Halaman

Minggu, 19 Juni 2011

Dulu, Sekarang dan Nanti

Dulu
Dulu, aku pernah mencari sesuatu. Kuberusaha mencarinya, walau ku tak tahu dengan jelas apa yang hendak ku cari, atau cara mendapatkannya.
Aku sering merasa bingung, merasa banyak menjumpai kekacauan dan kekalutan batin, diserang oleh bermacam-macam perasaan yang tidak memuaskan atau yang kurang menyenangkan hati. Secara singkat, ku tak mendapatkan ketenangan dan kesejahteraan dalam hidupku. Pernah aku menempuh cara yang salah untuk mendapatkanya. Aku cenderung untuk melihat dan mencari di luar diriku sendiri. Akibatnya, dunia ini merupakan sumber semua kegelisahanku.
Ku mencarinya dalam keluarga, dalam pekerjaan, dalam pergaulan dan sebagainya. Dan kuberanggapan kalau dapat mengubah keadaan sekeliling, aku akan menjadi tenang dan bahagia. Itu membuatku jadi banyak bertanya, ‘siapa, mau apa, mengapa, dll.’ Semua itu membingungkan. Lalu aku marah dan melupakan pertanyaan itu. (Padahal tadi aku ingin tahu ‘siapa, mengapa, dari mana, dan sebagainya’).
Aku memang begitu, kadang penuh emosi, dan tidak bisa menilai lebih Ianjut tentang apa yang sebenarnya kuhadapi. Paradigmaku memang sangat rumit. Sulit dalam membedakan mana yang benar dan mana yang salah, hingga terkadang kuseenaknya sendiri mengambil keputusan.
Beban kehidupan yang membuatku demikian. Masalah yang tak kunjung selesai, musibah yang tak kunjung berhenti, kesulitan yang tak kunjung ditemui jalan keluarnya, dan awan hitam yang tak pernah menyingkir.
Aku tidak bisa walau sedikit merasa ringan, terlupa dari beban masalah, menepi dari segala kesedihan, menjauh dari segala gundah-gulana saat tidur, melupakan sejenak awan hitam dari himpitan bumi yang menghimpit harapan, dan atau tersenyum menatap kenyataan.
Aku lelah; tenaga ku telah terkuras; air mata telah melelehkan semangatku; dan langkah ku telah gontai.
Hidup akan selalu diikuti berbagai pertanyaan, entah dari mana datangnya. Sebagian pertanyaan dengan mudah terjawab, sedangkan sebagian lagi mungkin akan jadi pertanyaan abadi. Begitu pula halnya denganku; aku merasakan ada banyak sekali pertanyaan yang timbul namun tidak ada jawabannya. Kuberusaha bertanya pada apa saja tentang siapa yang dapat membantu. Namun, masih saja tertinggal berbagai pertanyaan yang tak terjawab.
Aku melihat adanya masalah baru lagi, “Mengapa ada banyak sekali pertanyaan yang tidak bisa kudapatkan jawabannya?” Jujur saja, aku mulai gelisah menjalani hidup yang ini-ini saja.
Sekarang
Seseorang pernah berkata padaku, “Menjadi yang terbaik, tidaklah harus menjadi nomor satu.” Pertama kali tak mudah bagiku untuk memahaminya. Bukan hanya karena sifatnya yang tak realistis, tapi juga waktu yang kurasa tak cukup untuk memahaminya. Namun, kekecewaan dalam harapanku, telah melahirkan spekulasi untuk menjawabnya.
Penderitaan dimasa lalu memanggilku untuk memenuhi panggilan “harapan yang telah terrjanjikan.” Dulu, pada awalnya hanya sebatas harapan. Namun dalam perkembangannya, hal itu menjadi sebuah ideology baru dalam memandang segala hal. Dan yang kuinginkan adalah berada dipuncak dunia dengan menguasai segalanya.
“Ketika ku berada dipuncak dunia, aku bisa melakukan apapun yang kumau, termasuk menciptakan duniaku sendiri,maupun keadilanku sendiri.”
Dimana aku berada, ideology itu selalu berkaitan denganku. Suatu ideologi yang menurutku unik, yang dimana disaatku bertebaran keberbagai sudut dunia, selalu menghubungkanku dengan kebencian dan kekecewaan dari masa lalu.
“Yang terkuat adalah yang didalam hatinya pernah mengalami kekecewaan.”
Aku pernah terjatuh, dulu. Namun, ku tak ingin itu terjadi lagi. Itu membuat hatiku sakit. Dan sekarang, aku berusaha untuk belajar berdiri dikeyakinanku sendiri, dan kuyakin aku akan berhasil. Aku dapat melihatnya, suatu saat nanti.
Aku ingin selalu menjadi pembicaraan diatas panggung sejarah peradaban dunia. Karena kuyakin, ikatan kesejahteraan, emosi, dan khusunya kebanggaan terhadap kitab suci serta kebanggan sebagai umat pilihan Tuhanlah yang akan membentukku.
Dan Nanti
Aku selalu menyempatkan diri berpetualang keseluruh pelosok dunia maya. Aku mengumpulkan berbagai ilmu dan menerapkanya dalam kehidupan. Rangkuman ilmu itu menghasilkan sebuah ilmu baru yang menjadi ciri khas cara berpikirku. Hingga akhirnya kupunya pandangan tersendiri terhadap segala sesuatu.
Sendirian kutegak dengan keyakinan itu. Meski melihat semua hal dari jalur-jalur seperti labirin yang tersembunyi, jalur yang jauh menjalar-jalar, jalur yang tak kukenal, dilokus-lokus antah berantah, tiada berujung, tanpa teman (yang sama-sama terperangkap), dan tak ada bintang yang dapat dipercaya maupun cahaya untuk tahu harus kemana. Aku tak peduli lagi. Karena hanya ada aku dan aku sendirlahi yang menuliskan jalanku, dan akhirnya juga hanya aku yang akan menorehkannya seperti apa.
Sejak itu, kumulai merasa sebenarnya ada sesuatu yang harus kucari. Jika kubisa mendapatkanya, aku akan mendapatkan seluruh isi dunia. Tapi, bila kutak bisa mendapatkannya, meskipun aku memiliki “segala sesuatu”, ku seperti tak memiliki apapun.
Aku mulai menyukai hobi baru ini. Melakukan sebuah pergumulan panjang dalam kesepian, memahami sesuatu, dan bertanya tentang banyak hal yang berbeda.
Satu persatu jawaban kutemukan dan menuntunku kejawaban berikutya, kesebuah mata rantai yang sempurnya. Jika kuberada di jalan yang salah, akan muncul hal lain yang menarik perhatianku. Pengalihan jalan itu memunculkan jawaban besar berikutnya. Jika ku ‘tak sengaja’ menekan mata rantai (link) yang salah, seperti ada sesuatu yang menjuruskanku kepotongan informasi lainnya (yang sangat penting). Dalam waktu yang tak singkat, kutemukan praktisi masa kini dari ‘apa yang kutemukan’ tersebut.
Suatu saat nanti, jika aku bercermin, aku melihat seseorang yang berharga; seseorang yang merubah dunia melalui gagasan gilanya. Bila ku tak bisa, generasi berikut yang melanjutkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar