Halaman

Senin, 20 Juni 2011

Mama

Yang tak Telupakan

I

Inilah kisah seorang anak manusia. Penuh cinta, canda, dan tawa.
Ku ingin kalian juga rasakannya. Hati bahagia, namun harus terluka.
Mungkinkah hanya cinta yang mampu mengubah sedih dalam tawa.
Jangan sedih bila kau dengar, ia akan memulai kisahnya namun juga akan mengakhirinya.

Dengar, dengarkanlah kisahnya;
Dikala rintik-rintik hujan mulai turun, ia berdiri didepan makan ibunya.
“Mama, hujan telah turun dan bunga lili bermekaran.
Kata guruku,bunga lili adalah bunga ibu dan anak, tapi hari ini kau tak akan menjemputku lagi.
Akan sendirianlah aku menunggumu ditempat ini. Tahukah kau, kau membuatku tahu bagaimana tekanan sebaya itu.
Sedang apa kau disana, mama?
Apa kau sedang melatihku dalam kondisi sulit semacam ini, dikarenakan Aku tak pernah mengalami sejumlah ketidak beresan semacam ini sebelumnya?
Mama, aku yang berbicara padamu dengan membenci kesombongan dengan seluruh keberadaannya, termasuk tempramen dan keadaan mental. Sekarang, apakah sudah saatnya aku mengambil pembelaan diriku sendiri?
Hanya seorang yang sangat terluka, yang telah menyaksikan semua hal terabaikan dan keadilan terinjak-injak yang bisa berbicara. Dan mungkin aku juga telah mengalaminya.
Namun setelah kau pergi, hatiku serasa semakin tipis. Seperti mentega yang dioleskan kebebarapa roti. Hingga membuatku ingin; untuk waktu yang lama dan bahkan tak ingin kembali.
Apakah aku akan bisa berbicara pada saat ini; seperti ini, dengan kata-kata yang berasal dari darah dihatiku dan kebenaran dari ususku?
Tak sedikit yang kau ajarkan padaku, tapi seakan-akan semuanya menghilang bersama kepergianmu.
Semakin ku berusaha mengingatnya, seakan-akan semakin tertutup pintu gerbang hatiku.
Mama, kau adalah pusaka hatiku, yang pertama ada dalam doaku, dan namamu yang ku ukir sebagai namaku; aku Sang Putra Elisabet.
Apa mungkin sudah saatnya aku memutuskan untuk mengambil keuntungan ini, dari hak-hakmu sebagai seorang putri dari kerajaan barat?
Bukankah keputusanku ini nanti akan memancing kepanikan yang nyata?
Dan semua orang-orang itu akan melihatku sebagai setan kecil pemaki sedang memberitahu mereka bahwa aku akan mengancurkan seluruh pekerjaan mereka? Pasti akan sangat tidak menyenangkan mereka, bukan?
Sejujurnya, aku tak siap menggunakan hak ini sekarang; meskipun bila saja aku tak berada dalam keadaan terpaksa sekalipun.
Namun dalam keadaan diam sekalipun, aku juga tak akan lebih merasa sama saat mungkin aku bicara.
Apakah lebih baik bagiku melakukan semua ini agar terjadi kejelasan sepenuhnya?”
Tertunduklah ia disebabkan semakin kerasnya hujan yang turun.
Dalam kesendirian ia berdoa, “Oh Tuhan, aku tak meminta kekayaan darimu meski kau telah memberikannya, aku juga tak meminta kedudukan meski aku telah mendapatkannya, aku hanya ingin pengetahuan dan kebijaksanaan; agar aku bisa mengerti apa yang aku lakukan ini benar atau salah.”
Itulah kata-kata terakhir Putra Elisabet dimalam itu, mulai dari situlah kisah dimana seorang yang mengaku manusia biasa mendedikasikan hidupnya untuk hal yang benar-benar ia inginkan. Dan terwujudlah akhir dari ceritanya, meskipun pada akhirnya ia berhadapan dengan kematian, namun baginya kehidupan dimulai.

II

Ketika waktu mulai digoreskan Tuhan, sebuah kalam tengah melanjutkan kisahnya tentang keteladanan.
Namun kehidupan manusia semakin maju, hingga sepertinya malampun tak cukup untuk sebuah mimpi.
Dua tahun sudah lah lewati tanpa ibunya, ia pun merasa semakin kecil dengan langkah kakinya. Bagaimana tidak, ia sudah merasakan kehilangan disaat ia masih harus mendapatkan kasih-sayang.
“Mama, kau pernah berkata padaku tentang sebuah kalimat yang tak bisa aku lupakan; sebab melupakannya hanya akan membatasi usiaku, ‘Saat senang ataupun sedih, manangislah dalam hati.’
Ya, aku ingat kau berkata seperti itu, karena bahasamu yang halus dan tersayang itu yang seakan selalu mengingat kalimat itu. Juga dari parasmu yang cantik nan rupawan, yang dapat kulihat dari gambaran halus budimu.
Mama, 2 tahun sudah kau meninggalkanku sendiri. Tak tahukah engkau berapa banyak kepedihan yang kau beri padaku?
Mungkin bila kita bertemu, hatiku pasti akan terasa bergetar setiap kali ku menceritakannya; karena semuanya berisi uraian yang gamblang tentang penderitaan yang kau tinggalkan.
Duhai betapa beratnya mempertahankah hak-hakmu, yang memaksaku memberikan pengorbanan diri yang mungkin belum pernah terpikir olehku. Dimana sepertinya aku sebagai seorang bocah yang sendirian harus membuka cakar-cakar penjara yang dimana orang-orang yang jujur sengaja dimasukkan didalamnya.
Mengapa aku sebagai laki-laki harus mengeluh semacam ini? Duhai betapa sedihnya aku ini, menyadari aku hanya seorang diri dan tak ada yang merasa bersalah akan nasibku.
Tentang bagaimana aku seorang diri menegakkan rahasia yang sebenarnya terjadi seorang diri; ketika begitu banyak orang tak melihatnya.
Tahukah engkau resiko apa yang meski aku ambil agar kebenaran dikatakan?
Aku tak menyembunyikan apapun, demi kebenaran: semua ini aku lakukan melalui pengorbanan tanpa teladan mungkin dalam sejarah sekalipun.
Sendirian lah aku membicarakan tentang ilham-Nya; dalam perjuangan dan tentang perlakuan baik nan murah hati yang kau miliki.
Sebagaimana yang kukatakan, ku tahu aku akan menderita. Tapi aku coba untuk tak menyesalinya. Sebab kenyataanya adalah kau adalah ibuku, dan aku adalah putramu; sang Putra Elisabet dari kerajaan Barat.
Sebelum aku bertemu dengannya, seorang teman yang merubah pandanganku, aku pikir kebencianlah yang akan memberiku kekuatan; bahkan disaat tak ada harapan sekalipun, kebencian membuatku tetap bertahan.
Namun kedatangannya merubah sebagian besar diriku. Ternyata cinta ibu dan anaklah yang mendasari kita sebagai manusia bisa mengetahui kata-kata bertahan.
Benar, konsekuensi yang ku ketahui adalah penderitaan, tapi predikat sebagai anakmu, tak akan pernah membuatku menyesali keadaanku.
Kehidupan memang akan menjatuhkanku, tapi bukankah kita masih punya dua pilihan. Belajar untuk bangun atau tidak sama sekali, bukan?
Kenyatanya sekarang, aku telah mempunyai mimpi yang sama denganmu, maka tak akan ada yang dapat memisahkan kita-baik penjara ataupun rumput pekuburan.
Ada kalanya mungkin aku akan rapuh seperti rumah kartu, tapi demi satu kenangan, satu semangat, satu cita-cita, satu kata hati, satu martabat, semua itu akan menompangku. Dan permintaan hatiku akan dikalbulkan, pada saat itu apa yang aku anggap sebagai misi terpenting dimulai: untuk mengungkapkan berbagai hal dengan bukti yang tak terbantahkan, untuk menunjukkan kepada dunia kebenaran yang ditunda sebagian orang.
Sekarang dua tahun telah berlalu. Dan kini semua perjuangan itu tinggal kenangan. Aku telah berdiri dihadapan mereka semua.”
Jam sudah menunjukkan pukul satu siang; yang dalam perhitungan orang Indonesia adalah angka tiga belas; angka yang buat sebagian besar orang eropa menamakan sebagai angka keramat.
“Mama, meski mereka semua berwajah suram, tapi kulihat dari sudut pandang lain, merekalah yang akan membawaku pada kebebasan.
Dan sebentar lagi kita akan bertemu. Mama, aku punya satu permintaan. Tolong beritahukan lah pada ayah jika anaknya akan bertemu dan berkumpul bersama-sama lagi, seperti dulu.”
Di kala lehernya telah terikat kematian, masih sempatlah ia berkata seperti itu. Kalimat terakhir itulah yang kuingat darinya.
III

Dengar, dengarkanlah kisah tentang putra Eli ini. Dengarkanlah, namun jangan bersedih; sebab kesedihan tak akan mengarahkan pada tujuannya.
Sewaktu ia berusia berusia 17 tahun, ia bermimpi bertemu dengan Tuhan.
Tuhan menanyakan apa yang diinginkannya, dan ia menjawab, “Tuhan, berikan aku kebijaksanaan beserta pengetahuan, hingga aku bisa mengetahui mana yang baik dan yang buruk.”
Karena ia tak meminta kekayaan, kemulyaan, kehidupan untuk musuh-musuhnya, bertemu dengan ibunya, atau umur panjang untuk dirinya, Tuhan pun memberi lebih banyak kebijaksanaan, pengetahuan, dan kemulyaan padanya.
Betapa hatiku bergetar. Tergugah setiap kali teringat padanya.
Seorang yang mengaku sebagai manusia biasa. Seorang yang yatim piatu. Seorang yang memelihara dan melindungi masa depan keinginannya dalam keadaan bagaimananpun.
Sebagaimana yang bisa engkau tebak, kematianlah yang menggemakan suaranya keseluruh zaman, dan menjatuhkan kesombongan para raja dan kaisar.
Ia mengajarkan sebagai seorang yang bangga akan ibunya, yang menempatkan martabat ibunya ketempat yang tak mungkin terjangkau oleh kekayaan dan kedudukan manusia.
Yang menjadikan ibunya sebagai sumber tenagannya, kesabarannya, dan juga pembangkit semangat kemanusiaannya yang tinggi.
Ia yang mencantumkan nama ibunya dalam lembar sejarah, hingga semua orang yang tahu namanya akan tahu juga siapa ibunya. Sebab berbagai perasaan sayang ibunya, cinta, dan kasih serta hormat, serta berbagai perasaan lain telah tercurahkan padanya.
Ia lah putra dari Elisabet, Putri dari kerajaan Barat.
Dia seorang anak yang tahu betapa besar peranan seorang ibu.
“Bila hidup yang nyata ini adalah mimpi, akupun ingin ini hanyalah mimpi.
Dan bila mimpi itu adalah kenyataan, aku mau hidup didalamnya.
Karena aku bisa melakukan apapun yang kumau. Dan yang aku mau adalah hidup bersamamu, mama. Karena mimpi itu adalah abadi.
Dan apakah kau tak tahu, setiap kata yang kuingat darimu, aku tak bisa melupakannya.
Aku tak tahu harus sedih atau senang, tapi aku sayang padamu mama, dengan seluruh yang aku punya.
Namun, tiap detik yang berlalu, membuatku terpaku ditempat ini. Selalu membayangkan apa yang akan terjadi.
Tahukah kau apa yang terjadi padaku setiap hari. Sebenarnya derita itu ada tidak, mengapa hari-hari yang berlalu terlalu sulit setelah kepergianmu, padahal belum sempat aku berterima-kasih padamu?
Diujung hari nanti, sesungguhnya ku sangat mengharapkan kau ada disampingku.
Menemaniku ketika seorang putra Eli memisahkan jiwa dan raganya. Dalam harapan terakhirku adalah menggenggam erat tanganmu. Hinga kuat tak lagi berpihak padaku.
Apalah yang aku minta? Meskipun aku seorang pangeran yang beristana, seorang pahlawan, bahkan mungkin pimipinan umat tak akan ada artinya jika aku bukan putramu.
Terlahir dari rahimmu adalah satu yang membuatku meras teristimewa.













IV

Sekarang, di depan mereka yang berwajah suram, aku berdiri. Ku tutup mataku bukan karena aku takut akan kematian. Hal ini disebabkan karena aku mengenang hormat padamu yang telah terbaring dahulu didalam kuburmu.”
“apakah ada permintaan terakhir sebelum kau menjalani hukuman mati ini wahai putra Eli?” Begitulah tanya seorang paruh baya yang berdiri disampingnya.
“Aku…”
Belum sempat ia berbicara, seorang di altar menyelanya, “Bukankah telah kau pegang jua nisan ibumu; karena kau bilang agar kehidupanmu selalu teringat oleh peranan yang besar dari ibumu. Dan aku sudah mengabulkannya, bukan?
Kau juga tahu ayahmu telah berjasa padamu semenjak kau kecil sampai besar, bahkan sebelum kau ada dan dilahirkan; sebab ayahmu telah memilihkanmu seorang ibu yang terhormat dan suci keluarganya.”
Dengan suara yang sopan, ia memotong kata-katanya, “Tuanku yang mulia, aku tak pernah lama berpikir tentang siapa aku. Ialah anak dari Elisabet, putri dari kerajaan Barat, seorang yang mengaku manusia biasa, seorang yang sangat menghargai kemanusiaan, dan kehidupannya dipenuhi oleh kebijaksanaan dan pengetahuan akan kehidupan.
Biarkanlah sekali ini aku berbicara, meski mungkin akan memuakkanmu. Ijinkanlah aku berbuat seperti itu, karena kau tak akan pernah mendengarnya lagi.”
“Baik, akan ku kabulkan. Namun dengan satu syarat.”
“Apa itu?”
“Biarkanlah aku bertanya padamu dan setelahnya mulailah untuk bicara sesukamu.” Jawabnya yang seakan-akan ia menganggap ini adalah permainan.
“Pertanyaan pertama; jelaskan padaku mengapa kau selalu menyendiri. Terkadang juga, kau menangis bila malam hari. Padahal kau adalah seorang anak Eli yang punyai segalanya, namun mengapa engkau memilih untuk meninggalkan semua itu? Alangkah bodohnya engkau itu.”
“Sudahkah kau selesai bebicara yaa Tuanku, apakah masih ada pertanyaan lain yang menghinaku?”
“Sudah tak ada untuk saat ini, lanjutkanlah kau berbicara agar kami semua tahu.”
Dengan suara yang keras, berbicaralah ia,“Bagi kebanyakan orang, hujan adalah musibah karena mereka tak bisa melanjutkan aktifitasnya. Namun bagiku hujan yang turun adalah saat yang aku nanti. Sebab didalamnya aku bisa merenungi apa arti hidup ini.
Ia berkata lsgi, “Duhai sahabatku semuanya, meskipun hidup ini didukung dengan berbagai teknologi yang semakin memudahkan rakyat menjalani kehidupan, namun gerak kehidupan semakin cepat, setiap diri mereka telah dikontrol oleh agenda yang senantiasa kalian bawa serta.
Aku lihat kalian selalu merasa diburu waktu yang seakan 24 jam sehari tidaklah cukup. Kehidupan seakan berjalan seperti rutinitas yang senantiasa harus kalian lakukan guna mencapai ‘tujuan hidup’, tanpa menyampingkan hal lain, hanya terfokus pada pekerjaan dengan dipenuhi oleh pikiran kesenangan yang akan mereka dapat dimasa mendatang.
Dibalik semua itu, aku tahu bahwa mereka merasa gelisah. Mereka merasa takut dan susah hati menjalani hidup yang itu-itu saja. Dan terkadang, mereka tak terlepas dari dari kebimbangan dan kesedihan, yang mengeruhkan kebeningan kehidupannya dan mematahkan kenikmatannya. Dan sungguh, aku terganggu dengan semua ini.
Pasti aku tahu, dihati mereka terbesit keinginan untuk mengadu, tapi entah pada siapa mereka harus mengadu, mereka tak tahu. Juga bagaimana kata untuk memulainya, juga mungkin karena mereka takut untuk mengadu, Sebab, mereka takut padamu yaa Tuanku.
Duhai betapa sering aku dibingungkan oleh keadaan ini, yang hendak aku ingkari, tapi tenyata tak dapat ku ingkari.
Dan semuanya menjadi tak begitu normal. Mereka merasa teganggu dengan kejadian atau benda benda sekelilingnya. Mereka melihat dengan apa adanya. Dan Mereka tak ingin seperti ini terus, mereka ingin merubahnya. Sebab mereka beranggapan kalau dapat merubah keadaan ini, mereka akan menjadi tenang dan bahagia. Namun sekali lagi mereka tak bisa dengan jelas melihat jalan keluarnya, atau ‘caranya’.
Mereka sudah berpikir, tapi proses itu menyita sebagian besar mereka. Waktu berlalu begitu cepat. Dan akhirnya tanpa sadar mereka telah menjadi budak dari pikiran yang mengembara tak tentu ini. Kadang kadang mereka membuat temukan jawaban atau keputusan akhir yang berhubungan dengannya. Namun keputusan itu tersembunyi lagi pertanyaan pertanyaan baru. Tersembunyi dalam jalur jalur seperti labirin, jalur yang jauh menjalar jalar, jalur yang tak dikenal dilokus-lokus antah berantah, tiada berujung. Menyeret mereka masuk sendirian mengarungi jalur pertanyaan ini. Penuh kegaduhan yang mengutukinya sepanjang malam.
Mereka sendirian dan berdiri melihat sesuatu yang tak diketahui didalam gelap itu. Tanpa teman yang sama sama terperangkap. Mereka berteriak putus asa memohon pengertian. Dan sangat takut akan kegelapan yang mengepungnya, hal ini membuatku menderita.
Entah mengapa ditempat yang jauh, entah dimana, tak ada bintang yang dapat dipercaya. Tak ada cahaya penuntun untuk tahu harus kemana. Mereka marah dengan bertanya, “Kapankah keadaan ini berlalu?” Pencarian jawaban ini memakan waktu yang tak sedikit. Disaat ini aku benar benar gelisah. Aku takut dan susah hati menjalani hidup diantara mereka semua ini.
Hari yang berlalu, semakin mendekatkan diri mereka kepada rangkuman ajal. “Mereka sudah mati, hanya saja orang belum tahu; mereka sendiri, entah sejak kapan; dan mereka sudah mati, hanya saja masih bergerak. Mereka telah hilang dalam kegelapan, keheningan, dan kelengkapan. Tapi mereka bukan orang yang sekarat, namun aku hidup dalam kekacauan. Mereka mati di setiap malam, dan sendirian dalam banyak arah. Mereka tak bisa tidur, tapi juga tak benar-benar terjaga.”
Mereka seperti seorang juara dari rasa sakit, karena Tuanku menjebak mereka dalam bayangan dan kepalsuan hidup, dan terpaksalah mereka menyebutnya kenyataan.
Jangan salahkan ku bila jadi banyak bicara; karena ku merasa tak pernah bicara apapun.
Ku tahu, telah lama mereka mencari jawaban-jawaban itu. Dan mereka berusaha mencarinya, walau tak tahu dengan jelas apa yang hendak mereka cari, atau cara mendapatkannya.
Mereka sering merasa bingung, merasa banyak menjumpai kekacauan dan kekalutan batin, diserang oleh bermacam-macam perasaan yang tidak memuaskan atau yang kurang menyenangkan hati.
Secara singkat, mereka tak mendapatkan ketenangan dan kesejahteraan dalam hidupnya. Sering kali mereka menempuh cara yang salah untuk mendapatkanya. Mereka cenderung melihat dan mencari di luar dirinya sendiri. Akibatnya, dunia ini merupakan sumber semua kegelisahannya.
Mereka mencarinya dalam keluarga, dalam pekerjaan, dalam pergaulan dan sebagainya. Itu membuat mereka jadi banyak bertanya, ‘siapa, mau apa, mengapa, dll.’ Semua itu membingungkan. Yang mereka bisa akhirnya hanya marah dan melupakan pertanyaan itu.”
“Jadi itukah yang kau alamai, wahai Putra Eli? Dan itukah yang membuatmu sedih? Lantas intinya kau menyalahkanku sebagai pemimpinmu yang telah menyebebkan mereka menderita?”
“Duhai Tuanku, memang itu yang ingin aku katakana. Tapi ternyata kau telah mengatakannya dahulu, jadi aku tak akan mengatakannya lagi.
Ketahuilah, bahwasanya hanya disetiap malam yang kulalui lah, aku bisa mendapatkan ketenangan batin yang tak bisa kudapat diwaktu yang lain. Dalam usiaku yang tujuh belas tahun ini, aku telah mengalami semua ini secara pribadi. Diwaktu yang seperti itu, lebih mudah bagiku untuk merenungi apa arti hidup ini. Aku berusaha mencarinya dalam satu atau kebih area kehidupan.
Janganlah engkau memujiku karena kuatnya aku terjaga; sebab aku bisa seperti itu dikarenakan kemauanku bukan kekuatanku. Aku sadar, meski aku terkurung dipenjaramu, tapi kemampuan ini adalah kunci untuk menemukan jawaban yang aku rasa hampir tak bisa kutemukan.
Aku tak suka melihat kehidupan mereka dikontrol oleh orang-orang disekitarnya, olehmu. Yang akhirnya mereka harus menjalankan suatu sistem yang bertentangan dengan kata hatinya; karena bagiku tak seorangpun manusia dalam menjalani kehidupan harus kehilangan kontrol mereka.
Aku lebih senang bila mereka dikontrol oleh kehidupan mereka sendiri. Mereka pasti mengira bahwa mereka tak bisa keluar dari keadaan itu dikarenakan mereka sendiri.
Tapi menurutku tidak, Tuanku yang berkuasa itu lah yang telah merampas kebebasan mereka; karena aku melihat segala sesuatu yang pertama dari sudut pandangku.
Aku sadar, aku hidup dalam kehidupan ini adalah dalam realitas dunia nyata, bukan realitas dunia dalam komik; dan yang menang bukanlah ia yang benar, namun merekalah yang mempunyai kekuasaan, kekuatan, dan hal-hal yang sejenisnya, tergolong orang-orang seperti kau yaa tuanku. Dan yang lemahlah yang akan kalah, meskipun mereka berjumlah banyak.
Ketahuilah, aku ini, anak dari Elisabet, tak seperti kau yang memilih mengganti fokus kepentingan dan kesejahteraan orang lain dengan kepentingan dirimu sendiri. Itulah mengapa aku yang punya segalanya tak seperti kau yang bertindak dengan suatu cara yang berusaha cepat-cepat memuaskan ego dan hasratmu.
Dan karean aku sadari jika kecendrungan yang lebih kuat terbentuk, sampai ia menjadi sebuah kebiasaan hal itu akan membutakan kita dengan pengaruh dimasa depan, atau terhadap kehidupan orang lain; karena kesenangan hidup menjadi tergantikan dengan tindakan bertahan hidup belaka, atau ‘hanya mendapatkan sekedarnya’.
Itu tak berlaku padamu, dan aku yakin kau tak pernah bertanya pada dirimu sendiri duhai Tuanku, ‘tindakan apa yang bisa ku ambil yang akan menjadi kepentingan terbaik rakyatku dari semua orang yang terpengaruh.’
Aku katakan kepadamu mengapa aku berani menentangmu. Itu karena adanay sebuah kata yang aku sebutnya ketekunan, aku akan mengatakan benar padamu. Leluhurku nabi Sulaiman berkata, ‘Tangan ketekunanlah yang akan berkuasa, tapi tangan yang tidak tekun akan menjadikan ia seorang buruh.’ (Proverbs 12:24) ‘Mereka yang benar-benar tekun tak hanya mengontrol takdir mereka sendiri, tapi juga akan mencapai orang-orang yang ada disekitarnya.’
Dan aku tahu Tuanku, aku akan mengontrolmu. Lihat saja nanti.
Tuan, coba bayangkan bila aku menemukan cara untuk menyelamatkan mereka semua, mungkin aku akan kau bunuh, tapi merka akan meneruskannya. Dan bayangkan pula, aku akan menjadi begitu terpuaskan dan terpenuhi hingga aku tak akan mengharapkan apapun lagi. Itulah pemenuhan diri yang dijanjikan kepada mereka yang tekun. Namun sebelum itu terwujud, aku tak akan menyerah melihat hasrat terdalam yang akan memuaskanku dan memenuhiku dengan kenikmatan diri yang sangat besar. Pun juga aku tak hanya sekedar berharap; sebab jiwa yang malas hanya berharap, dan tak akan mendapatkan apapun.
Bukankah kau juga bertanya padaku apa yang membuatku tak banyak bicara? Katahuilah duhai Tuanku, dalam Proverbs 14:23, leluhurku Sulaiman berkata, ‘Dalam semua pekerjaan, ada keuntungan disana, tapi banyak bicara hanya akan mengarahkan dirinya kepada kemiskinan.’
Dan lihatlah wajahku, wajahmu dan setiap orang yang kau temui, maka kau akan dapatkan bahwa Tuhan memberi setiap diri kita dua telinga, dua mata, dua lubang hidung dan hanya satu mulut. Bukankah itu berarti bahwa kita harus lebih banyak mendengar dengan telinga kita setiap peristiwa yang ada, melihat karakter setiap orang yang tercermin dari pandangan matanya, dan menghirup kebebasan yang diberikan Tuhan agar kita bersyukur, dan bukannya untuk banyak bicara; sebab banyak bicara hanya akan menebalkan dinding hati kita. Namun bukan berarti kita tak boleh berkata-kata; karena yang lebih buruk itu adalah mengetahui apa yang benar namun memilih untuk tidak mengatakannya.
Dan itulah yang kau lakukan, bukankah begitu yaa Tuan?
Tuanku, berapa lamakah aku bisa berbohong kepada semua orang akan perasaan ini? Kapan aku bisa segera bangkit dari tidur ini? Karena aku takut akan kemiskinan yang kalau-kalau akan datang pada mereka seperti seorang bandit dan kekurangan seperti seseorang Tuan yang bersenjata. Sadarilah, bila kau tak bodoh. Karena yang aku maksudkan itu kau.
Jam tetap saja berdetak, dan setiap detik yang berlalu tanpa terasa adalah suatu moment yang tidak akan pernah bisa diputar kembali. Dan setiap hari yang berlalu itu membawaku pada suatu hari yang lebih dekat dengan ujung waktu terbatasku dibumi.
Aku ingin segera keluar dari keadaan ini. Sebab aku berpikir aku tak punyai lebih banyak waktu lagi dari pada waktu yang benar-benarku miliki. Aku tak mau impianku cuma jadi mimpi; karena aku sadari hati kalau aku tak mau terbuai dengan realitas diriku sendiri.”
“Yah, keinginanmu kan segera terwujud. Sebab kau akan mati hari ini”.
Lanjutkan Bicaramu.
Lantas mengapa lau termenung bila hujan turun, wahai kau anak Eli?
“Duhai Tuan, entah mengapa hujan itu sepertinya mengingatkanku pada cita-citaku.
Ketahuilah, , jika keadaan seperti ini terus, aku ingin benar-benar jadi dewa. Bila aku berada dipuncak dunia nanti, aku janji keadaan tak akan seperti ini. Meski aku telah mati, aku bisa melakukan apapun yang kumau. Dan seperti halnya hujan, ia tak akan berhenti meskipun engkau memintanya berhenti. Hujanlah yang memberiku sebuah visi yang jelas, dan seperti jelasnya basahnya tanah itu adalah harapanku; yang apabila keduanya bertemu akan menghasilkan kekuatan seperti yang dihasilkan atom yang pecah.
Visiku bukanlah segala sesuatu yang abstrak, bukan seperti pengalaman mistismu dan sebuah mimpi disetiap malam ditidurmu. Dan harapanku bukanlah sebuah hasrat atau sebuah keinginan seperti milikmu. Visiku adalah peta jalanku yang detail untuk menuju kesana. Yang mengubah langkah-lankahku menjadi tugas, dan harapanku adalah gambaran tujuan puncakku.
Duhai Tuanku, jalanku akan dibimbing oleh entah apa. Sebab aku hanya mengetahui sedikit; tidak seorangpun yang mengetahui banyak. Kebanyakan dari kita mampu berpengetahuan dengan mendalam dalam bebarapa hal saja, begitupun aku; aku secara total bodoh dan tak mampu dalam jutaan hal yang lain. Bahkan ketekunan sejati yang kupegang masih menuntut keunggulan dalam setiap langkah yang akan kuambil; karena diarea-areanya setiap diri dari kita kekurangan bakat yang diperlukan dan untuk tahu tentang apapun adalah dengan mencari bimbingan dan atau rekan yang efektif.
Aku akan terhibur jikalau aku tengah berpikir harapanku telah tertunda. Mungkin saat itu aku telah kehilangan energi emosional dan motivasi, kreativitas dan produktivitasku mulai jungkir balik. Sebab aku telah tiada. Aku juga tak akan takut impianku akan menarik diri, cepat atau lambat jika ada yang mencegahnya sekalipun.
Mungkin visi dan harpanku terlepas dariku; karena sayang, aku telah mati dan impianku menjadi yang paling cepat bosan dengan segala sesuatu yang berbau kerutinan dan selalu mencaintai segala sesuatu yang kreatif.
Aku akan merasa aman dikuburku dengan rasa cinta dan komitmen ini; keamanan untuk mampu mengekspresikan perasaan dan pendapat tanpa diinterupsi dan dikritisi.
Dengarlah aku dan berilah aku kesempatan lagi untuk berbicara tentang hari-hariku. Aku ingin bisa bicara tentang harapan, hasrat, dan mimpi-mimpiku. Agar aku merasa bernilai atas siapa diriku, bukan hanya yang aku lakukan.
Aku katakana padamu, aku tahu aku melakukan sesuatu yang engkau anggap bertentangan darimu. Dan kau tak menegurku dengan bahasa yang lebih lembut dan nada suara yang lebih tenang agar aku tahu kalau engkau bersikap merendahkan diri seperti layaknya seorang Tuan.
Kau juga tak memilih kata-kata yang seolah-olah kau memahami kadar kesakitan seorang rakyat. Dan demonstrasikan sebuah hasrat yang bersungguh-sungguh untuk membuat segalanya menjadi benar. Semua orang tahu jika engkau gunakan kata-kata yang menyakitkan, dan maka jejak kekuatan kata-kata itu tak akan pernah terhapuskan oleh pikiran rakyat; sebab sebenarnya kau bukanlah pemilik hati yang setegar orang lain yang melihat.
Engkaupun juga tahu, ketika jiwa seseorang patah oleh orang lain, tidak hanya hubungn menjadi buruk, tapi juga orang itu secara emosional bisa merasakan goresan luka yang bertahan selamanya.
Ku ingatkan engkau akan kata-kata Sulaiman dalam Proverbs 18:21 ini,”Kematian dan kehidupan ada dalam kekuatan lidah; dan mereka yang suka akan memakan buah daripadanya.”
Maka seperti yang kau ketahui, aku telah temuakn kata-kata yang menenangkan hatiku, meski kau anggap aku mengutukimu. Dan lihatlah nanti, kata-kataku akan menjadi apel emas dalam gambaran perak; kata-kata yang bisa mengalihkan perhatianku jauh dari luka yang aku alami serta mengangkat jiwa dan ruhku dari kematianku. Dan dalam saat-saat yang seperti itu, penghargaan dan cinta untukku akan semakin meningkat.
Tunggu saja.”
















V

Sore hari itu, daun-daun beringin ditengah taman altar istana melonjak-lonjak tertiup angin, seperti beberapa anak-anak yang ceria bermain dibawahnya. Disudut selatan tampak ribuan manusia sedang memandang seorang pemuda yang akan dihukum gantung karena keberaniannya menentang ketidak-adilan. Seperti sebuah pepohonan taman, yang mencari sebuah makna dari kehidupan, yang mengharap-harap hidup seperti dulu, tapi dia bersikeras bahwa yang dulu akan kembali; meski telah telah mereka ubah segalanya selamanya.
Terbayang satu pertanyaan pada diri setiap orang tentang mengapa ia disini. Kenangan yang sampai sekarang masih malang-melintang dipentas hati mereka.
Dua tahun tahun yang lalu, dibalik keramaian istana dan pena takdir pun telah tergoreskan. Tersebutlah seorang anak yang sedang bertanya kepada seorang raja yang memerintah dengan bengisnya; seakan-akan ia menganggap ini hanyalah permainan, “Kenapa Tuanku ingin jadi raja? Bukankah seharusnya yang jadi Raja itu adalah anak Elisabet?” Tanya anak itu yang memakai rias wajah seperti atribut perang, mungkin untuk menakut-nakuti orang lain atau untuk membuatnya percaya diri.
“Apakah kau sedang mencari kematian, wahai bocah? Berani-beraninya kau menanyakan hal seperti itu pada rajamu. Maka akan kau temukan jawabannya dipenjara nanti”, jawab sang pengawal dengan menangkap dirinya.
“Aku hanya ingin tahu jawabannya, agar tak mengecewakanku”, ia sambung dengan wajah yang cerah, seakan-akan ia telah menemukan sesuatu yang melengkapi dirinya.
“Ketahuilah, bahwasanya menjadi seorang raja bukanlah selalu untuk membunuh, tapi menghidupkan; sebab membunuh berarti memilih, meski terkadang membunuh adalah ide terbaik. Memang kedudukan adalah kenikmatan yang tak bisa dirasakan semua orang, terlebih menjadi seorang Raja. Dan jika keadaanya seperti itu sama sajalah Tuanku seperti sampah, yang menegakkan kepuasan hanya demi kedudukan. Dan jangan bicara seperti penegak hukum, karena kau bukan mereka; meski kau ingin seperti mereka.”
“Bagi rakyatmu, kau hanyalah seorang anak seperti aku. Karena kau perlukan rakyat untuk menjadi korban kebengisanmu, tapi setelah kau tak perlukan mereka lagi, mereka akan kau buang bagai penderita kusta. Moral dan kode etikmu hanyalah lawakan buruk, akan kau lupakan begitu ada bahaya. Kebaikanmu hanya tergantung situasi. Saat masalah datang, kau itu mulai memakan lainnya. Ketahuilah, orang-orang seperti kaulah musuh kita bersama. Bahkan sampai pula kuasa hukum mafiapun akan menuduhmu panganiaya. Betapa buruknya kau, bahkan sekumpulan penjahat sekalipun menuduhmu seperti itu”
“Kau adalah senyata-nyatanya orang jahat. Dan adanya engkaulah yang membuat keadilan didunia ini serasa tak ada. Kau pun tak sendirian pula mengancam mereka. Katahuilah, dan segala kekuatanmu itu nanti tak akan ada gunanya.”
Berteriaklah ia sekeras-kerasnya, “Wahai kalian semua. Tuhan telah memilih kalian sebagai umat pilihan-Nya. Kalianlah seumpama menara yang benar-benar tinggi. Dan ketahuilah, bahwasanya kejahatan raja kalian hanyalah kebaikan yang didera haus dan dahaga ia sendiri. Maka setelah aku, luruskanlah Tuanmu ini dari kesalahan jalan yang telah ia ambil.”
“Hai enkau Rajaku, Raja kami, ketahuilah bahwasanya kejahatan bukanlah hakekat atau fakta, karena kejahatan adalalah bayangan yang berjalan bersama kebaikan. Itulah mengapa terkadang mematuhi peraturan itu tak bisa menyelamatkanku. Sebab pelanggaran itu juga salah satu cara untuk mendapatkan kebenaran; meski begitu aku tak berpikir berpikir hidup tanpa aturan adalah yang paling masuk akal didunia ini. Pun aku tak berpikir berpikir, adanya dibuat aturan adalah untuk aku langgar.”
“Hari ini, kau akan diberi banyak kesempatan untuk mematuhi atau melanggar kata-kataku. Tinggal menunggu waktu dan kau akan ikut permainan yang juga aku mainkan.”
Sampai disitu ia berbicara lantas berhenti sejenak mengambil nafas. Kadang ia berpikir untuk merekrut orang lain guna menggantikannya, agar ia bisa selamat dari hal ini.
“Tolong usir suara-suara dikepalaku, dan taruhlah lampu terang didalamnya,” bisik nya dalam hati dan mengharap ada yang tahu apa yang membebaninya.
“Waktuku telah banyak berlalu, dan suatu saat nanti aku akan pergi juga. Dan apakah nantinya ada yang akan menggantikanku. Dan aku harap, ada yang melepaskan semua idealis yang kalian mereka miliki sekarang. Agar aku merasa cukuplah bagi ku memberi dari yang aku ingin sampaikan.” Bisiknya dalam hati.
Ia lanjutkan bicaranya, “Maka berilah dunia ilham kebaikan, bukan kegilaan atau kematian. Pun jangan pula saat kau memberikannya kau juga meludahi muka rakyatmu. Tentulah akan jatuh korban; sebab situasi akan selalu memburuk sebelum membaik. Jangan berpikir kau pantas di percayai dan dunia memerlukan kalian. Tidak, sekalipun tidak; karena dunia hanya perlu pahlawan sejatinya. Dan pahlawan sejati bukanlah memutuskan membakar hutan untuk menangkap para panjahat. Namun ialah yang bergerak memasuki hutan dan mencarinya dengan menggunakan akal. Sebab dunia telah lama menantikan kalian melakukan hal yang benar.
Dan setialah dengan apa yang kau yakini, supaya musuh-musuhmu berkata padamu,’bagaimana jikalau kita sayat kau dan kita berikan pada anjing-anjingmu? Kita lihat, apakah anjing yang lapar masih setia padamu?’ Maka jawablah,’seekor anjingpun akan tetap mengenali daging tuannya dibanding tuannya yang jikalaui memakan dagingnya.’
Dan jawablah lagi dengan percaya diri, ‘ini bukan soal uang atau yang lainnya, aku hanya ingin sampaikan pesan. Dengarkanlah, aku punya misi akan dunia tanpa pahlawan lagi. Agar supaya kalian tak bisa mencetak lagi keuntungan walau sedikit, dan penegak hukum tak akan menghentikan kalian hanya sedikit demi sedikit cara. Ketahuilah, itu membuaku bosan’.”
Janganlah hanya mengikuti nalurimu. Tanyalah dirimu, apa kau mempunyai rencana? Kalaupun berhasil akupun juga tak tahu apa yang mesti aku katakan. Kutahu kau hanya beraksi. Penjahat punya rencana, penegak hukum punya rencana, perencana yang berusaha mengendalikan dunianya masing-masing. Mereka semua perencana, mereka punya bencana. Sedang aku bukan perencana, aku hanya ingin tunjukkan betapa konyolnya rencana mereka itu. Betapa konyolnya kau.”
Dengan apakah aku akan tunjukkan pada kau itu? Tahu kah kau apa itu?
Aku lakukan keahlianku, lalu kuputar balikkan rencanamu, dan tak akan kuserahkan urusan itu ke nasib. Sekalipun tidak, karena keberuntunganku datang sendiri ”, jawab ia yang berada didepan berdirinya sang Raja.
Lebih jelasnya, lebih baik adalah ku menangkap dan menafsirkan ide-ide orang lain yang kemudian aku sesuaikan dengan kebutuhan ku daripada membasminya.
Aku jaga apa yang aku yakini, sebab semakin sedikit yang tahu akan semakin baik. Karena bahwasanya aku bukanlah pencari kehormatan, tapi aku pemberi pelayanan public.
Melayani adalah kepastian, dan pengorbanan adalah kewajiban. Maka apabila peperangan menghadangmu, pun jangan pernah mengeluh. Karena perang itu sejauh mungkin tak dapat dihindarkan. Perang akan selalu ada karena memang harus adanya. Meski seluruh hati umat manusia menginginkan akan adanya perdamaian, perang memang harus selalu ada. Maka persiapakan diri mu agar kalian selalu dalam keadaan siap untuk berperang. Sehingga jikalau musuh menyerang, kita tidak terbantai dan terjajah.
Ingatlah kata-kata ini, ’jika ingin damai, kau harus menyiapkan perang.’ Dan sesungguhnya semangat untuk mendapatkan mati dalam keadaan mulia adalah semangat yang membuat kita menjadi kuat dan sulit untuk dizalimi, dijajah, atau dikalahkan. Jika kau ragu, maka pilihlah; jika kau mati, maka kau akan mati sebagai pahlawan, atau pun bila kau hidup panjang, maka perlahan jadi penjahat.
Jangan biarkan kebencian terhadap musuh-musuhmu kurang. Sebab alasan itulah yang menyebabkan kau lemah. Pun milikilah rasa iba, meski mereka menganggap ini adalah kelemahanmu sebagai seorang raja. Namun ketahuilah, rasa itulah yang membedakanmu dengan mereka.
Jadilah petarung yang tak terkalahkan, abadikan dirimu pada suatu gagasan, dan jika kau tak bisa dihentikan, maka kau akan jadi sesuatu yang berbeda. Jadi legenda.”
Betapa berangnya sang Raja mendengan ocehan dari seorang anak kecil itu. Ia tak mengetahui bahwasanya ia adalah anak saudaranya yang ia bunuh. Ia tak tahu bahwa ia adalah anak Eli.
Setelah dua tahun setelah ia dipenjara, tibalah waktunya ia menjalani hukuman mati.
Sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya, ia berkata dalam sebuah syair yang aku abadikan dalam sepucuk puisi.
Dan inilah nasihat terakhir darinya itu.
“Selama aku masih mempunyai darah merah, yang dapat meninggalkan bekas yang menempel dibebatuan, maka selama itu cita-citaku tak akan menyerah kepada siapapun juga. Janganlah kalian mengira aku ini monster karena becara seperti ini, aku hanya lebih maju dari kebanyakan orang.”
“Raja dan rakyatku, ketahuilah aku adalah anak Elisabet, putri dari kerajaan barat. Akulah yang berhak menempati tahta itu. Namun aku dibuang oleh pamanku sendiri setelah ia membunuh ibuku. Aku yakin kalian semua mengetahui betapa akau dan ibuku begitu menyayangi kalian. Sekarang aku akan pergi meninggalkan kalian.
Jikalau aku tak memilih jalan ini, mungkin bertahun-tahun yang akan dating aku akan punyai istri yang menyayangiku. Dan aku akan punya anak yang menyayangiku. Namun aku akan mati, dan istriku akan mengenangku sebagai seorang suami yang penyayang. Dan anak-anakku akan mengenangku sebagai ayah yang baik hati. Namun istri dan anak-anakku akan mati. Dan tak aka yang mengingat namaku lagi. Sungguh bukan itu yang aku mau. Maka aku memutuskan untuk melakukan pengorbanan ini. Agar kalian semua tahu dan mengingat cerita kemenanganku selama ribuan tahun lamanya. Dan raja yang kalian agung-agungkan dialtar itu, akan tahu betapa aku akan hidup abadi dengan kemulyaan daripada ia sebagai raja yang hina.”
Terhembuslah sudah nafas terakirnya. Sebab tali gantungan telah mencekik lehernya. Tewaslah ia sebagai seorang anak Eli yang tak akan terlupakan selamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar