan Anda kuat, muda umurnya, aman jalannya dan dekat rumahnya dengan masjid?
Tidakkah Anda takut karena penyakit dalam hati Anda, sebagaimana disebutkan oleh rasulullah saw dari Abu Hurairah ra bahwa rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya shalat yang paling berat buat orang munafik adalah shalat isya’ dan shubuh. Sesungguhnya mereka tahu apa yang akan mereka dapat dari kedua shalat itu, pastilah mereka akan mendatanginya dengan merangkak.”
Hadist tersebut setidaknya memberika dua pelajaran pada kita;
Pertama, bahwa orang yang malas melakukan shalat berjama’ah dimasjid berarti terjangkit virus kemunafikan. Kalau seseorang tertular virus HID/AIDS, DB, cikungunya sudah sibuk mengobatinya, mengapa ketika terkena penyakit ini malah senang? Tidakkan berfikir bagaimana di akhirat kelak?
Ya, diantara tanda virus kemunafikan adalah meninggalkan shalat berjama’ah, sehingga Ibnu Mas’ud mengatakan: “Tidaklah sekali-kali mangkir dari shalat (berjama’ah) kecuali orang munafik yang dikenal kemunafikannya”.
Kedua, shalat berjama’ah, khususnya shubuh dan Isya’ memiliki keutamaan yang sangat besar. Besarnya pahalanya adalah 27 kali dari shalat sendirian. “Shalatnya seseorang dengan berjama’ah lebih banyak dari sholat sendirian dengan dua puluh tujuh kali” (HR. Muslim).
Mengapa dilipatkan dua puluh tujuh kali, karena ditambah dengan berwudhu dan membaguskan wudhunya, kemudian mendatangi masjid dimana tak akan dilakukan hanya untuk selain shalat, dan itu pasti diniatkan untuk shalat. Dimana dalam satu langkah kecuali akan ditinggikan derajatnya dan dihapuskan kesalahannya hingga sampai masjid…….dan malaikat tetap bershalawat padanya selama ia berada pada tempat shalatnya seraya berdoa’ “Ya Allah berikanlah kasihmu kepadanya, Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah ampunilah dia…”

Tetapi,
jagalah baik-baik waktu shalat itu.
Jangan sampai budimu mencuri,
melepaskan hati,
menaruh hati kepada seseorang,
dan kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak.

Atau mungkin sudah tidak lagi membutuhkan pahala dari Allah SWT, sehingga ketika rasulullah menunjukkan keutamaan shalat berjama’ah, petunjuk ini tak menarik. Maka dapat dipastikan syaitan
telah merasuki dalam hati kita semua. Hendaklah mulai sekarang kita berjama’ah, karena sesungguhnya serigala itu hanya akan memakan domba yang lepas dari kawanannya.

Namun apabila kita telah pulang dari masjid dari sholat berjama’ah, hendaklah kalian jalan berpencar-pencar, agar masing-masing dari kalian membaca Al-Qur’an atau bertasbih menyucikan Allah, karena sesungguhnya jika kalian jalan bersama-sama, tentulah kalian akan mengobrol dan menyia-nyiakan waktu kalian.

Nasihat dan Teladan Generasi Terdahulu
Diketengahkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, bahwa Muadz bin Jabal ra. berkata, “Barang siapa ingin berjumpa dengan Allah dalam keadaan aman sentausa, maka hendaklah ia mengerjakan shalat lima waktu ditempat panggilannya (masjid) karena hal itu termasuk sunanul hudaa (tradisi-tradisi islam) dan salah satu yang diajarkan oleh Nabi kalian. Dan jangan sampai ia berkata, “aku sudah punya mushola dirumahku, maka akupun shalat disitu,” sebab jika kamu melakukan hal itu maka kamu telah meninggalkan sunnah nabimu, dan barang siapa yang meninggalkan sunnah nabimu, maka kamu pasti tersesat.”
Imam Malik di dalam al-Muwaththa’ meriwayatkan, bahwa Umar pernah menulis surat pada pegawainya, “Sesungguhnya perkara yang paling penting bagiku adalah shalat, orang yang memeliharanya maka ia akan memelihara agamanya, dan orang yang menyia-nyiakan shalat itu berarti ia akan lebih parah menyia-nyiakan syiar-syiar Islam yang lain.”

Tetapi janganlah hanya mengerjakan amal-amal yang ringan saja,
janganlah hanya shalat saja,
tetapi menahandiri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah,
jauh lebih besar pahalanya daripada ibadah

3. Mengutamakan Sunnah di Atas Kewajiban
Orang yang mendengar azan dikumandangkan disunahkan untuk menjawabnya, sebagaimana hadist; “Dari Abu Sa’id al-Khudrly, bahwa rasulullah saw bersabda, ‘ Apabila kalian mendengar azan dikumandangkan maka katakanlah seperti apa yang dikatakan mu’azin’.” (HR. Muslim)
Karena seseorang masuk masjid dan mu’azin sedang mengumandangkan azan, maka hendaklah ia menjawab azan lebih dahulu, agar mendapatkan keutamaan azan. Adapun shalat tahiyatul masjid dilakukan selesai menjawab azan yang dikumandangkan oleh mu’azin.
Namun kalau memasuki masjid ketika hari jum’at untuk jum’atan dan azan telah dikumandangkan, hendaknya tidak mengakhirkan shalat takhiyatul masjid untuk menjawab azan. Karena jika mengakhirkan shalat hanya untuk mendengar azan, kita akan meninggalakan kewajiban khutbah. Ini berari mengutamakan sunnah diatas kewajiban, dan itu tidak benar. Karena itulah ketika azan dikumandangkan, hendaklah terus saja shalat dua rekaat.

4. Kesalah Penggunaan Al-Fatihah
Tidak dipungkiri al-Fatihah adalah sebuah surat yang agung. Secara makna, surat ini ringkas teta-

pi mengandung makna yang sanga dalam. Bahkan bisa dikatakan, semua kandungan Al-Qur’an telah termuat di dalam surat ini secara global. Sehingga surat ini dinamakan Ummul Kitab atau Ummul Qur’an (induk al-Qur’an). Tentang keagungan ini, tak ada perbedaan pendapat diantara para ulama’, baik khalaf maupun salaf.
Namun saat ini muncul berbagai tindakan aneh yang dilakukan umat muslim terhadap al-fatihah. Dintaranya adalah menjadikan surat tersebut menjadi bacaan pembuka dalam sebuah majelis atau kegiatan, hadiah bagi orang mati dan hadiah buat rasulullah atau orang-orang shalih.

Pertama; Al-Fatihah sebagai pembuka kegiatan
Mungkin kita pernah menghadiri suatu majelis, lalu MC mulai mengatakan, “Marilah kita buka acara ini dengan bacaan ummul Qur’an, Al-Fatihah!” Di beberapa tempat hal itu sudah menjad tradisi, bahkan boleh dikatakan hal itu sudah mendarah daging. Tetapi sesungguhnya hal ini tidak sesuai dengan syari’ah.
Memang betul bacaan al-Fatihah itu baik, tetapi jika dikaitkan dengan suatu oeristiwa tertentu, menjadi tidak baik. Kalau kita baca sewaktu-waktu tidak masalah, tetapi jika dikhususkan membacanya untuk membuka suatu kegiatan, namanya menjadi bid’ah. Padahal anjuran untuk memulai suatu kegiatan adalah dengan membaca basmalah saja, bukan al-Fatihah. Diantaranya adalah;
• Membaca basmalah ketika akan berwudlu’.
“Tidak ada (sah) bagi yang shalat yang tidak berwudlu, dan tidak ada wudlu bagi yang tidak menyebut nama Allah untuk wudlu’nya.” (HR. Ahmad)
• Ketika hendak memulai makan dan minum.
“Wahai pemuda, bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari yang terdekat denganmu.”(HR. Bukhari dan Muslim)
• Ketika keluar dan masuk rumah.
“Apabila seseorang dari keluar dengan membaca bismillahi tawakkaltu’alallah laa haula walaa quwwata illa billah, dikatakan kepadanya ketika itu, engkau diberi petunjuk, dicukupi, dijaga, maka syaitan pun menjauh darinya.”(HR. Abu Daud)

Maka dalam memulai suatu kegiatan hendaklah cukup membaca basmalah saja.

Kedua; Al-Fatihah dibaca untuk orang mati
Ada juga diantara masyarakat yang suka mengirimkan bacaan al-Fatihah kepada orang mati, baik untuk kalangan kaum shalihin atau keluarga mereka. Biasanya mereka membacanya dengan diawali kata,”Ilaruhu….,al-Fatihah!”
Tindakan ini adalah tindakan yang tidak sesuai dengan tuntunan syari’ Islam. Ada beberapa alas an untuk menegaskan ketidaksesuaian tersebut dengan tuntunan Islam, antara lain;


1. Karena al-Qur’an diturunkan Allah hanya untuk mereka yang hidup agar diamalkan, dan tidak diturunkan pada yang mati. Allah berfirman tentang al Qur’an,
“Supaya ia menjadi peringatan bagi orang yang hidup.”
Dan dalam sebuah hadist, rasulullah bersabda,
“Jika seseorang mati maka terputuslah 3 amalnya kecuali 3 hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.”(HR. Muslim,at-Tirmidzi,an-Nasa’I dan Ahmad)
2. Ibnu Katsir menyebutkan ketika menerangkan firman Allah,
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh kecuali apa yang diusahakan.”
Sebagaimana ia tak menaggung dosa yang lain, maka ia juga tak mendapatkan pahal kecuali apa yang ia usahakan untuk dirinya sendiri.
Lantas Iman syafi’I menyimpulkan bahwa membaca al-Fatihah untuk dikirimkan kepada si mayit, maka pahala itu tidak akan sampai padanya, karena bukan dari amal perbuatan dan usahanya. Dan karena rasulullah tidak menganjurkan (menyunahkan) umatnya untuk melakukannya, memerintahkannya, ataupun membimbingnya dengan suatu Nash. Hal seperti ini juga tidak dilakukan pra sahabat. Seandainya itu merupakan suatu kebaikan, tentulah mereka akan mendahului kita dalam mengerjakannya.
Bahkan rasul berkata pada para sahabatnya ketika selesai mengubur mayit:
“Mohonlah ampun bagi saudaramu, dan mintakanlah ketetapan atasnya, karena sekarang ia sedang ditanya.” (HR. Abu Dawud)
Dan rasulullah mengajarkan pada para sahabatnya krtika memasuki kuburan untuk mengatakan, “Keselamatan bagimuwahain ahli kubur dari kaum muslimin, dan kita insyaAllah akan bertemu dengan kalian, aku memohon (afiyat) keselamatan dari azab dari Allah bagi kami dan bagi kalian semua”.(HR. Muslim)
Hadist ini menyuruh kita untuk memohon afiyat bagi mayit bukan untuk mengirim pahala kepada mereka atau meminta pertolongan dengan mereka. Adapun do’a, maka para ulama sepakat bahwa itu akan sampai, dan ada nash yang mensyari’atkan.

Ketiga; Membaca al-Fatihah untuk Nabi
Meskipun mengucapmal-Fatiha kepada nabi bisa dimasukkan membaca al-Fatihah untuk orang yang mati, hal ini sengaja dipishkan karena nabi mempunyai hak-hak khusus. Namun bagaimanapun juga ini tidak ada dasar untuk melakukan tindakan ini, baik dari Qur’an atau sunnah. Para sabahabatpun juga tidak pernah melakukannya. Adapun dalil tentang kewajiban terhadap rasulullah ada, yaitu perintah untuk mengucapkan shalawat atas beliau.
“Sungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Ayat ini memerintahkan kita untuk mengucapkan shalawat atas nabi, bukan membacakan al-Fatihah untuknya atau untuk memohon padanya agar kesulitan kita berakhir. Nabi bersabda, “Barang
siapa membacakan shalawat untukku sekali, maka Allah membalasnya sepuluh kali karenanya.”(HR.

Muslim)

4. Shof
Di beberapa masjid, kadang kita melihat orang shalat masih menempatkan diri seenaknya. Ada yang memilih dekat pintu, ada yang memilih dekat dengan kipas angin, dan kadang-kadang ada yang enggan meninggalkan kawan. Akibatnya shof yang lebih dekat banyak yang kosong, sementara shof yang selanjutnya sudah terbuat. Padahal shof yang paling depan adalah shof yang paling baik, dan shof yang paling belakang adalah yang paling buruk.
Dengan mengingat forman Allah dalam surah al-Bawarah ayat 148, “Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan.”.
Tapi sungguh disayangkan, sebagian kaum muslimin tak berlomba-lomba dalam mendapatkan kebaikan ini. Bahkan tak jarang mereka malah menghindari dan enggan untuk memposisikan diri pada shof yang pertama, lalu mereka mempersilahkan orang lain untuk berada di shaf depan. Syaikh Izzuddin dala kitab al-Qawa’id mengatakan: “Tidak boleh mempersilahkan orang lain dalam ibadah untuk mendekatkan diri pada Allah. Maka tidak boleh mempersilahkan orang lain untuk berwudu sedangkan dirinya bertayamum, atau untuk mempersilahkan orang lain untuk menempati shof yang depan sedang dia ada di belakang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar