Halaman

Selasa, 26 Januari 2010

KEBOHONGAN BESAR AGAMA KRISTEN

KATA PENGANTAR
Tokoh Yesus amatlah penting bagi dunia masa kini. Kepentingannya bukan saja bagi dunia Kristen. tetapi juga bagi agama-agama besar lain. khususnva Yahudi dan Islam. Jika agama-agama kuat ini menyatukan pandangan yang umum terhadap keadaan alami Kristus; tentang kedatangannya yang pertama, dan juga tentang kedatangannya yang kedua. niscaya . kesamaan pandangan seperti ini akan membawa kepada pemecahan banyak masalah yang sedang dihadapi umat manusia saat ini. Namun sayang, justru fakta-fakta yang paling mendasar sekalipun, tentang kehidupan Yesus, tujuan kedatangannya,. ajaran dan pribadinya. benar-benar telah keliru dipahami. Dalam persepsi mereka tentang aspek-aspek tersebut, agama-agama itu dengan kuat bertentangan satu sama lain, sehingga permusuhan di antara mereka pun tidak dapat dihindarkan lagi.
Jika kita melihat fakta-fakta pada peristiwa penyaliban, lalu mempertimbangkan apa yang telah terjadi, serta mengapa terjadi, demikian pula masalah penebusan dosa dan falsafah yang berkaitan dengannya. ' maka kita akan menemukan jawaban-jawaban yang saling bertentangan, yang berasal dari berbagai sumber awal. Saya telah memilih untuk menguraikan persoalan ini dari sudut pandang logika semata. Saya yakin. inilah dasar pijakan yang diterima oleh semua pihak, yang dapat digunakan untuk suatu dialog konstniktif yang bermanfaat. Tanpa itu. setiap pembahasan yang didasarkan hanya pada apa yang diungkapkan oleh Bible, dengan berbagai penafsirannya akan mengarah kepada suatu pertentangan yang akan sulit diluruskan.
Dua ribu tahun telah lewat. dengan hanya mendasarkan pada Bible semata. sejauh ini tidak ada pemecahan telah dicapai, yang secara seimbang dapat diterima oleh semua pihak. Inti persoalannya adalah, pernyataan-pernyataan tertentu dari Bible yang dapat dipercaya, telah dicemari oleh berbagai penjelasan menyimpang yang berasal dari mereka sendiri. Juga telah timbul berbagai kesulitan besar dari pemahaman-pemahaman penuh pertentangan yang tumbuh bertahap di seputar tokoh bersejarah Yesus Kristus. Gambaran dari sudut pandang sejarah, umumnya cenderung membingungkan dan tidak jelas. Dengan standar apa pun, jangka waktu 2000 tahun bukanlah hambatan biasa untuk membayangkan peristiwa-peristiwa sejauh yang terjadi pada zaman Yesus. Logika dan akal sehat manusia, dibantu oleh kebangkitan ilmu pengetahuan, tidak mengenal penda' waan iman, warna kulit maupun agama. Logika itu sama bagi semua orang maupun semua agama. Logika dan logika sajalah yang dapat memberi kita suatu pijakan untuk bersepakat.
Saya akan coba menilik permasalahan ini dari berbagai sisi yang bermanfaat. Pertama-tama izinkan saya memulai dengan ajaran Kristen dan melihatnya sebagaimana umat Kristen memandangnya, lalu menganalisanya secara cermat menggunakan kaca pembesar .akal sehat. Akan tetapi saya harus tekankan di sini, bahwa dalam bentuk apa pun saya tidak bermaksud bersikap merendahkan terhadap orang-orang Kristen, atau pun. pribadi Yesus Kristus. Sebagai seorang Muslim, merupakan suatu unsur mendasar dalam keimanan saya untuk mengimani kebenaran Yesus Kristus; menerima beliau sebagai seorang rasul yang istimewa dan terhormat dari Allah, yang berkedudukan khusus di antara para nabi Bani Israil. Namun, ketika kebenaran menuntut. dalam kejujuran penuh terhadap logika, pikiran sehat dan pemahaman manusia, maka seseorang tidak dapat mengelak untuk tidak meninjau kembali pandangannya terhadap ajaran Kristen. Saya tidak bermaksud menimbulkan suatu j~urang pemisah antara orang-orang Kristen dengan Kristus. Sebaliknya, saya ingin menolong orang-orang Kristen untuk lebih dekat kepada kenyataan diri Yesus Kristus, dan menjauh dari mitos (dongeng khayalan) yang telah diciptakan di seputar beliau.
Zaman dapat mengubah suatu kenyataan menjadi mitos dan legenda. Pengaruh dari legenda-legenda semacam itu hanya akan menjauhkan orang dari kenyataan-kenyataan hidup. Sebagai akibatnya, keimanan berubah menjadi khayalan dan tidak nyata. Sedangkan keimanan sejati yang berakar pada keanekaragaman sejarah dan fakta-faktanya sangat nyata dan cukup mampu untuk menimbulkan perubahan-perubahan besar di kalangan masyarakat. Dalam upaya memahami keimanan dan ajaran-ajaran Yesus yang sejati adalah sangat penting untuk memisahkan kisah nyata dari kisah khayal, dan memisahkan kebenaran dari mitos. Pencarian kebenaran adalah tujuan utama dari pengkajian ini. Saya ber-harap anda dapat bertenggang rasa dengan saya dan memahami bahwa saya tidak bermaksud menyerang keimanan ataupun perasaan seseorang.
Suatu pendekatan kritis adalah penting untuk menyelamatkan dunia Kristen dari kemerosotan moral. yang patut disayangkan—suatu jalan yang sulit untuk kembali. Menurut analisa saya, generasi muda masa kini dengan cepatnya kehilangan kepercayaan terhadap Tuhan. Dahulu pernah ada suatu zaman ketika para ilmuwan mulai menjauh dari Tuhan karena mereka menganggap pemahaman Yahudi-Kristen tentang alam. seperti yang tergambar dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, tidaklah sesuai dengan kenyataan. Pemahaman tentang dunia dan perkara-perkara samawi serta hal-hal yang berada di baliknya, sebagaimana yang terurai melalui suatu penelaahan terhadap Bible, terbukti jauh dari kenyataan-kenyataan penemuan ilmiah yang terungkap pada masa awal Renaissance (abad kebangkitan). Kesenjangan antara keduanya terus berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta pemahaman manusia tentang alam mengalami suatu perubahan revolusioner. Hal ini, disamping faktor-faktor lainnya, menimbulkan suatu gelombang fatal yang mengarah kepada ketidakpercayaan terhadap Tuhan di kalangan kelompok-kelompok ilmuwan dalam masyarakat. Selanjutnya, sejalan dengan berkembangnya pendidikan secara jauh dan luas, universitas-universitas besar dan lembaga-lembaga pendidikan berubah menjadi lahan perkembangbiakan Atheisme. Dilema pemahaman Yahudi-Kristen tentang alam semesta nampak dengan jelas adanya pertentangan antara firman Tuhan dengan perbuatan-Nya. Dalil yang menentang kepercayaan terhadap Tuhan, adalah sebagai berikut: jika Tuhan memang Pencipta alam raya dan seisinya, dan jika Dia merupakan Pencipta serta Pemelihara hukum-hukum alam, sebagaimana yang ditemukan oleh pemikiran manusia yang selalu mencari, maka bagaimana mungkin Dia sendiri benar-benar tidak menyadari kenyataan-kenyataan tersebut?
Apabila seseorang mempelajari penjelasan Bible, tentang bagaimana langit dan bumi telah diciptakan, dan bagaimana manusia dibentuk dari debu serta bagaimana Hawa telah diciptakan dari tulang rusuk Adam dan sebagainya (dua contoh dari sekumpulan besar ketidakcocokan yang membingungkan antara firman dan perbuatan Tuhan), orang akan terkejut dan tertegun menyaksikan pertentangan-pertentangan nyata antara asal-usul kehidupan di bumi dan penjelasan Bible yang tertera dalam Kitab Kejadian.
Ketidak-konsekwenan ini membuat Gereja mengambil sikap pemaksaan pada masa-masa itu, tatkala Gereja memiliki kekuasaan politik yang tak tertandingi. Sebuah contoh masyhur adalah perselisihan antara Gereja dan Galileo. Ketika Galileo (1564-1642) menerbitkan penemuan-penemuannya tentang tatasurya, hal itu membangkitkan kemarahan Gereja sebab penemuanpenemuannya bertentangan dengan pandangan Gereja mengenai tata-surya. Dengan tekanan yang sangat keras dia dipaksa untuk membatalkan penemuanpenemuan ilmiahnya itu di hadapan umum. Jika tidak, dia akan menghadapi kematian melalui penyiksaan. Demikianlah, dia dikenakan tahanan rumah sepanjang hidupnya. Pada tahun 1992, barulah Gereja memutuskan untuk mencabut hukuman yang telah dijatuhkan terhadap Galileo, setelah melalui pertimbangan panjang selama 12 tahun oleh sebuah komite yang dibentuk oleh Paus, Paulus Yohanes I1.
Bermula dampak pertentangan-pertentangan ini tidak masuk atau menembus kalangan masyarakat umum dan untuk beberapa masa tertentu hal itu tetap terbatas pada kalangan intelektual saja. Namun seiring dengan penyebaran cahaya ilmu sekular, maka sesuatu yang diistilahkan sebagai "cahaya kepercayaan agama" lambat-laun lenyap dalam kegelapan secara bertahap. Pada masa awal Renaisance (abad ke-15), kegiatan-kegiatan para ilmuwan umumnya terbatas pada kalangan mereka sendiri. Hubungan luas antara mereka dengan masyarakat umum, sebagaimana yang tampak pada masa sekarang, belum lagi terbentuk. Oleh karena itu, paham atheis mereka belum mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan. Namun, ketika pendidikan universal telah tersedia bagi generasi muda bangsabangsa maju, segala sesuatu beralih dengan cepatnya ke arah yang salah bagi agama. Kemudian diikuti oleh era filsafat dan rasional. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, filsafatfilsafat tentang ilmu-ilmu sosial baru dan psikologi mulai berkembang secara cepat, khususnya di abad ke-19 dan ke-20. Dengan berbaurnya filsafat materialistis baru dengan perkembangan dan pemikiran sekuler (duniawi), mereka merusak dasar-dasar agama, yakni kepercayaan terhadap Tuhan.
Moral/akhlak senantiasa diatur dan dijaga oleh kepercayaan seseorang terhadap Tuhan. Bila kepercayaan ini lemah dan tidak sempurna atau sesuatu kekeliruan terjadi dalamnya, maka moral terpengaruh ke dalam kondisi yang sama. Jika, misalnya, kepercayaan terhadap Tuhan berlawanan dengan pemahaman duniawi tentang alam dan dengan dorongan-dorongan akal sehat, maka secara perlahan dan bertahap, mutu kepercayaan orang-orang terhadap Tuhan terkikis dibarengi dengan dampak negatif yang sama terhadap moral mereka. Guna mencapai segenap tujuan pengamalan semata, sebuah masyarakat kemudian berubah menjadi atheis (tidak bertuhan), walaupun masih ada orang-orang yang tetap percaya kepada Tuhan. Tidaklah sulit untuk menentukan pokok masalah ini dan untuk memastikan mutu kepercayaan sebuah masyarakat terhadap Tuhan. Semakin lemah kepercayaan tersebut atau semakin banyak kekurangan dalamnya, semakin Iemah kendalinya terhadap sikap moral suatu masyarakat. Kapan saja kedua kepentingan itu tabrakan, kepercayaan terhadap Tuhan akan memberikan jalan kepada dorongan-dorongan yang tidak bermoral.
Dengan menerapkan patokan ini terhadap masyarakat agama mana pun di dunia ini, kita senantiasa dapat mengambil kesimpulan-kesimpulan yang benar dan dapat dipercaya. Dengan menguji suatu masyarakat yang mengaku dirinya Kristen, seseorang dengan mudah dapat menanyakan apakah nilai-nilai Kristen terdapat dalam masyarakat tersebut atau tidak. Misalnya, apakah mereka memperlakukan tetangga-tetangga mereka sebagaimana yang dimintakan oleh The Ten Commandements (Sepuluh Perintah Tuhan) kepada mereka? Apakah mereka, pada masa krisis nasional dalam suasana perang dan sebagainya, menerapkan kaidah-kaidah Kristen terhadap musuh mereka? Apakah para korban tak berdosa akibat serangan dan penganiayaan, menyerahkan pipi lainnya ketika satu pipi ditampar? Pertanyaannya adalah sejauh mana perbuatan seseorang dalam kehidupan ini menggambarkan kepercayaannya? Jika tidak tergambarkan, itulah tepatnya apa yang kami maksudkan dengan mengatakan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan bertabrakan dengan keinginan-keinginan dan keperluan-keperluan manusia. Jika kepercayaan terhadap Tuhan tampil unggul, dan keinginan-keinginan serta keperluan- keperluan manusialah yang dikorbankan di atas altar kepercayaan tersebut, barulah seseorang secara benar dapat mengatakan bahwa apa pun bentuk kepercayaan tersebut, paling tidak itu adalah asli. jujur dan teguh.
Menyimak dunia Kristen sekarang ini, dan menerapkan pengujian tersebut untuk menilai mutu kepercayaan terhadap Tuhan, menjadi suatu pengalaman yang menyedihkan dan mengecewakan. Yang tampak secara umum adalah suatu pemberontakan terangterangan terhadap kepercayaan kepada Tuhan, dan kadang-kadang suatu penentangan pasif yang tidak diungkapkan dalam bentuk penolakan secara terbuka. Adalah pertentangan antara kepercayaan terhadap Tuhan dan amal perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara pribadi yang menimbulkan kesan bagi seseorang tentang adanya suatu masyarakat beragama yang terdiri dari orang-orang yang beriman. sementara hakikat yang sebenarnya sangat jauh berbeda. Hal yang sama dalam skala besar berlaku terhadap seluruh masyarakat beragama lainnya. Namun. dalam setiap kasus tidak selamanya faktor yang sama menimbulkan hal yang serupa. Kasus masing-masing masyarakat harus diperlakukan sesuai pokok pernlasalahan tersebut. Itulah sebabnya suatu pengamatan dan analisis yang sungguhsungguh. tidak memihak. tidak gegabah terhadap hakikat pertentangan-pertentangan antara kepercayaankepercayaan manusia dan pengamalan-pengamatan mereka, menuntut hal penting tersebut.
Penting untuk dicatat, kadang-kadang kepercayaan itu sendiri tidak lurus dan tidak alami. Misalnya, beberapa bagian dari ajaran-ajaran Talmud mengenai orang-orang bukan Yahudi, dan ajaran-ajaran Manu Samarti dalam Hindu mengenai orangorang dari kasta terendah, adalah sedemikian, sehingga akan lebih baik apabila masyarakat tersebut tidak mengamalkannya. Kadang-kadang suatu kepercayaan itu sendiri baik dan bermanfaat apabila diamalkan, tetapi orangoranglah yang me.njadi rusak dan kepercayaan itu ditinggalkan sebab sangat sulit serta sangat menuntut untuk diterapkan secara sungguh-sungguh. Kembali kepada masalah Kristen, kami memaparkan bahwa kepercayaankepercayaan Kristen pada dasamya bertabrakan dengan kenyataankenyataan alam dan tidak sesuai dengan harapan manusia yang didasarkan pada pikiran dan akal sehat. Melalui sudut pandang ini adalah suatu yang alami bagi orang-orang Kristen secara bertahap menjauhi keseriusan dalam beragama dan dari membiarkan peran kepercayaan-kepercayaan itu untuk menata kehidupan mereka.
1. Kedudukan Yesus Kristus sebagai Anak Tuhan
Hubungan "Bapak-Anak" antara Tuhan dan Yesus Kristus adalah intisari agama Kristen. Marilah kita pertamatama memahami makna sebagai anak secara harfiah. Apabila kita memusatkan perhatian pada makna (kaitan) sebagai anak secara harfiah kepada bapak secara harfiah, banyak hal yang mulai terungkap yang memaksa kita untuk memperbaiki pandangan kita tentang kedudukan Yesus sebagai "Anak Tuhan." Apakah yang dimaksud dengan seorang anak? Ketika ilmu pengetahuan belum maju dan belum menemukan bagaimana seorang anak lahir, pertanyaan ini hanya dapat terjawab secara samar-samar. Orang-orang zaman dahulu berpikir, sangat mungkin bagi Tuhan untuk mendapatkan seorang anak melalui kelahiran manusia. Ini kepercayaan yang merata hampir di seluruh masyarakat pagan1 yang terdapat di berbagai tempat di dunia. Mitologi Yunani dipenuhi oleh kisah-kisah semacam itu dan mitologi Hindu pun tidak jauh ketinggalan di belakang. Apa yang dinamakan sebagai dewa-dewa memiliki anak laki-laki dan anak perempuan sebanyak yang mereka sukai, pada kenyataannya tidak pernah ditantang secara sungguh-sungguh oleh akal sehat manusia. Namun, sekarang ilmu pengetahuan telah berkembang sampai ke suatu jenjang di mana proses kelahiran manusia telah diuraikan dalam rincian mendalam yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Masalah ini telah menjadi sangat rumit dan bagi mereka yang masih mempercayai bahwa anak laki-laki dan anak-anak perempuan secara harfiah dapat lahir dari Tuhan, mereka menghadapi problem-problem sangat serius untuk dipecahkan serta menemui beberapa pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab.
Dasar Ilmiah Kedudukan Orang Tua
Pertama-tama dapat saya ingatkan kepada anda, bahwa ibu dan bapak terlibat secara seimbang dalam menghasilkan seorang anak. Sel-sel manusia mengandung 46 kromosom, yang membawa gen-gen atau plasma-plasma pembawa sifat kehidupan. Ovum (sel telur) seorang ibu memiliki hanya 23 kromosom. Itu adalah separuh dari jumlah 46 kromosom yang terdapat dalam diri setiap laki-laki dan perempuan. Ketika ovum ibu siap dan sedia untuk pembuahan, separuh kromosom yang tidak dia miliki disediakan oleh sperma lakilaki, yang menyatu dan membuahinya. Demikianlah rancangan Tuhan; jika tidak, jumlah kromosom akan berlipat dua pada setiap generasi. Akibat pelipatan tersebut, generasi kedua akan memiliki 92 kromosom; sehingga manusiamanusia akan berubah menjadi raksasa-raksasa dan seluruh proses pertumbuhan akan kacau-balau. Tuhan dengan sangat indah telah merencanakan dan merancang fenomena keberlangsungan hidup makhluk-makhluk, yakni pada tahapan-tahapan produktif dari sel-sel regenerasi, kromosom jumlahnya terbagi dua. Ovum ibu mengandung 23 kromosom dan demikian juga dengan sperma bapak. Dalam kondisi demikian seseorang secara logika dapat memperkirakan bahwa separuh gen pembawa sifat pada anak disediakan oleh perempuan sedangkan separuhnya lagi oleh pasangan laki-lakinya. Inilah yang dimaksud dengan anak dalam makna sebenarnya. Di dalam kelahiran manusia tidak ada definisi lain yang dapat diterapkan tentang anak harfiah. Memang terdapat beberapa variasi dalam metode kelahiran, tetapi tidak ada pengecualian dalam ketentuan dan dasar-dasar yang baru saja dijelaskan.
Dalam kita memusatkan perhatian kepada kelahiran Yesus, marilah kita susun sebuah skenario mengenai apa yang tampaknya telah terjadi dalam kasus beliau. Kemungkinan pertama yang dapat diterima secara ilmiah adalah, sel telur Maryam yang belum dibuahi telah menyediakan 23 kromosom sebagai andil ibu dalam pembentukan embrio/janin. Jika demikian, pertanyaan akan timbul, bagaimana sel telur itu telah dibuahi dan dari mana datangnya ke-23 kromosom penting lainnya? Tidak mungkin untuk mengatakan sel-sel Yesus hanya memiliki 23 kromosom. Tidak ada bayi manusia normal yang dapat lahir hidup-hidup walau hanya dengan 45 kromosom. Walaupun seandainya seorang manusia kekurangan 1 kromosom saja dari 46 yang mutlak diperlukan untuk pembentukan manusia normal, hasilnya akan kacau-balau. Secara ilmiah, Maryam tidak dapat menyediakan ke-46 kromosom seorang diri; yang 23 harus datang dari pihak lain. Jika Tuhan adalah bapak beliau, maka hal itu akan menimbulkan beberapa kemungkinan. Pertama, tentu Tuhan juga memiliki kromosom sama seperti yang dimiliki manusia, yang dalam kasus ini tampaknya telah dimasukkan dengan cara tertentu ke dalam rahim Maryam. Hal itu tidak dapat dipercaya dan tidak dapat diterima; jika Tuhan memiliki kromosomkromosom manusia, berarti Dia bukan lagi Tuhan. Jadi, akibat mempercayai Yesus sebagai anak hakiki Tuhan, status Ketuhanan Sang Bapa pun terancam bahaya.
Kemungkinan kedua adalah, Tuhan telah menciptakan kromosom-kromosom tambahan sebagai suatu gejala penciptaan supernatural. Dengan kata lain, kromosomkromosom itu benar-benar bukan milik Tuhan secara pribadi tetapi telah diciptakan secara mukjizat. Hal ini dengan sendirinya membuat kita menolak hubungan Yesus dengan Tuhan sebagai seorang anak terhadap bapak, dan menyebabkan hal yang sama terhadap hubungan keterikatan antara alam semesta dengan Tuhan, yakni hubungan setiap makhluk ciptaan dengan Pencipta-nya.
Apakah Mungkin Ada Anak Hakiki Tuhan?
Maka jelaslah, anak hakiki Tuhan tidaklah mungkin ada, sebab seorang anak hakiki harus memiliki separuh kromosom yang berasal dari bapaknya dan separuh lagi dari kromosomkromosom ibunya. Jadi, satu masalah lagi muncul, anak
tersebut akan merupakan separuh manusia dan separuh tuhan. Namun, mereka yang percaya terhadap keberadaan anak hakiki, menda'wakan dan menegaskan bahwa Kristus adalah seorang manusia sempuma serta tuhan yang sempurna.
Jika kromosom-kromosomnya separuh dari jumlah yang dibutuhkan, maka tidak ada masalah yang menghadang kita, sebab tidak ada bayi yang akan lahir demikian. Kalaupun ada, bayi itu akan merupakan separuh manusia. Jangankan membicarakan ke-23 kromosom yang hilang itu, sebuah gen cacat yang terdapat dalam satu kromosom saja dapat menimbulkan kerusakan, yakni bayi akan lahir dengan suatu cacat bawaan. Ia bisa saja buta, tidak memiliki anggota badan, tuli dan bisu. Bahaya-bahaya yang timbul pada kerusakan semacam itu tidaklah terbatas. Orang harus realistis; tidaklah mungkin Tuhan memiliki kromosom manusia atau lainnya. Oleh sebab itu dengan terbukti tidak adanya peran fisik Dzat Tuhan, jika seorang anak telah dilahirkan oleh Maryam yang hanya memiliki gen-gen pembawa sifat yang berasal dari sel telur Maryam, apa pun hasilnya, dia sama sekali bukanlah merupakan "Anak" Tuhan. Paling tidak, kalian dapat menyebutnya sebagai suatu keganjilan alam, yakni separuh manusia dan tidak lebih dari itu. Jika organ-organ reproduksi Maryam sama seperti wanita lainnya dan sel telurnya harus dibuahi sendiri, perkiraan maksimum yang dapat dilakukan seseorang adalah kelahiran sesuatu yang hanya memiliki separuh sifat manusia. Adalah sangat buruk untuk menyebutkan sesuatu itu sebagai "Anak" Tuhan.
Jadi, bagaimana Yesus telah dilahirkan? Kita paham bahwa penelitian mengenai kelahiran melalui seorang ibu tanpa keterlibatan seorang laki-laki, sedang dikembangkan di banyak negara maju di dunia. Namun sejauh ini pengetahuan manusia baru berada pada tahap ketika penelitian ilmiah belum mencapai tingkat kemajuan di mana bukti positif yang tak terbantahkan mengenai kelahirankelahiran dari wanita-wanita perawan di kalangan manusia telah diperoleh. Akan tetapi, segala macam kemungkinan masih terbuka.
Pada kehidupan makhluk-makhluk rendah terdapat dua gejala yang diakui secara ilmiah: Hermaphroditisme dan Parthenogenesis. Dengan demikian, kelahiran ajaib Yesus melalui Maryam dapat dipahami berasal dari kenyataan alamiah yang sama tetapi merupakan gejala yang sangat langka, yaitu batas-batas yang masih belum dimengerti sepenuhnya oleh manusia.
Berikut ini uraian-uraian ringkas mengenai gejala Hermaphroditisme dan Parthenogenesis. Para pembaca yang tertarik pada penanganan ilmiah lebih lanjut terhadap persoalan tersebut, yang berlandaskan pada pemahaman saat ini, dapat merujuk pada Appendix II. "
Hermaphroditisme
Hermaphroditisme tampil apabila organ-organ kedua jenis kelamin terdapat dalam satu makhluk betina dan kromosom kromosomnya menunjukkan sifat-sifat jantan maupun betina secara beriringan. Percobaan-percobaan laboratorium telah mengungkapkan kasus-kasus seperti mengenai seekor kelinci hermaphrodit, yang pada suatu tahap, melayani beberapa betina dan menjadi bapak bagi lebih dari 250 anak kelinci jantan maupun betina, sementara pada tahap lain, ia menjadi hamil dalam kondisi diisolasi/diasingkan dan melahirkan 7 ekor anak jantan dan betina yang sehat. Ketika diotopsi/dibedah, kelinci tersebut menunjukkan dua indung-telur yang berfungsi, dan dua buah-zakar yang subur, sementara ia berada dalam kondisi hamil. Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa gejala semacam itu adalah mungkin, langka, di kalangan manusia juga.
Parthenogenesis
Parthenogenesis adalah perkembang-biakkan sebuah sel-telur betina tanpa hubungan seksual menjadi suatu individu, tanpa bantuan pihak jantan. Hal ini ditemukan di kalangan makhluk hidup rendah seperti aphids dan juga ikan.
Ada juga bukti bahwa parthenogenesis dapat menjadi suatu cara yang berhasil di kalangan kadal yang hidup di kawasankawasan yang rendah curah hujannya dan tidak dapat diperkirakan. Dalam keadaan-keadaan yang dibentuk di laboratorium, janin-janin tikus dan kelinci telah berkembangbiak secara parthenogenetik sampai ke suatu tahap yang setara dengan separuh perkembangan melalui kehamilan, tetapi kemudian digugurkan. Dalam suatu penelitian baru-baru ini, para ilmuwan menemukan bahwa janin-janin manusia ada kalanya dapat diaktifkan melalui parthenogenesis dengan menggunakan calcium ionosphone sebagai katalisator. Penelitian-penelitian semacam itu menampilkan kemungkinan bahwa beberapa keguguran kandungan manusia pada tahap permulaan dapat saja diakibatkan oleh adanya aktivitas parthenogenetik pada janin
Berdasarkan penelitian percobaan mutakhir, walau bagaimana pun, kemungkinan terjadinya kelahiran dari seorang perawan, telah ditampilkan sebagai sesuatu yang memungkinkan secara ilmiah. Sebuah jurnal pada The Nature Genetics bulan Oktober 1995 dibahas sebuah kasus luar biasa tentang seorang anak laki-laki berusia 3 tahun yang memiliki tubuh sebagian berasal dari sebuah sel-telur yang tidak dibuahi. Para peneliti mengamati rangkaian DNA serta kromosom-kromosom x pada kulit serta darah anak itu, dan menemukan bahwa kromosom-kromosom x dalam seluruh sel anak tersebut serupa satu sama lain dan seluruhnya berasal dari ibunya. Demikian pula, masing-masing 23 pasangan kromosom lainnya yang terdapat dalam darah anak itu adalah serupa dan berasal seluruhnya dari ibunya..
Pagan = bukan pengikut agama-agama besar di dunia
Apa yang disebut Mukjizat?
Dengan terbuka lebar kemungkinan terjadinya kelahiran dari seorang perawan, hal itu bukannya tidak mungkin sama sekali dan di luar hukum alam. Mana yang perlu diselidiki, sebuah penjelasan di luar hukum alam terdapat kelahiran Yesus, ataukah lebih jauh dari itu; yakni kepercayaan yang sangat melampaui batas tentang kelahiran seorang "Anak" hakiki Tuhan melalui manusia? Apabila berbagai gejala, sebagaimana diuraikan di atas, telah disimpulkan sebagai suatu kejadian alam, mengapa sulit untuk mempercayai bahwa kelahiran Yesus Kristus adalah sebuah gejala alamiah terselubung, yang ditampilkan oleh suatu hikmah khusus dari Tuhan? Sesuatu telah terjadi pada Maryam sehingga memberikan sebuah kelahiran yang bersifat mukjizat bagi anak itu, tanpa adanya seorang laki-laki pernah menyentuhnya. Ini adalah kepercayaan Muslim Ahmadiyah, bahwa demikianlah yang sebenarnya telah terjadi. Kepercayaan kami ini tidak tergoyahkan sebab tidak ada ilmuwan yang dapat menolaknya sebagai sesuatu yang tidak masuk akal atau bertentangan dengan hukum-hukum alam yang telah diketahui.
Dalam Islam, mukjizat-mukjizat tidak dipandang sebagai kejadian-kejadian di luar hukum alam, melainkan sebagai gejala alamiah yang masih terselubung dari pengetahuan manusia pada suatu jangka waktu tertentu. Jika tidak, maka akan timbul banyak pertanyaan yang menentang kebijakan Tuhan. Jika Tuhan memang telah menciptakan sendiri hukum-hukum alam, Dia seharusnya telah menciptakan beberapa ketentuan yang tanpa melanggarnya Dia dapat memberikan pemecahan-pemecahan yang diinginkan terhadap suatu permasalahan.
Tidak semua hukum [alam] telah diketahui oleh manusia. Berbagai jenis hukum sedang berlaku sedemikian rupa, seolah-olah berada dalam jajaran yang berbeda dan dalam bidang yang berlainan. Kadang-kadang hukumhukum tersebut telah diketahui oleh manusia di satu bidang dan pandangan manusia tidak mampu menembus jauh di baliknya. Beriringan dengan berjalannya waktu, pengetahuan manusia bertambah dan demikian pula daya tembus pandangan manusia serta kemampuannya untuk mengamati hukum-hukum tersebut yang hingga saat itu masih belum terbuka. Bersesuaian dengan berkembangnya ilmu pengetahuan penemuan-penemuan baru telah memberikan cahaya yang lebih terang terhadap hukum-hukum semacam itu yang tampaknya bekerja dalam kelompok-kelompok. Jadi, fungsi serta pengaruh timbal-balik mereka dengan hukumhukum lainnya telah dipahami dengan lebih baik.
Hal-hal yang tampil sebagai mukjizat pada zamanzaman sebelumnya, tidak lagi dianggap demikian. Mukjizatmukjizat itu adalah hal-hal yang hanya berkaitan dengan pengetahuan manusia dalam suatu jangka waktu tertentu. Ketika penerapan khusus terhadap kekuasaan Tuhan ditampilkan, tampak seolah-olah sebuah hukum telah dilanggar. Namun, itu tidaklah demikian; pada hakikatnya seluruh hukum terselubung memang sudah ada di sana dan hanya dia tampil dalam pelaksanaan berdasarkan perintah Tuhan. Orang-orang pada zaman itu tidak dapat memahami hukum tersebut dan tidak pula mereka kuasa untuk mengendalikannya. Misalnya daya magnetis belum diketahui oleh manusia beberapa ribu tahun lalu. Jika seseorang secara tidak sengaja telah menemukannya dan membuat sebuah alat yang melalui itu dia dapat mengangkat/menarik bendabenda [logam] tanpa suatu sebab yang kelihatan oleh mata telanjang mengagetkan setiap orang, dia dapat saja menyatakan, "Lihat, suatu mukjizat telah terjadi". Zaman sekarang, tipuan-tipuan semacam itu sudah dianggap umum dan sepele. Ilmu pengetahuan manusia terbatas, sedangkan pengetahuan Tuhan tidak terbatas. Jika suatu hukum diberlakukan dan berada di luar batas pengetahuan manusia, dia tampak seperti sebuah mukjizat. Namun, dengan peninjauan kembali terhadap hal-hal semacam itu melalui kajian ilmu pengetahuan yang telah diperoleh sejak saat itu, kita dapat menggugurkan segala sesuatu yang disebut pelanggaran-pelanggaran hukum alam sebagai gejala alam semata yang belum dipahami sepenuhnya oleh manusia pada zaman tersebut. Inilah sebabnya mengapa saya mengatakan, bahwa pasti ada suatu gejala alamiah yang bertanggung jawab bagi kelahiran Yesus Kristus dari seorang ibu saja, yang tidak diketahui oleh manusia pada zaman itu; bahkan juga belum diketahui oleh manusia pada zaman sekarang. Namun, ilmu pengetahuan sedang berkembang maju ke arah itu dan banyak hal yang telah dipahami. Suatu masa akan tiba, ketika tidak seorang pun akan mampu mengatakan bahwa kelahiran Yesus tidaklah alamiah. Mereka akan sependapat, bahwa hal itu adalah suatu kejadian alamiah tetapi langka, begitu langkanya sehingga hal itu sangat jarang terjadi dalam pengalaman hidup manusia.
Apakah Yesus Anak Tuhan?
Banyak lagi permasalahan-permasalahan lainnya yang terkait dengan pemahaman orang-orang Kristen tentang Yesus, sifat-sifatnya dan hubungannya dengan Tuhan. Dari penelaahan kritis dan analitis terhadap ajaran Kristen, yang tampil ialah adanya "Anak Tuhan" yang memiliki sifat-sifat sebagai seorang manusia sempurna dan juga sebagai suatu tuhan sempurna. Walau bagaimana pun, hendaknya diingat, menurut ajaran Kristen, Tuhan-Bapak tidaklah sama sepenuhnya dengan Tuhan-Anak. Tuhan-Bapak adalah suatu Tuhan sempurna dan bukan seorang manusia sempurna, sedangkan Tuhan-Anak merupakan seorang manusia sempurna dan juga Tuhan sempurna. Dalam kasus ini terdapat dua kepribadian yang terpisah dengan sifat-sifat yang berbeda.
Harus disadari, bahwa sifat-sifat ini. tidak dapat dipindahkan. Memang ada sifat-sifat pada zat-zat tertentu yang dapat dipindahkan. Misalnya, air dapat menjadi salju dan juga menguap, tanpa menimbulkan suatu perubahan dalam zat atau susunan air itu. Namun perbedaan-perbedaan dalam sifat-sifat Tuhan dan Kristus, di mana sifat-sifat tertentu telah ditambahkan kepada salah satu di antara mereka, tidaklah dapat didamaikan/disatukan. Tidaklah mungkin bagi salah satu di antara mereka untuk mengalami perubahan ini dan masih tetap tidak dapat dibedakan dari yang lainnya. Hal ini kembali menjadi suatu permasalahan, dan suatu persoalan serius bagi perkara tersebut, yakni apakah Yesus Kristus merupakan suatu tuhan sempurna sebagaimana dia merupakan seorang manusia sempurna? Jika dia memiliki kedua sifat tersebut secara bersamaan, maka dia pasti berbeda dari Tuhan-Bapak yang bukan seorang manusia sempurna dan bukan pula sesuatu yang tidak sempuma. Hubungan macam apa namanya ini? Apakah "Tuhan-Anak" lebih agung daripada "Tuhan-Bapak"? Jika sifat tambahan itu tidak membuat "Tuhan Anak" lebih agung, berarti itu merupakan suatu cacat. Dalam kondisi demikian seorang "Anak-Tuhan" yang cacat tidak hanya bertentangan dengan pengakuan-pengakuan ajaran Kristen, tetapi juga bertentangan dengan pemahaman universal tentang Tuhan. Sebab, bagaimana mungkin seseorang memahami ajaran Kristen yang saling bertentangan itu yang membuat kita percaya, bahwa "Satu dalam Tiga" dan "Tiga dalam Satu" adalah sama, dan tidak memiliki perbedaan apa pun? Hal ini hanya akan dapat terjadi, apabila pondasi dasar suatu kepercayaan dibangun, tidak di atas landasan kenyataan, melainkan di atas dongeng belaka.
Selain itu ada permasalahan lain lagi yang harus dipecahkan: Apabila Yesus telah menjadi "Anak Tuhan" sebagai dampak kelahirannya melalui rahim Maryam, maka apa pula kedudukan Yesus sebelum itu? Jika Yesus secara azali (sejak sebelumnya) sudah merupakan "Tuhan Anak" tanpa harus dilahirkan oleh Maryam, maka kenapa dia harus dilahirkan dalam bentuk manusia? Jika hal itu memang harus, berarti nilai kedudukannya sebagai "Tuhan Anak" tidaklah azali; hal itu hanya merupakan sifat tambahan setelah Yesus dilahirkan, dan hal itu lenyap ketika beliau meninggalkan tubuh beliau lalu kembali ke surga. Jadi, banyak sekali kerumitan timbul dari.kepercayaan itu, yang ditolak oleh akal sehat. Saya kembali mengajak anda untuk menerima sebuah skenario yang jauh lebih mulia dan realistis; yaitu mempercayai kelahiran Yesus Kristus sebagai suatu penciptaan istimewa yang dilakukan Tuhan, yang telah mengaktifkan beberapa hukum alam yang terselubung. Yesus adalah anak kiasan Tuhan, Yang Dia cintai dalam suatu corak khusus, tetapi tetap sebagai seorang manusia sepenuhnya. Kedudukan beliau sebagai "Tuhan Anak" telah dibubuhkan pada sifat beliau sekitar 300 tahun kemudian, untuk tetap menghidupkan legenda tentang beliau – hal ini akan dibahas belakangan.
Bentuk hubungan perkawinan antara Tuhan Bapak dengan Maryam adalah suatu masalah yang orang enggan membicarakannya secara terang terangan. Walaupun demikian suatu upaya untuk memahami peran Maryam sebagai perantara antara Tuhan Bapak dengan Tuhan Anak, adalah suatu momok yang tidak dapat dihindari. Mungkin pertanyaan yang sama inilah yang telah mengganggu Nietzsche sedemikian rupa sehingga dia mengungkapkan ketidak-puasannya, paling tidak, dalam katakata sebagai berikut:
Akan tetapi tidak lama setelah Zarathustra membebaskan dirinya dari tukang sihir, dia kembali melihat seseorang duduk di sisi jalan yang dia lalui: jangkung, berkulit hitam dengan wajah pucat dan cekung; orang itu membuatnya kesal. ‘Aduh', dia katakan pada hatinya, penderitaan terselubung menghadang di situ, dia tampaknya semacam pendeta: apa yang mereka inginkan dalam kerajaanku?'... 'Siapa pun engkau wahai pengelana,' dia berkata, 'tolonglah orang yang tersesat, orang tua yang mungkin dapat mencelakakan di sini!' Dunia di sini aneh dan jauh bagi saya, dan saya mendengar gonggongan binatang-binatang buas; dan orang yang dapat memberikan perlindungan pada saya sudah tidak ada lagi. Saya mencari orang saleh terakhir, seorang suci dan petapa, yang tinggal sendirian di hutan dan belum mendengar apa pun yang diketahui oleh seluruh dunia masa kini. Apa yang diketahui seluruh dunia masa kini? Tanya Zarathustra. Mungkin ini: bahwa Tuhan kuno yang pernah diimani oleh seluruh dunia, sudah tidak hidup lagi? Itulah tampaknya, jawab si orang tua dengan sedih. Dan saya telah mengkhidmati Tuhan kuno itu hingga saat-saat akhir-Nya. Akan tetapi sekarang, saya berhenti mengkhidmati, tanpa majikan, dan kendatipun demikian saya belum juga bebas, tidak pula saya gembira walau untuk satu jam, kecuali dalam kenangan. Itulah sebabnya saya mendaki gunung-gunung ini, supaya saya dapat paling tidak merayakannya satu kali lagi, sebagaimana saya telah menjadi seorang biarawan tua dan tetua gereja: supaya diketahui, saya adalah biarawan terakhir! - suatu perayaan bagi kenangan-kenangan suci dan pengkhidmatan-pengkhidmatan samawi. Namun kini dia sendiri sudah mati, orang yang paling saleh, si orang suci di tengah hutan yang selalu secara rutin menyanjung Tuhan-nya dengan nyanyian dan komat-kamit.' Ketika aku menemukan gubuknya aku tidak mendapatkannya lagi, tetapi aku menemukan dua ekor serigala dalamnya, menggonggongi kematiannya — sebab seluruh binatang mencintainya. Kemudian saya cepat-cepat pergi.' Apakah sia-sia saja saya datang ke hutan belantara dan gunung-gunung ini? Kemudian kalbuku memutuskan untuk mencari yang lain, yang paling saleh dari segenap orang yang tidak mempercayai Tuhan — untuk mencari Zarathustra! Demikianlah kata orang tua itu dan menatap dengan pandangan yang menembus ke arahnya, yang berdiri di hadapannya; Zarathustra kemudian mengambil tangan biarawan tua itu dan memperhatikannya cukup lama dengan kagum.' Lihat, wahai orang mulia, katanya kemudian, Betapa panjang dan indahnya tangan ini! Ini adalah tangan yang selalu membagi berkat-berkat. Namun, sekarang tangan ini sedang memegang dengan erat orang yang dicarinya, aku, Zarathustra.' Ini aku, Zarathustra yang tak bertuhan, orang sama yang mengatakan: Siapa yang lebih tak bertuhan daripadaku, sehingga aku akan gembira dalam ajarannya?' Demikianlah Zarathustra berkata dan dengan pandangannya menembus pemikiran-pemikiran serta keberatan-keberatan biarawan tua itu. Akhirnya yang berikut pun mulai: Orang yang paling banyak mencintai dan memilikinya, dia pulalah yang paling banyak kehilangannya:' Lihat, tidakkah diri saya sendiri lebih tidak bertuhan di antara kita sekarang? Namun, siapa pula yang bisa gembira dalam hal itu!' Engkau mengkhidmatinya sampai akhir,' tanya Zarathustra dengan penuh renungan, setelah suatu keheningan mendalam, ‘Apakah engkau tahu bagaimana dia mati? Apakah benar yang mereka katakan bahwa rasa kasih-sayang telah mencekiknya,' ‘Yakni dia melihat bagaimana manusia digantung di tiang salib dan tidak tahan terhadap hal itu, yakni kecintaan terhadap manusia telah menjadi nerakanya sendiri dan pada akhirnya kematiannya?' Sang biarawan tua tidak menjawab, tetapi memandang ke tempat lain dengan malu dan dengan raut wajah yang pedih serta muram. ‘Biar aku pergi,' kata Zarathustra setelah suatu renungan panjang, di mana dia terus menerus menatap langsung ke mata orang tua itu. 'Biarkan dia pergi, dia sudah selesai. Dan walaupun hal itu mendatangkan kehormatan bagi engkau bahwa engkau hanya membicarakan hal-hal baik tentang tuhan yang mati tersebut, engkau sudah tahu sebagaimana saya mengetahui siapa dia; dan bahwa dia mengikuti jalan-jalan yang aneh.' Di antara kita sendiri, kata sang biarawan tua, lebih ceria, atau, dapat saya katakan, berbicara di bawah mata (sebab satu matanya buta) dalam hal-hal samawi saya lebih banyak tahu daripada Zarathustra sendiri — dan semoga demikian adanya.' ‘Kecintaanku mengkhidmatinya bertahun-tahun; keinginanku menuruti seluruh keinginannya. Seorang khadim yang baik, mengetahui segala sesuatu, dan juga banyak hal yang disembunyikan oleh majikannya dari dirinya sendiri.' ‘Dia adalah tuhan 'yang terselubung, penuh rahasia. Sungguh, dia bahkan menjelma dalam bentuk seorang anak, tidak melalui cara lain kecuali dalam makna-makna rahasia dan tidak langsung. Pada pintu keimanan dalam dirinya berdiri perzinahan.' ‘Siapa saja yang menghormatinya sebagai tuhan cinta, tidak memikirkan cukup tinggi mengenai cinta itu sendiri. Apakah Tuhan ini juga memang tidak akan dinilai? Namun si pencinta mencintai tanpa pertimbangan ganjaran dan hukuman.' ‘Ketika dia muda, tuhan yang berasal dari timur ini, dia keras dan penuh dendam serta telah membangun bagi dirinya sebuah Neraka demi kesenangan para kesayangannya.' ‘Namun, lama kelamaan dia menjadi tua dan lemah serta lembut, dan sangat merasa kasihan melebihi dari seorang kakek daripada seorang ayah, lebih menyerupai seorang nenek yang terhuyung-huyung.' ‘Kemudian dia duduk, meringkuk di sudut cerobong asapnya, bersungut-sungut tentang kaki-kakinya yang lemah, letih akan dunia, penat akan keinginan, dan suatu hari dia tercekik karena rasa kasih-sayangnya yang berlebihan.'
(Thus Spoke Zarathustra, oleh Friedrich Nietzsche,. h.271-273. Terjemahan Bahasa Inggris diterbitkan oleh Penguin Books,1969).
Dosa dan Penebusan Dosa
Kini kita beralih kepada masalah penting kedua dalam kepercayaan Kristen. Saya harus menjelaskan bahwa semua orang Kristen tidak mempercayai sepenuhnya pada hal-hal berikut ini. Bahkan beberapa pemimpin gereja telah menyimpang dari sikap dogmatis Kristen yang kaku. Namun walau demikian, falsafah "Dosa dan Penebusan Dosa" merupakan suatu prinsip dasar dalam kepercayaan Kristen ortodoks.
Unsur pertama dalam pemahaman Kristen tentang Dosa dan Penebusan Dosa adalah, Tuhan itu adil, dan menerapkan keadilan alamiah. Dia tidak mengampuni dosa-dosa tanpa memungut ganti-rugi; sebab hal itu bertentangan dengan norma-norma keadilan mutlak. Sifat Tuhan yang satu inilah yang membuat penting versi Kristen mengenai penebusan dosa itu.
Unsur kedua adalah, manusia berdosa karena Adam dan Hawa telah melakukan dosa. Sebagai akibatnya, anak keturunan mereka mulai memperoleh dosa warisan, seolaholah dosa itu telah ditanamkan dalam gen-gen mereka, dan sejak itu, semua anak keturunan Adam lahir sebagai pendosa-pendosa turunan.
Unsur ketiga dari dogma ini adalah, seorang manusia berdosa tidak dapat menebus dosa-dosa yang dilakukan oleh orang lain: hanya seorang yang tidak berdosalah yang dapat melakukannya. Berdasarkan ini, menjadi jelas mengapa, menurut pemahaman Kristen, tidak ada nabi Allah betapa pun baik dan dekatnya ia dengan kesempurnaan, dapat mensucikan umat manusia dari dosa atau menyelamatkan mereka darinya serta akibat akibatnya. Sebagai seorang anak Adam, nabi itu tidak dapat menghindari unsur dosa bawaan, yang dengannya dia telah dilahirkan. Ini adalah sebuah garis besar sederhana dari seluruh ajaran tersebut. Berikut ini pemecahan yang dipaparkan oleh para theolog Kristen.
Penebusan Dosa Umat Manusia
Untuk memecahkan persoalan yang tampaknya tidak terpecahkan ini, Tuhan telah menyusun sebuah rencana yang cemerlang. Tidak jelas apakah Dia telah membincangkannya dengan Anak-Nya; atau mereka berdua yang telah menyusunnya secara bersama-sama; atau hal itu keseluruhannya merupakan ide Tuhan Anak, kemudian diterima oleh Tuhan Bapak. Bentuk-bentuk rencana itu yang telah dibukakan pada zaman Kristus adalah sebagai berikut: dua ribu tahun yang lalu Sang Anak Tuhan yang secara harfiah turut menikmati keabadian dengan Tuhan, telah dilahirkan melalui seorang perempuan. Sebagai "Anak Tuhan," dia memiliki kedua-duanya, sifat-sifat sempurna manusia dan juga sifat-sifat sempurna Tuhan Bapak. Berikutnya kita diberitahukan bahwa seorang perempuan perawan yang saleh, bernama Maryam, telah dipilih untuk menjadi ibu bagi "Sang Anak Tuhan." Dia telah mengandung Yesus karena berhubungan dengan Tuhan. Dalam kaitan ini, sebagai seorang Anak hakiki Tuhan, Yesus telah lahir tanpa dosa, tetapi walau bagaimana pun dia memiliki sifat-sifat dan wujud manusia. Demikianlah Yesus suka-rela mempersembahkan dirinya untuk memikul beban seluruh dosa umat manusia yang mau mengimaninya serta menerimanya sebagai juru selamat. Melalui muslihat cerdik ini, dinyatakan, Tuhan telah mengelak mengkompromikan sifat abadi-Nya sebagai Yang Maha Adil Mutlak.
Ingat, berdasarkan modus operandi (sistim kerja) ini, tidak ada manusia yang tidak akan dihukum, bagaimana pun dosa yang dia perbuat. Tuhan masih tetap dapat memungut ganti rugi dari seorang pelaku dosa tanpa mengkompromikan rasa keadilan yang Dia miliki. Perbedaan satu-satunya antara hal itu dengan kedudukan sebelumnya, yang bertanggung-jawab terhadap perubahan dramatis ini adalah kenyataan bahwa Yesus lah yang akan dihukum dan bukan anak-anak laki-laki maupun anak-anak perempuan Adam yang penuh dosa. Merupakan pengorbanan Yesus yang pada akhimya menjadi sarana dalam menebus dosadosa anak-keturunan Adam.
Betapa pun aneh dan ganjilnya logika tersebut, demikianlah yang diakui telah terjadi. Yesus suka-rela mempersembahkan diri beliau, dan akibatnya beliau telah dihukum atas dosa-dosa yang tidak pernah beliau lakukan.
Dosa Adam dan Hawa
Mari kita periksa kembali kisah Adam dari permulaan. Tidak ada satu langkah pun dalam ajaran tersebut di atas yang diterima oleh akal sehat dan logika manusia.
Pertama-tama, dinyatakan bahwa karena Adam dan Hawa melakukan dosa, anak keturunan mereka pun jadi tercemar oleh dosa secara genetika dan selamanya. Berbeda dengan itu, ilmu pengetahuan genetika mengungkapkan bahwa pemikiran-pemikiran dan amal perbuatan manusia, apakah itu baik atau buruk, bahkan walau terus menerus hal itu melekat di sepanjang hidup seseorang manusia, tidak dapat ditransfer dan ditanamkan ke dalam sistem reproduksi manusia. Panjangnya suatu umur terlalu pendek untuk menjalani suatu peran dalam membawakan perubahan yang demikian besar; bahkan keburukan-keburukan orang dari generasi ke generasi atau amal-amal mereka yang baik berkenaan dengan hal tersebut, tidak bisa diwariskan/ditransfer kepada keturunan mereka sebagai sifat-sifat genetik. Boleh jadi diperlukan jutaan tahun untuk melekatkan suatu karakter baru pada gen (plasma pembawa sifat pada keturunan) manusia.
Bahkan melalui wawasan imajinasi seseorang yang sangat tidak masuk akal serta yang tidak dapat diterima sekalipun seseorang akan mampu merasakan kejadian yang ganjil seperti itu, maka hal yang sebaliknya pun harus dapat diterima dengan logika yang sama.
Artinya, jika seorang pelaku dosa bertobat dan tarnpil suci pada akhir hidupnya, maka perbuatan itu harus terekam dalam sistim genetika; yang secara efektif membatalkan dampak-dampak dosa terdahulu. Secara ilmiah hal ini tidak mungkin dapat terjadi, tetapi yang pasfi ada hal yang lebih masuk-akal dalam gambaran ini dibandingkan dengan membayangkan bahwa hanya kecenderungan terhadap dosa saja yang secara genetika dapat ditanamkan dan bukan kecenderungan untuk berbuat baik.
Kedua, dengan berupaya memecahkan permasalahan Adam melalui pemaparan bahwa dosa ditransfer secara genetika kepada anak keturunan Adam di masa mendatang, yang sudah dicapai dari itu semua justru suatu penghancuran total terhadap pondasi dasar yang merupakan landasan bagi ajaran Kristen tentang "Dosa dan Penebusan Dosa." Jika Tuhan itu secara mutlak memang Maha Adil, maka di mana letaknya rasa keadilan dengan menghukum secara kekal seluruh anak keturunan Adam dan Hawa akibat dosasementara yang mereka lakukan berdua dan yang untuknya mereka telah bertobat? Justru itu adalah dosa yang karenanya mereka berdua telah dijatuhi hukuman berat dan diusir secara hina dari surga. Sikap adil apa namanya bagi Tuhan, yang setelah menghukum Adam serta Hawa karena dosadosa pribadi mereka, masih juga rasa dendam-Nya belum reda dan menghukum seluruh umat manusia dengan suatu penderitaan yang tak tertolongkan, yaitu lahir sebagai pendosa-pendosa turunan? Peluang apa yang dimiliki anakanak Adam untuk melarikan diri dari dosa? Jika kedua orangtua melakukan suatu kesalahan, mengapa anak-anak mereka yang tak berdosa itu harus menderita secara kekal akibat kesalahan tersebut?
Dengan demikian, betapa telah berubahnya rasa keadilan yang diakui dimiliki dan diterapkan oleh Tuhan, jika Dia menghukum orang-orang yang memang sudah dirancang untuk berperan penuh dosa, walau betapa pun mereka tidak menyukai dosa? Dosa sudah merupakan bagian dan bingkisan dalam mekanisme mereka. Tidak ada peluang lagi bagi seorang anak Adam untuk menjadi suci dari dosa. Jika dosa merupakan suatu kejahatan, akal menuntut bahwa seharusnya hal itu merupakan kejahatan Sang Pencipta, bukan kejahatan makhluk ciptaan. Dalam bentuk demikian, keadilan apa yang menuntut hukuman terhadap orang yang tak bersalah akibat kejahatan-kejahatan para pelaku kejahatan?
Jauh berbeda dari pemahaman Kristen tentang dosa dan akibat-akibatnya, adalah pernyataan Alquran Suci, yang berbunyi:

Tiada pemikul beban yang akan memikul beban orang lain. (Al-Fathir: 19)

Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai kemampuannya. (Al-Baqarah : 287)
Dibandingkan dengan konsep Kristen tentang "Dosa dan Penebusan Dosa," pernyataan-pemyataan Alquran Suci ini merupakan musik murni bagi j iwa.
Sekarang mari kita beralih pada keterangan Bibel tentang apa yang sebenarnya telah terjadi pada masa dosa Adam dan Hawa serta dampak-dampak yang berlaku atas hukuman mereka. Menurut Kitab Kejadian, Tuhan telah mengabulkan permintaan maaf mereka hanya sebagian, sedangkan sebuah hukuman kekal telah dikenakan kepada mereka, sebagaimana yang tertera berikut ini:
Firman-Nya kepada perempuan itu: "Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu."
Lalu firman-Nya kepada Adam: "Karena engkau mendengar perkataan istrimu dan memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu; semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu; dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu." (Kejadian 3:16-19).
Umat manusia sudah lama ada sebelum kelahiran Adam dan Hawa. Para ilmuwan Barat sendiri telah menemukan peninggalan-peninggalan banyak manusia prasejarah dan memberikan berbagai nama khusus pada mereka. Manusia Neanderthal mungkin yang paling banyak diketahui secara luas. Manusia-manusia Neanderthal ini hidup antara 100.000 hingga 35.000 tahun lalu, kebanyakan di kawasan Eropa, Timur Dekat, dan Asia Tengah. Sisa tubuh seorang manusia dewasa telah ditemukan, yang menjelajahi bumi sekitar 29.000 tahun sebelum Adam dan Hawa diketahui memulai masa menetap mereka yang singkat di surga. Pada masa itu, umat manusia secara fisik menyerupai kita dan hidup di Eropa, Afrika serta Asia, dan kemudian pada Zaman Es mereka menyebar ke Amerika. Demikian pula di Australia, sejarah kebudayaan asli orang-orang Aborigin dapat ditelusuri hingga 40.000 tahun yang lalu
Dibandingkan dengan zaman-zaman yang relatif masih dekat itu, kerangka seorang wanita dari Hedar di Ethiopia telah ditemukan berusia 2,9 juta tahun. Sekarang berdasarkan kronologi Bibel, Adam dan Hawa hidup sekitar 6.000 tahun yang silam. Seseorang dapat melihat ke belakang dengan penuh takjub pada sejarah yang tercatat tentang umat manusia, atau Homo Sapiens sebagaimana nama yang diberikan kepada mereka dalam bahasa ilmiah.
Penderitaan Manusia Berkelanjutan
Dengan membaca keterangan Bibel bagaimana Adam dan Hawa telah dihukum, seseorang tidak dapat menahan rasa herannya, apakah rasa sakit dan perih dalam melahirkan tidak dialami oleh para perempuan hingga datangnya zaman Adam dan Hawa? Seorang ilmuwan sulit untuk mempercayai khayalan-khayalan semacam itu. Sekali lagi, kita memiliki banyak bukti yang tidak terbantah bahwa jauh sebelum Adam dan Hawa, manusia telah menghuni seluruh benua di bumi ini, juga kepulauan-kepulauan terpencil di Pasifik, dan mereka selalu menjalani proses melahirkan yang sulit untuk selamat. Oleh sebab itu, mengatakan bahwa Adam dan Hawalah yang pertama kali melakukan dosa sehingga akibat itu proses melahirkan yang sangat sakit telah ditetapkan sebagai hukuman, terbukti salah sama sekali dengan mempelajari kehidupan. Bahkan hewan-hewan, yang lebih rendah dalam ordo kehidupan, melahirkan dengan rasa sakit. Jika seseorang menyaksikan seekor sapi melahirkan anaknya, penderitaan sapi itu serupa dengan penderitaan seorang perempuan. Banyak hewan, yang kita ketahui, telah menghuni bumi ini jutaan dan jutaan tahun sebelum Adam dan Hawa.
Meraih penghidupan dengan bekerja adalah biasa bagi manusia, tetapi bukanlah istimewa sama sekali. Kaum wanita juga bekerja untuk pencaharian dan penghidupan mereka. Sebelum itu, setiap spesies kehidupan mendapatkan penghidupan mereka dengan bekerja. Kenyataan ini merupakan kunci penggerak bagi evolusi kehidupan. Upaya gigih untuk tetap mempertahankan keberadaan, mungkin merupakan tanda pertama yang istimewa bagi kehidupan, yang memisahkannya dari dunia benda-benda mati. Ini adalah suatu gejala alami, yang tidak ada sedikit pun kaitannya dengan dosa.
Kembali, jika ini merupakan hukuman yang dinyatakan sebagai akibat dosa Adam dan Hawa, maka seseorang akan heran, apa yang bakal terjadi setelah Penebusan Dosa? Jika Yesus Kristus telah menebus dosa-dosa umat manusia yang berdosa, apakah hukuman yang dinyatakan bagi dosa Adam dan Hawa itu telah dihapuskan setelah peristiwa Penyaliban? Apakah orang yang mengimani Yesus Kristus sebagai "Anak Tuhan, jika mereka perempuan, tidak lagi merasakan sakit sewaktu melahirkan? Apakah orang-orang yang beriman mulai memperoleh penghidupan mereka tanpa melakukan kerja keras seperti biasa? Apakah kecenderungan terhadap dosa tidak lagi ditransfer kepada generasi-generasi mendatang dan anak-anak tidak berdosa mulai dilahirkan? Jika jawaban semua pertanyaan ini adalah "ya," maka sudah tentu akan timbul pembenaran dalam mempertimbangkan secara sungguh-sungguh falsafah Kristen tentang "Dosa dan Penebusan Dosa." Namun sayang, jawaban terhadap semua pertanyaan ini adalah tidak, tidak dan tidak. Jika memang tidak ada yang berubah, di dunia Kristen maupun non Kristen, sejak peristiwa penyaliban, maka apa artinya Penebusan Dosa?
Bahkan setelah [kedatangan] Yesus Kristus, rasa keadilan tetap mendikte umat manusia di seluruh dunia, yakni jika seseorang melakukan suatu dosa, maka hukuman bagi dosa tersebut harus diberikan kepada orang itu sendiri dan bukan kepada orang lain. Semua laki-laki maupun perempuan harus merasakan sendiri akibat-akibat dosa mereka. Anak-anak selalu lahir dalam keadaan tidak berdosa. Jika ini tidak benar, berarti sifat adil Tuhan telah dicampakkan.
Kami sebagai orang Islam mempercayai bahwa seluruh kitab samawi berlandaskan pada kebenaran abadi dan tidak ada yang dapat membuat pernyataan yang berlawanan dengan itu. Jika kami menemukan [berbagai] ketidakkonsekwenan dan pertentangan dalam suatu kitab yang disebut kitab samawi, sikap kami bukanlah mengingkari dan menolak secara keseluruhan, tetapi menelitinya dengan hatihati dan penuh simpati. Kebanyakan pemyataan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang kami dapati berbeda dengan kenyataan alam, kami mencoba mengadakan pendekatan melalui penelaahan terhadap beberapa pesan samar dan kiasan yang perlu diperhatikan, atau menolak bagian teks tersebut sebagai karya tangan manusia dan bukan dari Tuhan. Jika ajaran Kristen itu sendiri memang benar, ia seharusnya tidak mengandung penyimpangan apa pun, fakta-fakta yang tidak dapat diterima, atau kepercayaan--kepercayaan yang mendustai alam. Itulah sebabnya mengapa kami tidak memulai dengan penelitian tekstual, tetapi langsung pada dasar-dasarnya, yang melalui kesepakatan berabad-abad telah menjadi bagian-bagian falsafah Kristen yang tidak dapat dibantah. Salah satu ketidaksempurnaan itu diantaranya adalah pemahaman Kristen tentang "Dosa dan Penebusan Dosa." Saya lebih percaya bahwa seseorang, di suatu tempat dalam sejarah Kristen, keliru dalam memahami hal-hal tersebut dan mencoba menafsirkannya berdasarkan petunjuk pengetahuannya sendiri dan akibatnya dia telah menyesatkan generasi-generasi berikutnya.
Dosa Warisan
Marilah kita umpamakan, demi suatu dalil, bahwa Adam Hawa benar-benar telah melakukan dosa sebagaimana diterangkan dalam Perjanjian Lama dan telah dijatuhi hukuman sesuai hal itu. Menurut kisah yang berlaku, hukuman itu tidak hanya dijatuhkan kepada mereka tetapi juga kepada seluruh anak keturunan mereka. Sekali hukuman itu telah ditentukan dan dijalankan, mengapa harus ada hukuman lainnya? Sekali suatu dosa telah dihukum; sudah selesai. Sekali suatu keputusan telah ditetapkan, tidak satu pun yang berhak menambahkan hukuman demi hukuman lebih banyak lagi secara terusmenerus. Dalam kasus Adam dan Hawa, tidak hanya tentang mereka telah dikecam secara keras dan dihukum melebihi dosa yang telah mereka lakukan, tetapi bentuk hukuman yang telah diteruskan kepada anak keturunan mereka sendiri, juga sangat layak dipertanyakan. Tentang hal itu sudah cukup banyak kami utarakan. Yang sedang kami coba tunjukan adalah suatu pelanggaran yang jauh lebih keji terhadap keadilan yang mutlak. Mendapat hukuman secara terus-menerus karena dosa-dosa nenek-moyang kita adalah suatu hal tersendiri, tetapi terpaksa melanjutkan dosa sebagai akibat kesalahan nenek-moyang seseorang adalah suatu hal yang buruk sekali. Marilah kita simak realita-realita nyata dalam apa yang dialami manusia, dan mencoba memahami falsafah Kristen tentang kejahatan dan hukuman dan kaitannya dengan pengalaman hidup kita sehari-hari. Misalnya suatu keputusan telah ditetapkan bagi seorang penjahat, yang bobotnya jauh lebih berat serta lebih keras dari kejahatan yang telah dilakukan. Hal itu tentu dapat menimbulkan kecaman kuat dan keras dari setiap orang berakal sehat terhadap suatu hukum yang berat dan tidak seimbang seperti ituAtas dasar pandangan ini sangat sulit bagi kita untuk mempercayai bahwa hukuman yang telah dijatuhkan terhadap Adam akibat dosanya itu berasal dari suatu Tuhan Yang Adil. Ini tidak hanya masalah hukuman yang tidak seimbang. Ini adalah suatu hukuman yang berdasarkan pemahaman Kristen terhadap perbuatan Tuhan--telah merentang melewati jangka masa kehidupan Adam dan Hawa serta telah diteruskan generasi demi generasi kepada anak keturunan mereka. Anak keturunan yang menderita akibat hukuman orang tua mereka itu sendiri; sebenarnya sudah merupakan suatu bentuk yang lebih jauh dari pelanggaran terhadap keadilan melampaui batas-batas terakhirnya. Namun kita tidak membicarakan hal itu. Jika kita sedang sial menyaksikan suatu keputusan yang ditetapkan oleh seorang hakim zaman sekarang – yang membuat anak-anak, cucu-cucu, cicit-cicit, dan seterusnya demi seorang penjahat, menjadi terpaksa oleh hukum melanjutkan perbuatan dosa dan melakukan kejahatankejahatan serta memperoleh hukuman sesuai itu sampai kiamat – maka bagaimana nantinya reaksi masyarakat zaman sekarang, yang telah mendapatkan suatu makna universal keadilan melalui peradaban?
Pembaca hendaknya diingatkan di sini, bahwa konsep Dosa Warisan hanyalah suatu kesalahan dalam penafsiran yang dilakukan oleh Paulus. Konsep itu tidak dapat dikaitkan secara benar kepada ajaran-ajaran Perjanjian Lama. Terdapat banyak bukti yang menentang hal itu dalam kitab-kitab Perjanjian Lama. Pada abad ke-5, Augustina, Bishop dari Hippo, terlibat dalam perlawanan dengan gerakan Pelagian, mengenai persengketaan tentang tergelincirnya Adam dan Hawa. Dia menyatakan gerakan Pelagian melakukan penyimpangan sebab gerakan itu menganggap dosa Adam hanya berdampak pada diri Adam sendiri dan tidak pada seluruh umat manusia, dan setiap anak lahir bebas dari dosa serta mampu menjalani kehidupan yang bersih dari dosa atas kekuatannya sendiri; dan banyak orang yang sudah berhasil melaksanakan hal itu.
Mereka yang benar telah dinyatakan sebagai pelaku penyimpangan. Siang telah dinyatakan sebagai malam, dan malam sebagai siang. Bid’ah dinyatakan sebagai kebenaran, sedangkan kebenaran dinyatakan sebagai bid’ah.
Pengalihan Dosa
Marilah kita simak kembali permasalahan bahwa Tuhan tidak mengampuni orang-orang berdosa tanpa menghukum mereka, sebab hal itu bertentangan dengan rasa keadilan-Nya. Seseorang jadi tercekam menyadari bahwa selama berabad-abad orang-orang Kristen telah mempercayai sesuatu yang sama sekali di luar jangkauan daya nalar manusia dan bertentangan dengan akal sehat manusia. Bagaimana mungkin Tuhan dapat mengampuni seorang pendosa hanya karena seseorang lainnya yang tidak berdosa secara sukarela telah mengambil alih hukuman tersebut? Jika Tuhan telah melakukannya, berarti pada saat itu Dia melanggar prinsip-prinsip dasar keadilan. Seseorang yang berdosa harus menanggung dosa-dosanya itu. Ringkasnya, berbagai macam permasalahan yang rumit pada manusia akan muncul jika hukuman dialihkan ke orang lain.
Para theolog Kristen membantah bahwa pengalihan hukuman semacam itu, tidaklah melanggar prinsip keadilan mana pun, sebab hukuman orang itu ditanggung secara sukarela oleh orang yang tidak berdosa tersebut. Apa pendapat kalian dalam kasus seorang pengutang, kata mereka, yang menanggung utang berlebihan di luar kemampuan nya untuk melunasi, dan seorang dermawan yang takut kepada Tuhan, mengambil keputusan untuk membebaskan orang itu dari bebannya dengan cara dia sendiri yang membayarkan utang orang tersebut? Jawaban kami adalah, memang kami sangat memuji sikap kedermawanan, kebaikan dan pengorbanan yang begitu besar. Namun, apa reaksi seseorang yang mengajukan pertanyaan kepada kita sebagai berikut, yakni jika hutang itu mencapai triliun poundsterling dan tampil seorang dermawan yang mengeluarkan satu sen dari sakunya, meminta supaya seluruh kewajiban si penghutang tersebut dihapuskan dengan ganti uang sen yang telah diberikan? Yang kita dapati dalam kasus Yesus Kristus yang telah mempersembahkan dirinya untuk dihukum, demi dosa-dosa seluruh umat manusia, ketidakseimbangannya adalah jauh lebih aneh. Sekali lagi, ini tidak hanya tentang satu orang penghutang tentang miliaran orang yang tidak sanggup melunasi hutang, yang lahir dan yang bakal lahir hingga Hari Kiamat.
Namun tidak hanya itu. Menjabarkan kejahatan melalui contoh seorang penghutang yang meminjam uang dari seseorang lainnya, menampilkan suatu definisi yang sangat naif tentang dosa yang pernah saya dengar. Skenario yang telah dipaparkan ini memang patut mengambil perhatian kita agak lama sebelum kita beralih kepada aspek-aspek lain kejahatan dan hukuman.
Mari kita pertimbangkan kasus seorang penghutang, kita sebut saja si A, yang meminjam uang 100.000 pound dari si B. Jika seorang dermawan kaya, atas dorongan penuh perasaannya, secara sungguh-sungguh dan tulus ingin meringankan beban si penghutang, ketentuan undangundang umum yang mensyaratkannya untuk membayar kepada si B sebesar hutang si A kepadanya. Namun, andaikan dermawan hipotetis (yang bisa saja dianggap benar, tetapi belum terbukti kebenarannya) itu tampil ke depan dengan suatu permohonan supaya si A dibebaskan dari tanggung-jawabnya untuk membayar kepada si B dan sebagai gantinya dia bersedia dipukul sedikit atau dipenjarakan paling lama tiga hari tiga malam. Bila hal ini benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata, sungguh akan menyenangkan dalam menyaksikan wajah mencengangkan para hakim yang sangat terkejut dan wajah B si pemberi hutang yang sangat malang. Namun, si dermawan itu masih harus melengkapi permintaannya berupa pengampunan. Lebih lanjut dia menetapkan: "Wahai Tuhan-ku, tidak hanya itu yang aku inginkan sebagai imbalan pengorbananku. Aku menghendaki supaya segenap penghutang di seluruh alam raya ini, yang hidup sekarang-maupun yang bakal lahir hingga Hari Kiamat, dibebaskan dari seluruh tanggung-jawab mereka sebagai imbalan terhadap penderitaan saya selama tiga hari tiga malam." Pada titik ini pikiran orang akan jadi kacau.
Bagaimana seseorang ingin mengajukan kepada Tuhan, Tuhan Yang Maha Adil, bahwa mereka yang hasil-hasil kerja keras mereka telah dirampas, atau simpanan-simpanan bagi kehidupan mereka telah dirampok, seharusnya memperoleh ganti rugi, paling tidak hingga batas-batas tertentu. Namun Tuhan orang Kristen, tampaknya jauh lebih baik hati dan lebih bersikap mengampuni terhadap pelaku kejahatan dibandingkan terhadap orang tak berdosa yang menderita di tangan pelaku kejahatan itu. Ini benar-benar suatu rasa keadilan aneh, yang menghasilkan pengampunanpengampunan bagi para perampok, perampas, penganiaya anak-anak, penyiksa orang-orang tak berdosa, dan pelaku segala macam kejahatan biadab terhadap manusia, yang diperoleh karena mereka beriman kepada Yesus Kristus pada saat-saat menjelang ajal mereka. Betapa tidak terhitungnya besar hutang yang mereka ambil dari para korban mereka yang sengsara itu? Apakah keberadaan Yesus beberapa saat dalam neraka cukup membersihkan mereka dari kesalahan keji sepanjang hidup mereka yang belum dijatuhi hukuman, yang berkelanjutan generasi demi generasi.
Hukuman Masih Terus Diberikan
Marilah kita pertimbangkan suatu kategori kejahatan yang berbeda dan lebih serius, yang dampak-dampaknya yang tidak dapat diterima oleh fitrat manusia sebagai sesuatu yang dapat dialihkan. Misalnya, seseorang secara biadab menyiksa seorang anak bahkan memperkosa dan membunuhnya. Perasaan-perasaan manusia tanpa diragukan lagi telah dilanggar sampai batas yang tidak tertanggungkan. Andaikan saja orang seperti itu tetap menimbulkan penderitaan demikian dan lebih besar dari itu, di sekitar dirinya, tanpa sempat tertangkap dan diadili. Setelah dia menjalani hidupnya yang penuh kejahatan itu tanpa memperoleh hukuman melalui tangan-tangan manusia, pada saat dia mendekati kematiannya dia mengambil sikap untuk menghindarkan dirinya dari hukuman yang jauh lebih besar pada Hari Pembalasan, tiba-tiba saja dia akhimya mengimani Yesus Kristus sebagai juru selamatnya. Apakah seluruh dosanya serta-merta akan lenyap sama sekali dan dia akan dibiarkan melayang ke alam lain dalam keadaan bebas dari dosa seperti bayi yang baru lahir? Mungkin orang yang menunda keimanannya terhadap Yesus hingga menjelang kematiannya terbukti lebih cerdik daripada orang yang beriman pada masa-masa awal kehidupannya. Bagi orang-orang yang beriman lebih awal senantiasa terdapat bahaya untuk melakukan dosa-dosa setelah beriman dan jatuh menjadi korban makar-makar serta kejahatan syaitan. Mengapa tidak kalian tunggu saja sampai ajal mendekati kalian, sehingga memberikan peluang dan waktu yang sempit bagi syaitan untuk merampas keimanan kalian terhadap Yesus? Suatu kehidupan yang bebas penuh kejahatan dan kesenangan di dunia ini, dan suatu kelahiran kembali dalam bentuk pengampunan yang abadi, memang suatu jual-beli yang licik.
Apakah ini suatu kebijaksanaan tentang keadilan yang dinisbahkan oleh orang-orang Kristen kepada Tuhan? Rasa keadilan semacam itu atau Tuhan seperti itu sendiri sama sekali tidak dapat diterima oleh akal sehat manusia, yang Dia sendiri telah menciptakannya, tanpa mampu membedakan antara yang benar dan yang salah.
Menyimak pertanyaan yang sama, berdasarkan pengalaman dan pemahaman manusia, seseorang memiliki hak untuk mengecam falsafah tersebut sebagai sesuatu yang tidak berarti dan tidak memiliki dasar. Falsafah itu tidak memiliki kenyataan dan hakikat. Pengalaman manusia mengajarkan kepada kita, bahwa selamanya merupakan hak istimewa bagi orang-orang yang menderita di tangan pihak lain untuk mengampuni atau tidak mengampuni. Kadangkadang pemerintah-pemerintah, dalam rangka merayakan suatu hari kegembiraan nasional atau pun untuk hal-hal lainnya, memberikan pengampunan kepada para kriminal tanpa pilih bulu. Namun amnesti itu sendiri tidak membenarkan sikap pengampunan terhadap orang-orang yang telah melakukan beberapa kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dan yang telah mengakibatkan penderitaan berkepanjangan terhadap sesama manusia lainnya yang tidak berdosa. Jika sikap memberi pengampunan tanpa pilih bulu dapat dibenarkan dalarn ukuran apa pun oleh suatu pemerintahan dan jika hal itu tidak dianggap oleh para theolog Kristen sebagai suatu pelanggaran terhadap rasa keadilan, maka mengapa mereka tidak mengalamatkan kebaikan yang sama itu terhadap Tuhan dan menyerahkan kepada-Nya hak untuk memberi ampunan bagaimana dan kapan saja Dia kehendaki? Padahal Dia adalah Maha Kuasa, Pencipta dan Pemilik segala sesuatu. Jika Dia mengampuni seseorang atas suatu kejahatan yang telah dilakukan orang itu terhadap orang lain, Sang Maha Kuasa ini memiliki kekuatan tak terbatas untuk mernberikan ganti rugi terhadap pihak yang telah dirugikan dengan cara demikian baik, sehingga membuat orang [yang dirugikan] itu benar-benar puas terhadap keputusan-Nya. Dengan demikian apa perlunya pengorbanan Anak-Nya yang tidak berdosa itu? Hal ini sendiri sudah merupakan suatu penghinaan terhadap keadilan. Kita terlahir dengan fitrat yang seirama dengan sifat-sifat Tuhan. Dia telah menyatakan dalam Bibel:
Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita." (Kejadian 1:26)
Mengenai hal yang sama, Dia berfirman dalam Alquran Suci: Dan turutilah fitrat yang diciptakan Allah, yang sesuai dengan fitrat itulah Dia telah menciptakan umat Manusia. (Ar Rum : 31)
Prinsip ini, yang sama-sama umum bagi umat Kristen maupun Islam, menghendaki supaya dalam keadaan tertentu akal sehat manusia menjadi cermin sifat-sifat Tuhan. Ini merupakan suatu hal yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, yakni sering kita mengampuni tanpa harus melanggar rasa keadilan sedikit pun. Jika secara pribadi kita melakukan kesalahan lalu terhadap kejahatan yang dilakukan terhadap diri kita, kita dapat memberikan pengampunan. Jika seorang anak menyakiti orang tuanya dengan cara tidak patuh atau mengakibatkan kerusakan beberapa barang rumah tangga yang berharga, atau mengakibatkan tercemarnya nama baik mereka, dia telah melakukan dosa terhadap mereka. Orang tuanya dapat saja memaafkannya tanpa dicerca dan dikecam oleh akal sehat mereka karena melanggar rasa keadilan. Namun jika anak mereka menghancurkan harta benda tetangga mereka, atau melukai anak orang lain, bagaimana mereka dapat mengambil keputusan untuk memaafkan anak demikian, hal itu akan dianggap sebagai suatu sikap yang tidak adil oleh akal mereka sendiri.
Kejahatan dan hukuman memiliki hubungan yang sama seperti halnya sebab dan akibat dan dalam tingkat tertentu keduanya harus seimbang. Aspek hubungan antara kejahatan dan hukuman ini sudah diperbincangkan cukup panjang dengan menampilkan sikap keliru seseorang dalam hal keuangan terhadap orang lain. Dalil yang sama berlaku lebih berat terhadap kejahatan-kejahatan lain, seperti melukai, merampok atau membunuh orang-orang yang tidak berdosa atau merusak kehormatan mereka dalam bentuk apa pun. Semakin besar bobot suatu kejahatan, semakin berat pulalah bentuk dan tingkat hukuman yang dapat dibayangkan oleh seseorang. Jika Tuhan dapat mengampuni semua orang, sebagaimana saya percaya bahwa Dia dan hanya Dia-lah yang dapat melakukannya, maka masalah Penebusan Dosa yang menghukum seseorang tidak berdosa sebagai gantinya, tidak berfungsi sama sekali. Jika masalahnya adalah pengalihan hukuman seorang pelaku kejahatan kepada orang lain yang tidak berdosa yang telah bersedia untuk itu, maka keadilan, paling tidak, menuntut supaya hukuman tersebut dialihkan sepenuhnya kepada orang tadi, tanpa menambah atau menguranginya. Hal itu pun sudah cukup banyak kita bicarakan.
Apakah orang-orang Kristen percaya bahwa tuntutan keadilan ini telah diterapkan oleh Tuhan-Bapak dalam kasus Yesus Anak Tuhan? Jika memang demikian, berarti seluruh hukuman bagi segenap pelaku kejahatan dari kalangan Kristen yang telah lahir pada zaman Kristus atau yang lahir sesudah itu hingga Hari Kiamat, telah dihimpun, dipadatkan dan dikumpulkan menjadi suatu bentuk neraka yang begitu hebatnya sehingga penderitaan Yesus Kristus yang hanya tiga hari tiga malam itu telah mengimbangi siksaan seluruh hukuman yang sepantasnya telah diterima maupun yang bakal diterima oleh para pelaku dosa tersebut di atas hingga Hari Kiamat. Jika demikian, seharusnya tidak ada orang Kristen yang pernah mengalami hukuman di bumi ini dari suatu pemerintahan Kristen manapun. Jika tidak, hal itu akan sama saja seperti suatu sikap yang sangat tidak adil. Yang seharusnya dilakukan oleh pengadilan setelah menjatuhkan keputusan bersalah [terhadap seorang warga Kristen] adalah meminta orang Kristen pelaku kejahatan itu supaya berdoa kepada Yesus Anak Tuhan agar menyelamatkannya. Dan perkaranya harus dihentikan dan ditutup setelah itu. Hal itu sesederhana kasus pengalihan buku dan rekening kejahatan seseorang kepada buku rekening Yesus Kristus.
Sebagai ilustrasi marilah kita tampilkan Amerika Serikat dalam fokus yang lebih tajam mengenai kondisi kejahatan di sana. Kejahatan-kejahatan merampok dan membunuh begitu luas sehingga sulit menghitungnya. Suatu kali saya teringat di New York, saya mendengar sebuah stasiun radio yang sepenuhnya diperuntukkan bagi berita kejahatan-kejahatan besar. Sungguh suatu hal yang mengerikan. Begitu menyakitkan sehingga saya hanya mampu mendengarnya setengah jam saja, tidak lebih dari itu. Hampir setiap lima menit terjadi sebuah pembunuhan baru di Amerika dan hal itu diberitakan, kadang-kadang dengan pemberitaan mengerikan yang disampaikan para wartawan yang benarbenar menyaksikan peristiwa pembunuhan itu sedang berlangsung. Kami tidak bermaksud memaparkan gambaran rinci tentang kejahatan di Amerika, tetapi sudah diketahui secara umum bahwa sekarang ini Amerika tampil paling atas dalam daftar negara tempat merajalelanya segala macam kejahatan; khususnya di kota-kota besar seperti Chicago, New York dan Washington. Di New York, perampokan sudah biasa terjadi; demikian pula penyerangan terhadap penduduk tak berdosa yang takut melawan. Kejadian seharihari ini menimbulkan suatu gambaran yang sangat menjijikkan tentang pengrusakan dan pembunuhan hanya untuk hal-hal yang sepele.
Dengan mengenyampingkan hal itu sejenak, meningkatnya pola kejahatan di seluruh dunia, dalam kasus Amerika sendiri, seseorang tidak dapat luput dari keterkejutannya mengenai hubungan antara konsep Kristen tentang "Dosa dan Penebusan Dosa" dan kejahatan-kejahatan yang dilakukan setiap hari. Walaupun mereka dapat saja meninggalkan nilai-nilai Kristen dalam amal perbuatan mereka, tetapi paling tidak hal ini jelas bahwa mereka memang mempercayai doktrin Kristen tentang "Dosa dan Penebusan Dosa" dan juga mempercayai Kristus sebagai juru selamat mereka, tetapi sayang, tidak ada gunanya. Mayoritas pelaku kejahatan di Amerika, jelas adalah mereka yang disebut orang-orang Kristen. Memang orang-orang Islam dan lainnya tidak terkecuaii. Dikarenakan seluruh pelaku kejahatan itu berasal dari kalangan Kristen dan mereka percaya pada pengorbanan sukarela Yesus Kristus demi para pelaku dosa yang beriman, apakah mereka semua akan diampuni oleh Tuhan? Jika ya, dengan cara apa? Kenyataannya, sebagian kecil dari mereka dapat tertangkap dan dijatuhi sanksi oleh hukum negara, tetapi tetap saja sebagian besar dari mereka tidak tertangkap atau dijatuhi hukuman setelah mereka melakukan kejahatan-kejahatan selama beberapa tahun.
Apa yang dapat ditawarkan Kristen kepada orang-orang yang telah dijatuhi sanksi oleh hukum dan apa yang dapat Kristen janjikan kepada mereka yang belum tertangkap di dunia ini? Apakah kedua kelompok itu akan dihukum dalam tingkatan yang berbeda atau akankah mereka dihukum tanpa pilih bulu?
Dilema lainnya yang berkaitan dengan pengampunan terhadap seorang pelaku kejahatan karena kepercayaannya terhadap Yesus Kristus, tampil dalam suatu situasi yang tidak jelas dan tidak menentu. Misalnya, apabila seorang warga Kristen melakukan suatu kejahatan terhadap seorang korban tak berdosa dari kalangan bukan Kristen, dia akan diampuni tentunya, karena berkat-berkat keimanannya terhadap Yesus. Hukuman terhadap kejahatannya akan dialihkan kepada Yesus. Namun bagaimana pula bentuk keuntungan dan kerugian si korban malang tak berdosa yang bukan Kristen itu? Yesus yang malang dan korban yang malang itu, keduanya telah dihukum untuk suatu kejahatan yang tidak mereka lakukan.
Kemampuan-kemampuan kita akan kacau jika kita mencoba membayangkan besarnya seluruh kejahatan yang pemah dilakukan umat manusia semenjak kebangkitan Kristen hingga masa kepunahan hidup manusia. Apakah seluruh kejahatan ini telah dialihkan kepada Yesus Kristus, semoga keselamatan dan berkat Allah berada atasnya? Apakah seluruh dosa tersebut telah tercakup dalam penderitaan yang dialami Yesus pada masa singkat selama tiga hari dan tiga malam? Tetap saja orang merasa aneh bagaimana mungkin suatu lautan luas para pelaku kejahatan yang begitu hebatnya dibuat pahit oleh racun kejahatan yang mematikan, telah dibuat menjadi manis dan sepenuhnya dibersihkan dari dampak-dampak kejahatan mereka hanya melalui sikap mereka yang mengimani Yesus. Sekali lagi, pemikiran seseorang ditarik jauh ke masa lampau, ketika Adam dan Hawa yang malang, dengan begitu lugunya telah melakukan pelanggaran pertama mereka hanya dikarenakan mereka telah ditipu dan dijebak secara licik oleh syaitan. Kenapa dosa mereka pun tidak turut dibersihkan? Tidakkah mereka itu memiliki keimanan terhadap Tuhan? Apakah memiliki keimanan terhadap Tuhan Bapak merupakan suatu amal baik yang kecil, dan apakah merupakan kesalahan mereka bahwa kepada mereka tidak pemah diberitahukan tentang keberadaan seorang "Anak” yang hidup secara abadi dan azali bersama Tuhan Bapak? Mengapa Tuhan Anak tidak mengasihani mereka dan memohon kepada Tuhan Bapak untuk menghukum Tuhan Anak demi kejahatan-kejahatan mereka? Betapa mungkin seseorang menginginkan hal itu terjadi, padahal lebih mudah untuk dihukum atas suatu kejadian tidak mengenakan yang dialami Adam dan Hawa. Seluruh kisah umat manusia tentu dapat ditulis kembali dalam buku takdir. Suatu dunia yang surgawi akan tercipta, dan Adam serta Hawa tidak akan dibuang selamanya dari surga, beserta seluruh anak keturunan mereka yang tidak bahagia dan yang tidak terhingga jumlahnya. Yesus sendiri terusir dari surga hanya untuk tiga hari dan tiga malam, dan seharusnya demikian. Sayangnya hal ini tidak terpikirkan oleh Tuhan Bapak maupun Yesus. Lihatlah, bagaimana dedikasi Yesus dan kenyataan (realita) yang menarik itu telah diubah menjadi suatu dongeng yang aneh dan tidak dapat dipercaya.
Keadilan dan Pengampunan
Falsafah Kristen tentang Kejahatan dan Hukuman tidak hanya sungguh membingungkan bagi intelektualitas manusia yang sederhana dan polos, tetapi juga menimbulkan banyak pertanyaan terkait lainnya yang sangat membingungkan. Falsafah hubungan antara keadilan dan pengampunan, seperti yang terbentuk melalui falsafah Kristen tentang Penebusan Dosa, berusaha memaparkan mengapa Tuhan sendiri tidak dapat memberikan pengampunan. Hal itu sepenuhnya bergantung pada suatu konsep keadilan yang keliru dan sewenang-wenang, yang menjamin bahwa keadilan dan pengampunan tidak pernah dapat berjalan bergandengan tangan. Dengan demikian, mengapa Perjanjian Baru menempatkan penekanan yang mendalam terhadap pengampunan pada saat membahas hubungan manusia? Saya tidak pernah membaca dalam suatu kitab samawi dari suatu agama di dunia ini, sebuah ajaran yang lebih condong ke satu arah dan banyak memberikan penekanan yang berlebihan pada peran pengampunan. Sungguh nyata perbedaan dengan penekanan tradisional mengenai keadilan, yang terdapat dalam ajaran-ajaran Yahudi. Mata dibalas dengan mata; gigi dibalas dengan gigi. Itulah keadilan, yang murni, sederhana dan tidak melemahkan. Sungguh suatu peralihan yang dramatis dari ajaran-ajaran Yahudi tersebut kepada ajaran Kristen yang memerintahkan supaya memberikan pipi sebelah lagi jika satu pipi ditampar. Siapa yang telah memberikan ajaran terakhir itu yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Taurat sebelumnya? Orang menjadi bingung, apakah ajaran pertama dalam Taurat, suatu ajaran yang berasal dari Tuhan Bapak, sama sekali bertentangan dengan ajaran Perjanjian Baru, suatu ajaran yang berasal dari Kristus "Tuhan Anak?" Jika demikian, mengapa Tuhan Anak begitu jauh berbeda dari Bapaknya? Haruskah pertentangan ini dianggap sebagai suatu kerusakan genetika atau suatu perubahan evolusi, atau apakah sikap Kristen terhadap pengampunan mutlak, yang sama sekali bertentangan dengan penekanan agama Yahudi terhadap pembalasan dendam itu, merupakan suatu contoh perubahan yang sangat nyata di pihak Tuhan Bapak? Dia tampaknya sangat menyesali apa yang telah Dia ajarkan kepada Musa dan para Ahli kitab, dan tampaknya Dia ingin sekali memperbaiki kesalahan-Nya itu.
Sebagai orang Islam, kami menilik pergeseran mendasar ini dalam hal penekanan, dan tidak melihat pertentangan dalamnya, sebab kami percaya terhadap Tuhan yang memiliki kombinasi sifat-sifat adil dan pengampun, tanpa ada pertentangan di antara kedua sifat tersebut. Kami memahami peralihan dari ajaran-ajaran Yahudi kepada ajaran-ajaran Yesus Kristus, bukan sebagai suatu perbaikan terhadap ajaran-ajaran aslinya, melainkan terhadap penerapan keliru yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Terhadap kami, Tuhan itu tidak hanya Maha Adil, melainkan juga Maha Pengampun, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jika Dia menghendaki, Dia tidak membutuhkan bantuan pihak luar untuk mengampuni orang yang berdosa. Namun dari sudut pandang Kristen, permasalahan itu menuntut bagian yang besar. Tampak bahwa Tuhan Bapak adalah Tuhan yang hanya tahu keadilan saja dan tidak memiliki rasa kasih maupun sayang. Tampaknya Dia tidak mampu memaafkan walau betapa besar keinginan-Nya melakukan hal itu. Kemudian datanglah Tuhan Anak untuk membantu-Nya dan melepaskan Tuhan dari dilema-Nya yang membakar itu. Tampaknya Sang Anak lebih Maha Pengasih dibandingkan Sang Bapak Yang Maha Pembalas. Bukan hanya kemustahilan tentang gambaran Sang Anak ini saja yang mengganggu akal sehat manusia, hal itu juga menampilkan kembali pertanyaan mengenai pertentangan dalam sifat-sifat mereka. Yesus tidak tampil sebagai anak sejati dari Bapaknya. Kemungkinan telah terjadi suatu kesalahan genetika lagi.
Hal penting lainnya yang perlu diteliti adalah sikap agama-agama lain yang ada di dunia ini terhadap dosa dan dampak-dampaknya. Kristen jelas bukan satu-satunya agama yang diwahyukan. Secara hitungan orang-orang bukan Kristen jauh lebih banyak melampaui jumlah orang-orang Kristen. Ribuan tahun dalam sejarah manusia yang diketahui, sebelum Yesus Kristus, menyaksikan banyak agama yang lahir dan yang mengakar di berbagai belahan dunia tempat hidup manusia. Apakah agama-agama ini pernah memaparkan suatu falsafah pengampunan bahkan walau sedikit saja hubungannya dengan dogma Kristen tentang Penebusan Dosa? Apa konsep mereka tentang Tuhan, atau tentang tuhan-tuhan jika sekarang mereka mulai mempercayai banyak tuhan? Apa konsep mereka tentang sikap Tuhan terhadap manusia yang berdosa?
Di antara agama-agama, dalam hal ini tampaknya yang paling dekat dengan agama Kristen mungkin agama Hindu, tetapi itu pun hanya sebagian, orang-orang Hindu juga percaya kepada Tuhan Yang Memiliki Keadilan mutlak, yang rasa keadilan-Nya menuntut agar Dia walau bagaimana pun harus menghukum setiap pelaku dosa. Namun persamaan tersebut berakhir di situ. Tidak ada pemaparan konsep Tuhan Anak yang memikul di atas pundaknya seluruh konsekuensi para pendosa di seluruh dunia. Sebaliknya kita mendapati suatu rangkaian kejahatan dan hukuman yang tak berakhir dalam lingkaran reinkarnasi (penitisan kembali) yang tidak putus-putusnya dari ruh ke dalam bentuk hewan. Pengampunan dosa hanya dapat dicapai setelah ruh yang mengalami reinkarnasi berkali-kali itu sudah memperoleh hukuman setimpal dengan jumlah kejahatan yang telah dilakukan selama pengalaman reinkarnasi tersebut berlangsung. Bagi sebagian orang, hal itu mungkin terasa sangat janggal dan aneh, tetapi yang jelas dalam falsafah tersebut terkandung makna-makna keadilan. Dalam pandangan tersebut terdapat suatu keseimbangan dan keselarasan yang sangat serasi dengan konsep keadilan mutlak.
Kita kesampingkan dahulu agama Hindu dan agamaagama lain yang mengajarkan falsafah reinkarnasi dengan segala kerumitannya dalam hal sebab dan akibat. Apa peran pengampunan di pihak Tuhan menurut agama-agama besar maupun kecil yang ada di dunia ini? Tampaknya seluruh agama dan lebih dari satu miliar pengikut agama-agama seperti Hindu, sepenuhnya tidak tahu menahu dan tidak memperoleh keterangan tentang Penebusan Dosa. Hal ini memang sangat membingungkan. Wujud apa lagi yang memiliki hubungan dengan umat manusia di mana pun dalam sejarah agama-agama? Jika bukan Tuhan Bapak, seperti dalam ajaran Kristen, apakah pimpinan seluruh agama di dunia ini, kecuali Yesus Kristus merupakan murid syaitan? Dan di mana Tuhan Bapak saat itu? Mengapa Dia tidak datang untuk menolong ketika sebagian umat manusia lainnya sedang disesatkan oleh syaitan dengan mengatas-namakan-Nya? Atau, apakah mereka, sebagian umat manusia tersebut merupakan ciptaan dari wujud selain Tuhan Bapak? Sekali lagi, mengapa mereka diperlakukan sebagai anak-tiri dan ditinggalkan dalam kekuasaan syaitan yang kejam?
Sekarang marilah kita memusatkan perhatian kita kepada permasalahan ini dengan merujuk kepada pengalaman umum manusia. Dapat ditampilkan bahwa pengampunan dan keadilan adalah seimbang dan dapat duduk berdampingan serta tidak selamanya bertentangan satu sama lain. Kadang-kadang keadilan menuntut supaya pengampunan harus dilakukan dan kadang-kadang menuntut supaya pengampunan tidak diberikan. Jika seorang anak diampuni dan hal itu mendorongnya untuk melakukan kejahatan lebih banyak lagi, maka pengampunan itu sendiri memberikan perlindungan pada kejahatan dan itu bertentangan dengan rasa keadilan. Jika seorang pelaku kejahatan diampuni, hanya untuk membuatnya melakukan aksi-aksi kejahatan lebih banyak lagi dan menimbulkan penderitaan terhadap orang-orang di sekelilingnya, hal itu juga bertentangan dengan asas-asas keadilan dan mirip dengan sikap keji terhadap warga lainnya yang tidak berdosa. Tidak terhitung banyak pelaku kejahatan semacam itu yang terlindungi oleh Penebusan Dosa Yesus. Hal itu sendiri bertentangan dengan keadilan. Namun jika seorang anak bertobat, misalnya, dan sang ibu merasa yakin bahwa kejahatan yang sama tidak akan diulangi kembali, maka menghukum anak tersebut akan bertentangan dengan rasa keadilan. Apabila seorang pelaku tobat merasakan penderitaan, hal itu merupakan suatu hukuman yang dalam beberapa kasus lebih berat dari suatu hukuman yang dijatuhkan dari luar. Orang-orang yang memiliki hati nurani hidup, senantiasa merasakan penderitaan setelah melakukan suatu dosa. Sebagai akibatnya, dampak yang bertumpuk dari keperihan-keperihan hati nurani yang berulang-ulang itu, mencapai suatu titik yang dapat menimbulkan curahan kasih-sayang Tuhan terhadap seorang hamba-Nya yang lemah, bimbang, dan bertobat. Ini adalah pelajaran tentang hubungan antara keadilan dan pengampunan, yang diambil oleh orang-orang berintelektual tinggi maupun oleh orang-orang yang memiliki pemahaman biasa, dari suatu pengalaman universal manusia.
Ini merupakan masa puncak bahwa orang-orang Kristen terbangun dari kondisi tidur mereka dalam menerima dogma Kristen tanpa pernah mempertanyakan kebijakan yang terkandung dalamnya. Jika mereka memeriksa kembali ajaran Kristen berdasarkan akal sehat saja dan daya nalar, mereka dapat saja tetap menjadi orang-orang Kristen yang menerapkan [agama] dengan baik, tetapi dengan tipe yang berbeda dan lebih realistis. Mereka akan mempercayai kenyataan Kristus sebagai manusia, dengan kecintaan dan dedikasi yang lebih dalam dan lebih besar dibandingkan Kristus yang semata-mata merupakan khayalan imajinasi mereka dan tidak lebih nyata dari kisah khayalan belaka. Keagungan Yesus tidak terletak pada legendanya, tetapi pada pengorbanan besar yang dilakukan Yesus sebagai manusia dan rasul. Yang dia lakukan adalah suatu pengorbanan yang menyentuh hati lebih kuat dan lebih dalam dibandingkan dengan dongeng seputar kematiannya di tiang salib dan kebangkitannya dari kematian setelah melewati beberapa jam yang mengerikan dalam neraka.
Yesus Tidak Mungkin Dapat Menebus Dosa
Selain itu, bagaimana mungkin Yesus dilahirkan dalam keadaan tidak berdosa sedangkan dia memiliki ibu manusia? Jika dosa Adam dan Hawa telah mencemari seluruh keturunan pasangan yang malang itu, maka sebagai dampak alamiahnya seluruh anak laki-laki dan perempuan harus mewarisi kecenderungan genetika terhadap dosa. Kaum wanita barangkali lebih cenderung dalam hal itu, sebab Hawa-lah yang telah menjadi alat syaitan untuk memperdayai Adam. Oleh sebab itu tanggung jawab dosa jatuh sepenuhnya pada pundak Hawa, dibandingkan Adam. Dalam kasus kelahiran Yesus, jelaslah bahwa seorang anak perempuan Hawa (Maryam) yang memainkan peranan besar. Pertanyaan yang timbul dengan sangat kuat adalah, apakah Yesus mewarisi gen pembawa kromosom dari ibunya yang manusia itu atau tidak? Jika ya, maka tidak mungkin baginya melarikan diri dari dosa warisan yang tak terelakkan itu. Jika dia tidak mewarisi kromosom dari ibunya atau dari Tuhan Bapak, maka tentu kelahirannya itu menjadi keajaiban dua kali lipat. Hanya suatu keajaibanlah yang dapat menciptakan seorang anak yang bukan berasal dari bapaknya maupun dari ibunya. Hal yang masih tidak dapat dimengerti adalah mengapa kromosom-kromosom yang diberikan oleh Hawa tidak membawa kecenderungan fitrati terhadap dosa bagi si bayi Yesus? Andaikan hal itu terjadi, dan Yesus memiliki kondisi yang suci dari dosa yang dibutuhkan untuk memikul dosa-dosa umat manusia, dalam keadaan mereka mempercayai Yesus dan bukan sebaliknya, maka masalah lain akan muncul: "Seseorang dapat saja bertanya, bagaimana nasib anak keturunan Adam dan Hawa yang telah mati sebelum kebangkitan Kristen? Miliaran jumlah mereka yang telah tersebar di seluruh dunia, di lima benua, generasi demi generasi. Mereka telah hidup dan mati tanpa memiliki harapan ataupun kemungkinan pernah mendengar tentang Kristus, Juru Selamat mereka yang belum lahir saat itu. Pada kenyataannya seluruh umat manusia antara Adam dan Kristus tampaknya benar-benar telah mengalami malapetaka abadi. Mengapa kepada mereka tidak pernah diberikan peluang yang kecil sekali pun untuk memperoleh pengampunan? Akankah kepada mereka diberikan ampunan berlaku surut oleh Yesus Kristus? Jika benar demikian, mengapa?
Pada bagian-bagian lain dunia ini, yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tanah Judea yang kecil itu, terdapat orang-orang yang tidak pernah mendengar tentang Kristen bahkan selama masa hidup Yesus Kristus, bagaimana nasib mereka? Mereka tidak pernah dan tidak memperoleh kemampuan untuk mempercayai kedudukan Yesus Kristus sebagai "Anak Tuhan." Apakah dosa-dosa mereka tidak diampuni, ataukah mereka akan diampuni? Jika mereka tidak diampuni, apa alasannya? Jika mereka dihukum, sekali lagi atas dasar logika apa? Peluang apa pula yang mereka miliki? Mereka benar-benar tidak berdaya. Sungguh-sungguh ini merupakan suatu rasa keadilan mutlak yang sangat menyimpang!
Pengorbanan yang Tidak Diinginkan
Sekarang marilah kita beralih pada peristiwa Penyaliban itu sendiri. Di sini kita dihadapkan pada dilema lain yang tidak terpecahkan. Yesus, sebagaimana berkali-kali diberitahukan kepada kita, mempersembahkan dirinya secara sukarela kepada Tuhan Bapak dan dijadikan sebagai tumbal bagi dosa-dosa seluruh umat manusia, yang tentunya diperuntukkan buat mereka yang mempercayai Yesus. Namun, ketika waktu pengabulan keinginannya .itu sudah mendekat dan akhirnya kilauan harapan bagi umat manusia yang penuh dosa mulai tampil bagai fajar di pagi hari, sebagaimana kita beralih kepada Yesus mengharapkan dapat menyaksikan kesenangan, kegembiraan dan kenikmatan yang dia rasakan pada detik yang sangat penting dalam sejarah umat manusia itu, betapa mendalamnya kekecewaan dan kebingungan kita. Bukannya kita mendapatkan seorang Yesus yang tidak sabar menanti saat sorak-sorai kegirangan, justru yang kita saksikan adalah seorang Yesus yang merintih, menangis, berdoa, dan memohon kepada Tuhan Bapak untuk menjauhkan cawan pahit kematian itu darinya. Dia benar-benar mengecam seorang muridnya ketika dia mendapatkan muridnya itu tertidur setelah mengalami suatu lari yang panjang dan penderitaan sepanjang malam yang gelap-gulita sehingga tidak memperhatikan Yesus, junjungan sucinya. Keterangan Bible tentang peristiwa tersebut adalah sebagai berikut:
Maka sampailah Yesus bersama-sama muridnya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. Lalu ia berkata kepada murid-muridnya: "Duduklah di sini, sementara aku pergi ke sana untuk berdoa." Dan ia membawa Petrus dan kedua anak Zebedeus sertanya. Maka mulailah ia merasa sedih dan gentar, lalu katanya kepada mereka: "Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya." Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan aku." Maka ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, katanya: "Ya Bapaku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini berlalu dari padaku, tetapi janganlah seperti yang kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." Setelah itu ia kembali kepada murid-muridnya itu dan mendapati mereka sedang tidur. Dan dia berkata kepada Petrus: "Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan aku? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam percobaan: ruh memang penurut, tetapi daging lemah." Lalu ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, katanya: "Ya Bapaku, jikalau cawan ini tidak mungkin berlalu, kecuali apabila aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!" Dan ketika ia kembali pula, ia mendapati mereka sedang tidur, sebab mata mereka sudah berat. Ia membiarkan mereka disitu lalu pergi dan berdoa untuk ketiga kalinya dan mengucapkan doa yang itu juga. (Matius 26:36-43)
Demikianlah, seperti yang diungkapkan sendiri oleh cerita Kristen, doa-doa dan permohonan Yesus maupun murid-muridnya tidak dikabulkan oleh Tuhan Bapak, dan mau tidak mau, walaupun Yesus mengungkapkan pernyataannya yang kuat, dia akhirnya telah disalibkan. Apakah dia orang yang sama, pangeran tak berdosa yang sama, dan tokoh suri tauladan pengorbanan yang dengan gagah berani mempersembahkan dirinya secara sukarela untuk memikul beban seluruh dosa umat manusia di atas kedua pundaknya, ataukah dia orang yang lain? Sikapnya, pada saat-saat menjelang penyaliban dan selama peristiwa penyaliban itu sendiri, dengan kuat menebarkan bayangbayang keraguan, mengenai identitas Yesus Kristus maupun mengenai hakikat dongeng yang beredar di seputar dirinya. Namun, tentang itu akan kita bahas belakangan. Sekarang marilah kita kembali pada penelitian cermat yang kita tinggalkan tadi.
Beberapa persoalan lain yang timbul dari jeritan penderitaan terakhir Yesus Kristus adalah sebagai berikut: Siapa yang telah memanjatkan doa-doa yang sangat pedih dan menyentuh itu? Apakah Yesus sebagai manusia, ataukah Yesus sebagai Tuhan Anak?
Jika itu merupakan Yesus sebagai inanusia, yang telah ditinggalkan, maka ditinggalkan oleh siapa? Dan mengapa? Jika kita terima pilihan ini, hal itu akan menjamin bahwa hingga saat terakhir Yesus sebagai manusia memiliki sebuah identitas yang berdiri sendiri, yang dapat berpikir dan merasakan secara bebas dan secara pribadi. Apakah dia mati pada detik terlepasnya ruh Yesus Tuhan Anak dari tubuh manusia yang telah dia duduki? Jika ya, mengapa dan bagaimana? Jika memang demikian dan tubuh manusialah yang telah mati setelah ruh Tuhan meninggalkannya, maka pernyataan yang muncul adalah: Siapa pula yang telah dihidupkan kembali dari kematian ketika ruh Tuhan mendatangi kembali tubuh yang sama beberapa saat kemudian?
Kembali, pilihan ini akan menggiring kita untuk mempercayai bahwa bukanlah Yesus Tuhan Anak yang merasakan penderitaan saat itu, tetapi tokoh Yesus sebagai manusialah yang merintih dalam penderitaan sedemikian rupa, dan dialah yang merasakan penderitaan, sementara Yesus Tuhan Anak menyaksikannya dengan sikap tidak acuh dan tidak peduli sama sekali. Lalu bagaimana dia dapat menggenapi pendawaan bahwa dialah Tuhan Anak yang telah menanggung penderitaan demi umat manusia, bukan tokoh manusia yang berada dalamnya?
Pilihan lain adalah, kita menganggap bahwa Yesus Tuhan Anaklah yang merintih itu, sementara tokoh manusia yang berada dalam dirinya, mungkin berharap dapat memulai suatu kehidupan baru bagi dirinya sendiri, menyaksikan dengan dugaan yang tidak menentu, sepanjang pengorbanan yang dilakukan Yesus Tuhan Anak, maka dia, Yesus sebagai manusia, dia suka atau tidak, juga akan
dibunuh di atas altar rekannya yang tidak berdosa. Rasa keadilan apa yang telah mendorong Tuhan untuk membunuh dua ekor burung dengan batu yang sama, mungkin suatu misteri yang lain lagi.
Jika itu merupakan Yesus Tuhan Anak, dan memang dialah menurut kesepakatan umum gereja-gereja Kristen, maka persoalan kedua yang muncul dari jawaban pertama adalah tentang identitas pihak kedua yang terlibat dalam ucapan Yesus (Matius 26:39,42). Ada dua pilihan yang terbuka bagi kita:
Pertama, Tuhan Anak berbicara kepada Tuhan Bapak, mengeluhkan bahwa dia telah ditinggalkan pada saat dia membutuhkan. Hal ini dengan tidak terelakkan lagi menggiring kita untuk mempercayai bahwa mereka merupakan dua tokoh berbeda yang tidak hidup bersama dalam satu kepribadian yang saling tergabung, yang secara sepadan bersama-sama memiliki semua sifat dan menerapkannya secara beriringan dengan andil yang seimbang. Satu tokoh tampil sebagai wasit agung, pemilik terkuat kekuasaan tertinggi untuk mengambil keputusankeputusan. Yang satu lagi, Tuhan Anak yang malang, tampaknya darinya telah dicabut secara penuh, atau mungkin secara sementara telah dilepaskan hak-hak kepemilikannya terhadap sifat-sifat kuasa yang dimiliki Bapaknya. Hal utama yang tetap harus diperhatikan adalah kenyataan bahwa keinginan dan kemauan-kemauan mereka yang saling bertentangan tampak paling banyak bertabrakan dan berselisih satu sama lain selama babak akhir dari drama penyaliban.
Persoalan kedua adalah, apakah kedua tokoh yang berbeda itu, dengan pemikiran-pemikiran pribadi masingmasing, nilai-nilai pribadi masing-masing, dan kapasitaskapasitas pribadi masing-masing merasakan keperihan dan penderitaan jika mereka merupakan "dua dalam satu" dan "satu dalam dua?" Jadi, persoalan lain menuntut dialog panjang di antara para theolog mengenai kemungkinan bahwa Tuhan mampu merasakan keperihan dan hukuman.
Bahkan walaupun Dia mampu melakukan hal itu, hanya separuh Tuhan yang akan merasakannya, sementara yang separuh lagi (Yesus) tidak mampu melakukan, karena memang sudah demikian strukturnya atau kemutlakan alamiahnya. Sebagaimana kita masuk lebih jauh ke dalam dunia bayangan dari falsafah yang berbelit ini, cahaya mulai semakin redup dan redup, serta kita mendapatkan kebingungan demi kebingungan.
Masalah lain adalah, dengan siapa Kristus berbicara, padahal dia sendiri adalah Tuhan? Ketika dia berbicara kepada Bapaknya, dia sendiri merupakan bagian yang tidak terpisalkan dari sang Bapak, demikianlah yang diberitahukan kepada kita. Jadi, apa yang dia katakan dan kepada siapa? Pertanyaan ini harus dijawab dengan suatu akal sehat yang bebas, tanpa dipaksa oleh dogma. Hal itu menjadi sebuah dogma hanya apabila tidak dapat diuraikan dalam istilahistilah [pemahaman] manusia. Berdasarkan penyataan Bible, ketika Yesus hampir melepaskan nyawanya, dia merintih kepada Tuhan Bapak: "Mengapa Engkau telah meninggalkan aku?" Siapa yang telah meninggalkan, dan siapa yang telah ditinggalkan? Apakah Tuhan telah meninggalkan Tuhan?
Siapa yang Telah Dikorbankan?
Masalah lain yang harus kita catat adalah, tokoh manusia yang ada dalam Yesus tidak dihukum, dan tidak pula dia harus dihukum berdasarkan logika apa pun, sebab dia tidak pernah dihadapkan pada pilihan untuk memikul beban dosa umat manusia. Unsur baru ini, yang masuk dalam perdebatan kita, menggiring kita ke dalam suatu situasi sangat janggal yang tidak kita sadari sebelumnya. Orang terpaksa merasa heran mengenai hubungan tokoh manusia dalam Yesus dengan warisan kecenderungan melakukan dosa, yang berlaku umum bagi seluruh anak keturunan Adam dan Hawa. Paling tidak, seseorang dapat mempercayai bahwa dalam dualisme Tuhan Anak dan tokoh manusia yang menduduki satu tubuh yang sama, hanya Tuhan Anaklah yang suci dari dosa. Namun, bagaimana pula tokoh manusia sekandungan yang hidup dengannya? Apakah dia juga dilahirkan dengan gen dan sifat yang disediakan oleh Tuhan? Jika ya, maka dia harus bersikap- seperti tokoh Tuhan dalam Yesus dan tidak ada alasan yang dapat diterima jika dia lalai dalam berbagai hal, dengan dalih bahwa dia melakukan hal itu sebab dia seorang manusia. Jika tidak ada unsur Tulan dalam dirinya, yakni dalam tokoh manusia pada Yesus, maka kita harus mengakui bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa [bahkan] mungkin separuh manusia. Selain itu, tokoh manusia tersebut yang telah menyatu dalam Yesus, harus tampil sebagai manusia yang mewarisi kecenderungan terhadap dosa. Jika tidak, apa sebabnya?
Jelaslah, tidak ada untungnya mengatakan bahwa sebagai manusia yang secara nyata terpisah dari pasangan Tuhannya, dia tentu telah melakukan dosa secara terpisah dengan seluruh tanggung jawab akan dosa di atas pundaknya sebagai manusia. Skenario ini tidak akan sempurna tanpa memaparkan Yesus Tuhan Anak mengalami kematian; cukup mementingkan diri sendiri tampaknya demi umat manusia tetapi yang menjadi pertimbangan utamanya mungkin demi saudaranya yang separuh itu, yakni tokoh manusia yang ada dalam dirinya.
Semua ini sangat sulit, kalau bukan tidak mungkin, untuk mencernanya secara intelek. Namun, sudut pandang kami tidak menampilkan masalah-masalah seperti itu. Adalah Yesus tokoh manusia yang tidak berdosa di situ — tanpa dualisme dalam dirinya — yang telah melontarkan rintihan keheranan dan penderitaan tersebut.
Dilema yang Dihadapi Yesus
Sekali lagi saya perjelas bahwa bukannya saya tidak percaya kepada Yesus, justru saya memiliki rasa hormat yang mendalam terhadapnya sebagai seorang utusan Tuhan dengan pengorbananpengorbanan yang luar biasa. Saya memahami Yesus sebagai orang suci yang menjalani suatu masa cobaan berat. Namun beriringan dengan mulai terbukanya pengisahan peristiwa penyaliban dan semakin mendekati saat akhirnya, kita tidak memiliki pilihan lain kecuali mempercayai bahwa Yesus tidak mempersembahkan dirinya dengan sukarela untuk menghadapi kematian di tiang salib. Pada malam sebelum musuh-musuhnya bermaksud membunuh beliau melalui penyaliban, kita mendengar bahwa beliau berdoa sepanjang malam, didampingi seluruh muridnya, sebab kebenaran pendawa'an beliau sedang dipertaruhkan. Telah dikatakan dalam Perjanjian Lama bahwa seorang pendusta yang mengaitkan hal-hal tertentu terhadap Tuhan yang Dia sendiri tidak pernah mengatakannya, akan digantung di sebuah tiang dan dengan itu menjalani kematian yang terkutuk:
Namun seorang nabi yang menganggap dirinya mengucapkan atas nama-Ku sesuatu yang tidak pemah Aku perintahkan kepadanya untuk diucapkan, atau seorang nabi yang berbicara atas nama tuhan-tuhan lain, harus dihukum mati. (lihat Ulangan 18:20).
"Apabila seseorang berbuat dosa yang sepadan dengan hukuman mati, lalu ia dihukum mati, kemudian kau gantung dia pada sebuah tiang, maka janganlah mayatnya dibiarkan semalam-malaman pada tiang itu, tetapi haruslah engkau mengubur dia pada hari itu juga, sebab seorang yang digantung terkutuk oleh Allah. (Ulangan 21:22,23).
Yesus mengetahui, jika hal ini terjadi, orang-orang Yahudi akan merayakannya dengan gembira dan menyatakan dirinya seorang pendusta yang kepalsuannya telah terbukti secara jelas berdasarkan kitab-kitab samawi. Inilah sebabnya mengapa dia .sangat gelisah untuk menyelamatkan diri dari cawan kematian yang pahit; bukan karena pengecut tetapi karena takut bahwa umatnya akan terkecoh dan gagal mengenali kebenarannya apabila dia mati di atas salib. Sepanjang malam dia berdoa dengan begitu memilukan dan begitu tidak berdayanya, sehingga dengan membaca tentang penderitaan dan kesengsaraannya itu, hati jadi tersaya-sayat. Namun pada saat drama kehidupan nyata itu mendekati saat kehidupan terakhirnya, puncak ketegangan emosinya, kekecewaan dan ketidakberdayaannya secara penuh telah ditampilkan dalam rintihannya yang terakhir: "Eli, Eli, lamma sabaktani? " yang artinya, "Tuhan-ku, Tuhan-ku, mengapa Engkau telah meninggalkan aku?"1
Hendaknya dicatat bahwa bukan penderitaan saja yang tergambar dalam rintihan itu, tetapi jelas di situ tercampur unsur keterkejutan, mendekati kengerian. Setelah dia disadarkan kembali atas bantuan beberapa murid setianya yang membubuhkan suatu salep terhadap luka-lukanya — yang telah mereka persiapkan sebelum penyaliban dan yang mengandung ramuan-ramuan yang diperlukan untuk mengurangi rasa sakit serta menyembuhkan luka-luka — dengan sangat luar biasa serta gembira, dia kagum dan keimanannya terhadap Tuhan yang sangat dicintai menjadi bangkit serta hidup kembali dalam suatu corak yang jarang dialami manusia dalam hal kehebatan dan ketidakterbatasannya. Kenyataan bahwa salep itu telah dipersiapkan secepatnya, menunjukkan suatu bukti kuat bahwa murid-murid Yesus memang memiliki harapan bahwa dia diturunkan dari tiang salib dalam keadaan hidup, sehingga sangat membutuhkan pengobatan.
Dari hal di atas jadi sangat jelas bahwa konsep-konsep Dosa Warisan dan Penyaliban hanyalah berlandaskan pada dugaan dan khayalan para theolog Kristen pada masa belakangan. Sangat mungkin bahwa hal-hal itu muncul dari beberapa dongeng sebelum Kristen yang memiliki sifat sama, yang ketika diterapkan pada kondisi-kondisi Yesus Kristus, menarik mereka untuk mendapatkan persamaan-persamaan yang dekat antara keduanya dan menciptakan sebuah dongeng yang serupa. Ringkasnya, apa pun misteri (hal yang belum terbuka) dan paradoks (hal yang ber lawanan dengan asas) yang ada, seperti yang kita saksikan, sebegitu jauh tidak ada bukti bahwa falsafah Kristen tentang Dosa dan Penebusan Dosa itu berlandaskan pada sesuatu yang telah dikatakan atau telah dilakukan atau telah dipikirkan oleh Yesus. Dia tidak pernah mengajarkan hal yang sangat bertentangan itu, dan yang jelas-jelas melawan akal manusia.
Matius 27:46
Apakah Tuhan Bapak Juga Menderita?
Memperhatikan sifat Tuhan Anak, kita tidak dapat mempercayai bahwa dia.telah dicampakkan ke dalam api neraka, sebab hal itu akan berarti suatu pertentangan dalam dirinya sendiri. Kembali pada konsep dasar kekristenan, kita melihat bahwa telah dikatakan, Tuhan dan Tuhan Anak merupakan dua tokoh tetapi memiliki sifat dan zat yang sama. Tidak mungkin satu tokoh mengalami suatu peristiwa sedangkan yang satu lagi tidak mengalaminya. Bagaimana kita dapat mempercayai bahwa satu segi dari Tuhan, yakni Tuhan Anak, telah mengalami penyiksaan, sementara Tuhan Bapak tetap tidak cedera? Jika Dia tidak mengalami penderitaan, hal itu sama dengan terbelahnya Keesaan Tuhan (Tauhid). Konsep Tiga dalam Satu (Trinitas) lebih tidak dapat dibayangkan lagi, sebab pengalaman-pengalaman yang dilalui oleh masing-masing unsur dalam Trinitas tersebut begitu. berbeda dan jauh satu sama lain, sehingga tidaklah mungkin bagi satu tuhan untuk berada dalam api neraka yang menyala-nyala dan pada saat yang sama tuhan yang satu lagi benar-benar jauh dan tidak tersentuh oleh api tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi umat Kristen zaman sekarang kecuali mengorbankan Keesaan Tuhan dan mempercayai tiga tuhan yang berbeda — seperti para penyembah berhala sebelum zaman Kristen, misalnya orang-orang Romawi dan Yunani -atau tetap jujur terhadap diri mereka sendiri dan percaya bahwa Tuhan adalah satu, dan dua segi yang dimiliki Tuhan tidak dapat mengalami kondisikondisi yang saling bertentangan. Apabila seorang anak mengalami penderitaan, tidak mungkin bagi ibu untuk tetap diam dan tenang. Dia pasti menderita juga, kadang-kadang lebih menderita dari si anak. Apa yang terjadi pada Tuhan Bapak ketika Dia membuat Anak-Nya mengalami penderitaan selama tiga hari di neraka? Apa yang telah terjadi pada Tuhan Anak? Apakah Dia telah dipecah menjadi dua person dengan dua bentuk dan substansi [yang berbeda]? Satu person mengalami penderitaan di neraka sedangkan yang satu lagi benar-benar berada di luar, sama sekali tidak mengalami penderitaan? Apabila Tuhan Bapak menderita lalu apa perlunya menciptakan anak? Jadi ini adalah pertanyaan yang langsung. Mengapa tidak Dia tanggung sendiri penderitaan itu? Mengapa Dia harus membuat sebuah rencana sulit seperti itu untuk memecahkan masalah pengampunan?
Azab Neraka
Berikut ini, persoalan neraka, yang menurut doktrin Kristen, Yesus telah ditahan dalamnya, harus diteliti lebih cermat. Neraka jenis apa itu, apakah sama dengan neraka yang kita baca di Perjanjian Baru, yang mengatakan:
"Anak Manusia akan menyuruh malaikat-malaikat-Nya untuk mengumpulkan segala sesuatu yang menyesatkan dan semua orang yang melakukan kejahatan di Kerajaan-Nya. Semuanya akan dicampakkan ke dalam dapur api; di sanalah akan ada ratapan dan hentakan gigi. (Matius 13:41-42).
Sebelum kita maju lebih lanjut, harus dipahami dengan jelas apa yang dimaksud oleh Perjanjian Baru dengan azab api atau azab neraka. Apakah itu api yang membakar ruh ataukah api lahiriah yang membakar tubuh sehingga dengan demikian api itu menyiksa ruh? Apakah orang-orang Kristen percaya bahwa sesudah mati kita akan kembali ke tubuh semula yang telah ditinggalkan ruh untuk hancur menjadi tanah dan debu, atau akankah diciptakan suatu tubuh baru untuk masing-masing ruh dan apakah orang yang dibangkitkan kembali itu akan mengalami semacam reinkarnasi?
Jika itu merupakan api lahiriah dan suatu azab badaniah, maka orang terpaksa menarik imajinasinya sampai ke batas akhir untuk membayangkan apa yang mungkin telah terjadi dalam kasus Yesus Kristus. Sebelum Yesus dijerumuskan ke dalam api, apakah ruhnya telah dimasukkan kembali ke dalam tubuh manusia yang telah Yesus tumpangi terus sepanjang hidupnya di bumi, atau apakah Yesus dengan cara tertentu telah dipindahkan ke dalam suatu tubuh samawi? Jika kasusnya adalah tubuh samawi, maka tubuh samawi tersebut tidak dapat disentuh oleh api lahiriah neraka untuk dihukum, diazab ataupun dihancurkan. Sebaliknya jika kita menerima skenario bahwa tubuh manusia yang Yesus diami itulah yang akan dibentuk kembali bagi Yesus untuk menjadi semacam medium/sarana guna merasakan azab neraka, maka orang tidak dapat luput mencatat suatu serangan lain yang dilakukan terhadap asas keadilan Ilahi. Sungguh malang si manusia itu, pertama-tama dirinya telah dibajak sepanjang hidupnya oleh suatu ruh asing, tetapi kemudian sebagai imbalan dari sikapnya yang mau menampung ruh asing tersebut yang dipaksakan kepadanya, dia akan dibakar dalam neraka demi suatu kejahatan yang tidak dia lakukan. Pahala atas pengorbanannya itu telah dikuasai sepenuhnya oleh si penumpang asing yang bernaung dalam dirinya. Sekali lagi, bagaimana nasib ruh si manusia itu? Barangkali dia tidak punya suatu ruh miliknya sendiri. Jika dia tidak punya, maka manusia yang ada dalam Yesus dan Tuhan yang ada dalam Yesus seharusnya satu dan merupakan tokoh yang sama; sedangkan dalil yang mengatakan bahwa Yesus kadangkadang bersikap atas dorongan-dorongan nurani manusianya dan kadang-kadang atas kehendak Ilahi, telah gugur. Satusatunya konsep yang dapat diterima oleh akal adalah, satu ruh dan satu tubuh adalah sama dengan satu orang/tokoh. Dua ruh dan satu tubuh adalah suatu pemikiran aneh yang hanya dapat dipaparkan oleh orang-orang yang percaya bahwa manusia dapat ditumpangi/dirasuki oleh hantu-hantu atau makhluk-makhluk sejenisnya.
Pengorbanan dan Kebahagiaan Ruhani
Jika pilihan kedua lebih dapat diterima oleh para theolog Kristen – yakni menganggap bahwa hanya ruh Yesuslah yang telah masuk ke dalam neraka dan nerakanya pun adalah neraka ruhani – maka tampaknya tidak ada alasan mengapa kita harus menolak gagasan ini sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Akan tetapi neraka ruhani hanya tercipta melalui keperihan-keperihan hati nurani atau rasa bersalah. Dalam kasus Yesus Kristus, tidak satu pun yang dapat diterapkan. Jika anda mendapat hukuman atas kejahatan orang lain, anda sebagai orang yang tidak bersalah, di situ bukanlah keperihan-keperihan hati nurani yang diberlakukan, melainkan sebaliknya. Ruh orang seperti itu akan bergetar dengan suatu rasa mulia dan pengorbanan diri, yang akan sama dengan surga ruhani, bukannya neraka.
Sekarang kita kembali kepada permasalahan tubuh yang telah ditumpangi oleh Yesus dan tentang makna mati dalam kaitan dengan tubuh tersebut serta mengenai makna kehidupan/ kebangkitan kembali dalam konteks yang sama. Menurut pengetahuan kita, tubuh Yesus Kristus merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dalam kedudukan Yesus sebagai Anak Tuhan. Jika tidak, dia tidak akan memiliki landasan titik-temu bagi sisi ketuhanannya dan sisi kemanusiaannya untuk berpadu serta memainkan peranperan yang benar-benar berbeda dalam kondisi-kondisi tertentu. Kadang-kadang kita menyaksikan sisi manusialah yang memegang kendali yang menggambarkan bahwa dia memiliki suatu ruh tersendiri bagi dirinya. Dan kadangkadang kita menyaksikan sisi Tuhanlah yang menegaskan keberadaannya dan mengendalikan kemampuan--kemampuan otak serta kalbu si manusia itu. Sekali lagi kami menekankan bahwa hal itu hanya dapat terjadi apabila terdapat dua tokoh berbeda terikat dalam satu wujud.
Makna Kematian dalam Kaitan dengan Kristus
Setelah memahami dengan jelas pilihan-pilihan yang berbeda mengenai peran-peran berkaitan yang dimainkan oleh tokoh Tuhan dan tokoh manusia dalam wujud Yesus, kami mencoba memahami penerapan kata "mati" dan seluruh maknanya yang berkaitan dengan Yesus.
Jika dia mati selama tiga hari tiga malam maka dalam hal itu kematian harus dipahami dalam makna bahwa ruh telah dipisahkan dari tubuh, dan ruh meninggalkannya. Hal itu berarti ruh harus meninggalkan tubuh dan memutuskan hubungannya secara penuh sehingga yang tertinggal hanyalah jasad yang tak bemyawa. Sejauh ini masih bagus. Yesus akhimya telah dibebaskan dari kurungan dalam tubuh lahiriah seorang manusia. Pembebasan dari kurungan ini seharusnya tidak dianggap sebagai suatu hukuman sama sekali. Kembalinya ruh Ilahiah Tuhan Anak ke dalam perwujudan mulia yang sama, dalam bentuk apa pun tidak dapat diperlakukan seperti kematian manusia biasa. Kematian manusia menakutkan bukanlah karena ruh meninggalkan tubuh dan memutuskan hubunganhubungannya dengan memperoleh suatu kesadaran baru, tetapi rasa takut tentang kematian pada dasarnya karena terputusnya secara permanen hubungan-hubungan seseorang dengan banyak orang yang dia cintai yang tertinggal di dunia ini, serta meninggalkan hartanya dan berbagai hal yang dia cintai. Seringkali terjadi bahwa seorang manusia yang tidak memiliki apa-apa untuk hidup memilih lebih baik mati daripada menjalani suatu kehidupan yang hampa.
Dalam kasus Yesus, rasa penyesalan mendalam tidak tampil. Baginya jendela-kematian telah terbuka hanya pada satu arah, yakni berupa keuntungan dan bukan kerugian. Mengapa perpisahannya dari tubuh itu dianggap sebagai suatu hal yang sangat menyedihkan dan sebagai peristiwa yang menyengsarakan? Kembali, jika sekali dia mati dan secara hakiki, tidak secara kiasan, melepaskan nyawa, sebagaimana yang diinginkan orang-orang Kristen agar kami mempercayainya, maka kembalinya dia ke dalam tubuh yang sama adalah suatu langkah yang paling tidak bijaksana yang diterapkan kepada Yesus. Apakah dia dilahirkan lagi ketika dia kembali pada tubuh yang telah dia tinggalkan saat kematian? Jika proses ini akan dinyatakan sebagai hidupnya kembali atau kebangkitan kembali bagi Yesus, maka tubuh pun harus diabadikan juga. Namun, yang kami baca dalam Bible adalah suatu kisah yang benar-benar berbeda. Menurut kisah itu, Yesus telah dibangkitkan kembali dari kematian dengan cara memasuki tubuh yang dengannya dia telah disalibkan, dan itulah yang disebut sebagai kembalinya Yesus memperoleh kehidupan. Dengan demikian, apa artinya langkah Yesus untuk meninggalkan tubuh itu sekali lagi? Tidakkah hal itu akan sama dengan kematian kedua?
Jika perpisahan pertama dari tubuh itu merupakan kematian, sudah pasti yang kedua kalinya dia diyakini telah meninggalkan tubuh manusia, maka seharusnya dia dinyatakan telah mengalami kematian abadi. Ketika ruh meninggalkan tubuh untuk pertama kalinya, anda namakan hal itu kematian; ketika ruh kembali kepada tubuh semula, anda namakan hal itu kehidupan sesudah mati. Namun akan anda namakan apa ketika ruh sekali lagi meninggalkan tubuh yang sama dan tidak pemah kembali lagi — akankah hal itu dinamakan kematian abadi ataukah kehidupan abadi menurut istilah Kristen? Hal itu pasti merupakan kematian abadi dan tidak lebih dari itu. Hal itu merupakan pertentangan di atas pertentangan. Sungguh merupakan suatu peristiwa yang sangat mengerikan!
Jika dinyatakan bahwa tubuh tersebut tidak ditinggalkan pada kali yang kedua, maka kita mendapatkan suatu skenario aneh di dalamnya Tuhan Bapak tampil sebagai suatu wujud ruhani non badaniah yang tidak terbatas, sementara Tuhan Anak terperangkap dalam batas-batas sempit wujud yang tidak abadi.
Penderitaan Terbatas untuk Dosa Tak Terbatas
Dapat dinyatakan, tidak selamanya hanya penderitaanpenderitaan hati nurani saja yang menimbulkan suatu kondisi menyedihkan dalam pikiran dan kalbu orang-orang yang peka terhadap kesalahan-kesalahan mereka. Pada sisi lain, rasa simpati mendalam terhadap penderitaanpenderitaan orang lain juga dapat menimbulkan suatu keperihan seumur hidup bagi seseorang yang bersih dari kejahatan secara penuh maupun sebagian, tetapi memiliki penderitaan dengan nilai ruhani yang luhur demi orang-orang lain. Hal itu juga dapat membentuk suatu neraka yang setara. Ibu-ibu mengalami penderitaan untuk anak-anak mereka yang sakit. Pengalaman manusia memberikan kesaksian tentang fakta bahwa kadang-kadang demi seorang anak yang cacat secara permanen, maka seluruh kehidupan sang ibu berubah menjadi suatu neraka yang nyata. Jadi, mengapa kita tidak dapat akui bagi Yesus kemampuan mulia untuk menanggung penderitaan demi orang-orang lain? Mengapa tidak. Namun, mengapa hanya tiga hari tiga malam saja? Mengapa tidak selama perjalanan sementaranya di dunia, dan bahkan sebelum serta sesudah itu? Orang-orang yang mulia tidak hanya mengalami penderitaan secara sementara dalam suatu jangka waktu maupun hari yang terbatas. Kalbu-kalbu mereka tidak tenteram kecuali mereka menyaksikan bahwa kesengsaraan itu telah dihapuskan atau dilenyapkan secara menyeluruh. Neraka yang kita bicarakan ini bukanlah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh seorang suci tidak berdosa; hal itu merupakan suatu nilai luhur yang pada batas-batas tertentu juga dimiliki oleh binatangbinatang buas di hutan belantara demi sesama mereka.
Setelah beberapa uraian lagi saya akan menyudahi masalah ini, tetapi saya memiliki satu hal penting lainnya yang akan saya singgung secara ringkas. Hukuman yang telah ditentukan oleh Tuhan bagi Yesus Kristus hanya berlangsung tiga hari tiga malam, sedangkan para pelaku dosa yang untuk mereka Yesus telah dihukum, telah melakukan dosa-dosa yang begitu mengerikan dan sekian lama, menurut Bible, hukuman bagi mereka adalah penderitaan abadi dalam neraka. Jadi, Tuhan adil yang bagaimana Allah itu, yakni ketika tiba saat hukuman bagi ciptaan-ciptaan-Nya, orang-orang yang bukan anak laki-laki atau anak perempuan-Nya, mereka dihukum secara abadi? Namun ketika tiba saat hukuman bagi Anak-Nya sendiri, demi dosa-dosa yang secara sukarela telah dia pikul, tiba-tiba saja hukuman itu dikurangi. Hanya tiga hari tiga malam. Tidak sebanding sama sekali. Jika ini yang dinamakan keadilan, maka tidak perlu ada keadilan. Bagaimana Tuhan memandang perilaku umat manusia, yang telah Dia ciptakan melalui tangan kanan-Nya sendiri, jika mereka menerapkan keadilan seperti yang mereka pelajari dari Tuhan dengan cara memberlakukan ukuran yang berbeda bagi anak-anak mereka sendiri sedangkan bagi orang-orang lain ukurannya lain lagi? Apakah Tuhan Bapak memandang penjiplakan yang sangat setia itu dengan rasa senang atau rasa ngeri? Memang sangat sulit untuk menjawabnya.

Perubahan Apa yang Ditimbulkan oleh Penebusan Dosa?
Sejauh yang berkaitan dengan dampak penyaliban Yesus Kristus dalam kaitannya dengan hukuman terhadap dosa, kami telah buktikan bahwa keimanan terhadap Yesus Kristus tidak mengurangi hukuman terhadap dosa dalam bentuk apa pun, yang telah ditetapkan oleh Tuhan untuk Adam dan Hawa serta anak keturunan mereka. Semua ibu masih melahirkan anak mereka dengan rasa sakit dan kaum pria masih mencari nafkah dengan kerja keras. Kita dapat tinjau hal ini dari sudut lain, yakni suatu perbandingan luas antara dunia Kristen dan bukan Kristen sejak zaman Yesus Kristus. Tidak seorang pun dari kalangan orang yang mempercayai Yesus dapat menunjukkan suatu perubahan nyata, dalam periode sejarah mana pun, yakni berupa kenyataan bahwa kaum wanita mereka melahirkan anak-anak mereka tanpa rasa sakit dan kaum pria mereka mencari nafkah tanpa kerja keras. Mereka tidak menampakkan perbedaan apa pun dalam hal ini jika dibandingkan dengan dunia bukan Kristen.
Sejauh yang berkaitan dengan kecondongan untuk melakukan dosa, dunia orang-orang yang mengimani Kristus dibandingkan dengan dunia orang-orang yang tidak mengimani beliau, tidak membuktikan bahwa takdir untuk melakukan dosa telah dihapuskan secara menyeluruh di kalangan orang-orang yang masuk dalam kategori beriman pada Yesus Kristus. Sebagai tambahan, orang menjadi heran mengapa beriman kepada Tuhan telah dianggap begitu rendah derajatnya dibandingkan beriman kepada Anak-Nya. Hal itu masih relevan khususnya pada zaman sebelum terbukanya bagi umat manusia rahasia kuno yang disimpan erat-erat selama berabad-abad itu (bahwa Tuhan memiliki seorang Anak). Banyak orang yang percaya kepada Tuhan dan keesaan-Nya. Demikian pula tidak terhitung banyaknya orang yang lahir di setiap agama dan negeri di bumi ini sejak masa Kristus, yang percaya kepada Tuhan dan keesaan-Nya. Mengapa kepercayaan terhadap Tuhan tidak memberikan pengaruh apa pun pada kejahatan manusia dan hukumannya? Sekali lagi mengapa Tuhan Bapak tidak dapat memperlihatkan kemuliaan berupa penderitaan demi para pelaku dosa, seperti yang telah ditampakkan oleh anaknya yang lebih mulia? Tampaknya Tuhan Anak sudah barang tentu memiliki nilai-nilai akhlak lebih tinggi (na'udzubillah – kita berlindung kepada Allah) daripada Bapaknya yang kurang beradab. Orang dapat saja bertanya, apakah kedudukan Tuhan sedang mengalami perubahan dan masih dalam proses menuju kesempurnaan?
3. Peran Ruhul Kudus
Sejauh ini kita telah memperbincangkan masalah Yesus yang dikatakan sebagai "Anak" dan juga tentang "Tuhan" yang telah dianggap sebagai bapak hakiki bagi Yesus. Selain itu ada person ketiga bernama "Ruhul Kudus" yang, menurut dogma Kristen, kendatipun memiliki suatu kepribadian individu tersendiri, masih menyatu dan berbaur secara sempurna dan abadi sedemikian rupa dengan Tuhan Bapak serta Tuhan Anak sehingga keterpaduan mereka menciptakan kemanunggalan dalam tiga. Sekarang kita alihkan perhatian kepada permasalahan ini, dengan meneliti apakah Ruhul Kudus memiliki satu kepribadian terpisah dari Tuhan, maupun Yesus, ataukah mereka berkongsi memiliki satu kepribadian yang sama? Kepribadian di sini dapat dinyatakan sebagai puncak kesadaran, dalam analisa mutakhir, adalah suatu hal yang tidak dapat dibagi-bagi dan merupakan sesuatu yang khusus bagi masing-masing individu. Puncak kesadaran wujud-wujud seseorang ini, yang berbeda dari lainnya, menampilkan "saya," dan "punya saya" serta "milik saya" sebagai bandingan bagi "dia" dan "milik dia," serta "anda" dan "milik anda."
Memperhatikan ketiga unsur Ketuhanan, kita harus memutuskan apakah ketiga unsur tersebut memiliki kepribadian masing-masing atau tidak. Jika mereka tidak memiliki kepribadian terpisah, maka menyatakan mereka sebagai tokoh-tokoh [yang berbeda] tidak terbayangkan. Setiap orang/tokoh, betapa pun dekatnya dia dengan yang lain, harus memiliki kesadaran individu yang terpisah mengenai dirinya.
Sikap resmi segenap gereja sangat jelas dan tegas sekali, menyatakan bahwa masing-masing dari ketiga oknum Tuhan memiliki kepribadian berbeda. Jadi, tidak sekedar "Tiga dalam Satu" melainkan lebih tepat [disebut] Tiga Kepribadian dalam Satu Pribadi. Pengalaman pahit yang dihadapi Yesus terhadap kematian dan segenap dampak mutlaknya, seharusnya dirasakan secara merata oleh Ruhul Kudus. Dengan demikian, dia juga seharusnya terlibat dalam pengorbanan bersama Yesus. Lalu, dia seharusnya telah mengalami pedihnya neraka bersamaan dengan Yesus dan Tuhan Bapak. Jika tidak, seseorang tidak dapat menghindarkan diri dari gambaran kesimpulan yang tak terelakkan lagi, bahwa bukan saja mereka itu merupakan Tiga Oknum yang berbeda dan berlainan, melainkan perasaan indera mereka yang menghubungkan kepala dan kalbu yang berbeda, terpisah dan membatasi mereka satu sama lain.
Dalam upaya melanjutkan gambaran kita tentang Trinitas, kita harus membayangkan kenyataan Tiga Oknum yang bergabung bersama atau yang tampil sebagai suatu kesatuan abadi. Sejauh ini kita tidak melihat bagaimana mereka dapat menyatu dalam perasaan-perasaan mereka dan dalam proses-proses pemikiran.
Oleh karena itu, satu-satunya pilihan yang tersisa adalah suatu gabungan dalam tubuh. Hal itu mengingatkan kita pada sekala yang berbeda tentang monster berkepala banyak yang telah tampil dalam mitologi kuno Yunani, yaitu makhluk yang memiliki banyak kepala dan akan tumbuh kembali bila dipancung. Memang benar, manusia tidak dapat memahami sifat Tuhan yang sebenarnya dan bagaimana sifat-sifat-Nya itu berfungsi satu sama lain, tetapi sangat mudah dan sederhana untuk mempercayai satu wujud tunggal tanpa rincian bagian-bagian yang berkaitan dengan fungsi-fungsi tertentu yang telah menjadi sifatnya dan yang telah ditentukan, misalnya kepala, hati, ginjal dan sebagainya. Namun skenario demikian dan perasaanperasaan yang terpisah, sangat jelas bertentangan dengan skenario satu wujud tunggal yang telah diuraikan di atas. Hal itu menciptakan suatu gambaran Tuhan yang sudah sulit untuk dipercayai dan diterima oleh manusia, banyak yang menjalani hidup panjang dengan dogma Kristen tanpa mempertanyakan dan menutup mata mereka dari pelanggaranpelanggaran nyata terhadap intelektualitas manusia seperti itu, yang sebenamya telah diciptakan sendiri oleh Tuhan.
Peran Ruhul Kudus dalam Penciptaan
Kita tidak melihat peran apa pun yang dimainkan oleh Ruhul Kudus ataupun Yesus Kristus dalam rencana Ilahi tentang penciptaan.
"Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi." (Kejadian 1:1)
Nyatalah, hanya Tuhan Bapak yang telah disinggung dalam Perjanjian Lama, tanpa menyinggung Kristus atau Ruhul Kudus sedikitpun. Selama zaman sebelum Kristus, di kalangan segenap bangsa Yahudi yang mengimani Perjanjian Lama dan tentu mereka telah mendengar ayat ini ratusan ribu kali, masa itu tidak ada seorang pun yang membaca nama Kristus atau Ruhul Kudus dalam kisah penciptaan alam raya. Dalam Injilnya, Yahya menyebut "Firman" sebagai isyarat kepada Yesus. Sangat aneh bahwa suatu masalah yang sangat penting seperti itu hanya disinggung oleh satu orang penulis Injil saja,. yaitu seseorang yang bahkan bukan murid Yesus.1 Jika seseorang menerima firman sebagai firman Tuhan, tetapi dapat dipahami bahwa hal itu hanya berarti Kehendak Tuhan. Ini adalah konsep yang umum di kalangan mayoritas agama berkaitan dengan Penciptaan.
Anehnya, rahasia yang berabad-abad lamanya itu tentang keikutsertaan Kristus dan Ruhul Kudus dalam Penciptaan, tetap terselubung sebagai suatu rahasia yang hanya diketahui oleh Yesus sendiri. Kita tidak menemukan satu pernyataan pun dari Yesus Kristus yang berisikan pendawaannya sebagai “Firman.”
Oleh karena itu, Yesus maupun Ruhul Kudus tidak memiliki peran apa pun dalam pembentukan dan proses penciptaan. Sekali lagi, Tuhan Bapak sendirilah sebagaimana telah diberitahukan kepada kita, yang telah membentuk manusia dari tanah dengan tangan-tangan-Nya sendiri. Saya tidak pernah membaca di mana pun pada tulisan-tulisan Kristen bahwa kedua tangan tersebut adalah milik Yesus dan Ruhul Kudus. Sebab, Tuhan telah menciptakan segala sesuatu tanpa pertolongan sedikit pun atau keikut-sertaan dari Yesus maupun Ruhul Kudus. Apakah mereka [berdua] merupakan pengamat pasif yang secara umum setuju terhadap apa saja yang sedang dilakukan oleh Tuhan saat itu, atau apakah mereka benar-benar ikut serta? Jika pilihan terakhir lebih dapat diterima oleh para theolog Kristen, maka langsung saja muncul pertanyaan apakah masing-masing mereka secara individu mampu menciptakan, tanpa bantuan dari pihak lain, atau apakah mereka hanya mampu bila mereka bersatu? Kemudian, jika mereka bertiga secara mutlak diperlukan menghimpun kemampuan mereka bersama untuk melakukan penciptaan, maka apakah jatah mereka sama rata atau apakah ada yang memiliki jatah pekerjaan yang lebih besar dalam proses Penciptaan? Apakah ketiga oknum [tuhan] itu memiliki kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam hal kehebatan maupun jenis, atau apakah mereka memiliki kekuatan-kekuatan mereka itu sama rata? Orang harus mengakui, pilihan mana pun yang diambil setiap unsur Trinitas menjadi tidak mampu menciptakan apa pun secara masing-masing.
Jika dalil yang sama ditetapkan pada kemampuankemampuan lain milik Tuhan, pertanyaan yang sama akan terus melanda para theolog Kristen. Pada akhimya orang-orang Kristen akan mengakui bahwa mereka tidak mempercayai satu wujud kesatuan Tuhan yang sederhana, dengan tiga aspek dan ekspresi dari satu kekuatan dan keagungan utama. Namun, mereka lebih percaya kepada tiga unsur Tuhan yang saling melengkapi, yakni tiga bagian dalam raga Tuhan. Masalah sama atau tidak sama akan dianggap sebagai suatu hal yang relatif kecil.
Misalnya, kita perhatikan sifat Adil dan Pengampun. Sang Anak tampak lebih pengasih, sedangkan Tuhan Bapak tampil kurang adil dibandingkan Ruhul Kudus yang tidak memainkan peran apa pun dalam hal ketidak-adilan yang dilakukan oleh Tuhan Bapak.
Kemungkinan kedua yang telah kami paparkan adalah, Yesus dan Ruhul Kudus telah memainkan suatu peran pasif dalam proses penciptaan dan pengaturan hukum-hukum alam. Dengan demikian, hal itu menimbulkan banyak pertanyaan lain. Pertama-tama peran apa yang telah ditetapkan bagi kedua partner Tuhan dalam melepaskan fungsi-fungsi Ketuhanan mereka? Jika mereka merupakan penganut-penganut bisu yang pasif, seperti partner-partner yang tertidur, maka mereka secara otomatis telah turun ke posisi kedua yang lebih rendah di mana mereka tampil bersama Tuhan tetapi secara fungsi, mereka tidak menikmati kekuatan-kekuatan-Nya. Konsep ini – yang menyatakan bahwa Tuhan memiliki dua unsur ekstra yang tidak berfungsi - sangat ganjil. Saya heran, akal siapa yang dapat dipuaskan oleh konsep ini? Secara rasional, sudah tentu hal ini tidak dapat diterima dan tidak serasi dengan konsep Kristen tentang "Tiga dalam Satu (Tri Tunggal)" atau "Satu dalam Tiga." Kesatuan dalam tiga [oknum] tidak dapat tercapai dan terbayangkan sama sekali tanpa ketiga oknum tersebut melakukan penyatuan kehendak, kekuatan atau pengalaman hidup apa pun secara total yang dapat dinisbahkan pada satu wujud tunggal yang hidup.
Dalam masalah Ruhul Kudus, sebagai suatu oknum terpisah, kecuali oknum tersebut menyatu secara total dan permanen, kehilangan seluruh identitas dirinya dalam kedua oknum lain, tetap tidak ada harapan ke depan bagi tampilnya satu dewa berkepala banyak dengan satu pemikiran, satu kehendak, dan satu raga.
Misteri ataukah Hal yang Bertentangan Secara Mendasar
Dapat dimaklumi bila seseorang mempercayai sesuatu yang tidak sepenuhnya dia pahami karena adanya beberapa bukti yang tidak terbantahkan mengenai hal tersebut. Misalnya, banyak orang tidak mengerti fenomena/kejadian yang secara kolektif memungkinkan terciptanya transmisi radio dan perangkat penerima dan juga transmisi pulsa audio video elektrik yang diubah menjadi gambar-gambar dan suara yang ditayangkan jarak jauh. Namun, tetap saja hampir seluruh orang yang tidak terpelajar mempercayai realita radio dan televisi. Demikian pula, kebanyakan kita tidak mengerti bagaimana komputer-komputer bekerja, tetapi sangat sedikit orang pada zaman sekarang ini yang berani mengingkari keberadaan komputer-komputer hanya karena alasan ini. Beberapa kasus demikian dapat saja dinyatakan sebagai misteri, tetapi tidak ada alasan untuk mengingkari keberadaan mereka atau mencemoohkan orang-orang yang mempercayai hal-hal tersebut, tentu saja dengan syarat bahwa hal-hal tersebut didukung sepenuhnya oleh buktibukti yang tidak terbantahkan. Kita juga mengakui bahwa suatu sikap yang lebih lunak dapat dilakukan dan sedang dilakukan terhadap banyak misteri yang tampil dalam bentuk ajaran-ajaran agama. Sangat banyak manusia yang mempercayai ajaran-ajaran tersebut tanpa mampu memahami ataupun menjelaskannya. Mereka tampaknya menerima doktrin-doktrin semacam itu sebagai warisan dari generasi ke generasi dan menuntut perlakuan yang patut terhadap mereka. Namun, apabila unsur-unsur kontradiksi dan paradoks (hal yang bertentangan secara mendasar) timbul dalam dogma-dogma agama, tidak ada dalih yang dapat diterima untuk mendukung pernyataan bahwa mempercayai misteri-misteri yang membingungkan berarti juga pembenaran bagi paradoks. Di sinilah masalahnya menjadi rumit. Saya dapat mempercayai sesuatu yang tidak saya pahami, tetapi saya tidak dapat mempercayai sesuatu yang di dalamnya terdapat kontradiksi, dan tidak pula–saya harap orang lain dalam pertimbangan-pertimbangannya. Misalnya, saya tidak dapat memahami bagaimana jam tangan dibuat; ini tidak mengapa, tetapi saya tidak punya hak untuk mempercayai bahwa sebuah jam tangan itu adalah juga seekor anjing hidup yang menyalak dan menendangmenendang. Ini bukanlah suatu dogma/ajaran yang mengandung misteri, tetapi jelas suatu kontradiksi nyata.
Apabila terjadi kontradiksi antara dua sifat Tuhan atau lebih atau bila terdapat ketidak-selarasan antara firman Tuhan dengan perbuatan Tuhan, maka batas-batas misteri telah dilanggar dalam skala besar dan orang akan menemukan dirinya hanyut dari alam misteri masuk ke dalam dunia fantasi/khayal. Apabila telah terbukti demikian, adalah suatu hal yang alami untuk mengharapkan agar orang-orang yang percaya terhadap hal-hal yang bertentangan itu memperbaiki kepercayaan-kepercayaan mereka dan melakukan perbaikan dalam keimanan mereka. Sayangnya, dalam dialog-dialog kami dengan beberapa pendeta Kristen, kami mendapatkan mereka memegang teguh pemahaman bahwa mempercayai Yesus sebagai Tuhan dan sekaligus seorang manusia bukanlah suatu hal yang berlawanan. Tidak pula hal ini tampil bertentangan bagi mereka, yakni satu wujud dapat merupakan tiga oknum secara beriringan tanpa perbedaan kecil sedikit pun dalam sifat mereka. Mereka berkeras bahwa mempercayai tiga oknum tuhan berkepala tiga, yang terdiri dari Tuhan, Ruhul Kudus dan Tuhan Anak, bukanlah suatu paradoks (hal yang bertentangan secara mendasar), melainkan suatu misteri. Mereka menutup mata mereka terhadap kontradiksikontradiksi dalam pengakuan mereka bahwa Tuhan tetap merupakan satu wujud kesatuan tunggal walaupun pada kenyataannya oknum Tuhan, Sang Bapak, benar-benar berbeda dari oknum Yesus, Sang Anak, dan Ruhul Kudus. Ketika kita menujukkan kepada mereka, dengan terheranheran, yakni ketika kita berbicara tentang tiga oknum, dan bukan tentang aspek-aspek, kehendak-kehendak dan sifatsifat yang berbeda dari satu oknum, dan tentang Tuhan yang merupakan "Satu dalam Tiga" serta "Tiga dalam Satu" bukanlah suatu misteri melainkan sebuah kontradiksi yang nyata, mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka sebagai rasa simpati terhadap kita, dan dengan sopan mereka meminta kita beralih dari kontradiksi-kontradiksi tersebut ke masalah-masalah diskusi lainnya. Mereka meminta kita untuk pertama-tama mempercayai hal-hal yang tidak dapat dipercaya, kemudian dari situ berkembang membangun suatu keimanan dalam kontradiksi-kontradiksi, atau misterimisteri seperti yang lebih suka mereka sebutkan. Seorang yang bukan Kristen, oleh karena itu tidak dapat memahami kontradiksi-kontradiksi dogma-dogma Kristen dan tidak dapat memahami apa-apa yang tidak dapat dia percayai [yakni] dia harus percaya tanpa mengerti. Inilah dunia fantasi/khayal Kristen yang ke dalamnyalah kita warga non-Kristen dimintakan untuk masuk. Namun, karpet-terbang ajaib fantasi ini menolak terbang jika seorang yang tidak percaya (pengingkar) naik di atasnya.
Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah (Yahya 1:1)
Penyaliban
Sebelum kita menuju pada rincian Bibel mengenai peristiwaperistiwa yang berkaitan dengan Kristus dan penyalibannya, tampaknya tepat untuk memaparkan di sini secara ringkas pemahaman Muslim Ahmadiyah mengenai apa yang telah terjadi selama dan sesudah penyaliban Yesus Kristus. Masalah ini akan disinggung secara ringkas di sini dan pembahasan secara rinci akan ditampilkan belakangan.
Kami percaya bahwa penyaliban Yesus merupakan suatu rencana untuk mencabut nyawa beliau, seperti pembunuhan berencana lainnya. Penyaliban hanyalah senjata yang telah digunakan dalam rencana pembunuhan itu. Bagaimanapun rencana untuk menyalibkan beliau telah gagal menimbulkan kematian. Dengan kata lain mereka telah gagal menyalib beliau. Ketika kami mengatakan hal kami mengungkapkan pendapat kami persis seperti apa yang akan kami lakukan pada kasus pembunuhan berencana mana pun. Jika suatu rencana dilakukan untuk mencabut nyawa seseorang dan rencana itu gagal, tidak dapat dikatakan bahwa calon korban tersebut telah terbunuh. Misalnya, jika rencana semacam itu dilakukan dengan sebilah pedang, dan rencana itu gagal, tidak ada yang dapat mengatakan bahwa korban itu telah dibunuh dengan pedang. Jadi, kami percaya sebagai warga Muslim Ahmadi, bahwa yang telah dilakukan itu hanyalah suatu rencana untuk membunuh Yesus, sedangkan penyaliban merupakan alat bagi pembunuhan yang direncanakan itu. Setelah mengalami penderitaan hebat beberapa jam di tiang salib, sebelum kematian dapat merenggut beliau, beliau telah diturunkan dari tiang salib dalam keadaan koma berat yang darinya beliau telah dipulihkan belakangan. Sebagaimana tidak ada negara yang dapat mengizinkan perlindungan hukum terhadap orang yang telah dijatuhi hukuman mati apabila dia selamat dari eksekusi, demikian pula dalam hukum Kerajaan Romawi; tidak ada kekebalan yang dapat diberikan kepada Yesus di balik penyalibannya. Hal itu memberikan cukup alasan bagi Yesus untuk melarikan diri dari wilayah Kerajaan Romawi menuju negeri yang bebas. Namun beliau juga harus melaksanakan suatu tugas dan harus memenuhi suatu nubuatan. Di sana terdapat domba-domba Bani Israil yang hilang, yang setelah eksodus (pengungsian) mereka akibat serbuan kerajaan - Babylonia dan Romawi telah terpencar di berbagai negeri timur, menantikan bimbingannya. Inilah alasan kuat lainnya bagi Yesus untuk hijrah dari tanah Judea menuju negeri-negeri asing tempat bangsa-bangsa Yahudi telah menetap selama beberapa abad. Hal ini memadai untuk saat ini.
Saya ingin menegaskan suatu hal kepada mereka yang menuntut dari kami bukti kematian alamiyah Yesus Kristus setelah beliau selamat dari tiang salib. Mereka memindahkan beban pembuktian kepada kami tanpa dasar kebenaran. Banyak fenomena yang diketahui oleh manusia dan yang dipahami secara universal. Kita mengetahui bahwa jangka hidup manusia di bumi tidak lebih dari 150 tahun; yang pasti bukanlah 1000 tahun atau lebih dari itu. Inilah pengalaman umum yang berkaitan dengan jangka hidup manusia di bumi. Jika seseorang berpendapat bahwa sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan tersebut telah terjadi, maka beban pembuktian jatuh pada kedua pundaknya, bukan pada orang yang lebih percaya pada ketentuan tersebut dibandingkan dengan pengecualian tadi. Hal ini harus diterapkan pada kondisi yang mengitari kehidupan dan kematian Yesus Kristus. Mereka yang percaya bahwa beliau tidak mati; harus memberikan bukti. Namun, mereka yang menyatakan bahwa beliau tentu sudah mati, cukup mengikuti hukum alam tersebut dan seharusnya tidak dituntut untuk membuktikannya lebih dari itu. Jika tidak, setiap orang dapat menda'wakan bahwa nenek-moyangnya belum mati. Jika "penda'wa" seperti itu pergi kesana-kemari menantang setiap orang untuk membuktikan tidak terjadi demikian, maka apa reaksi yang akan diberikan orang-orang? Bagaimana sikap seorang pendengar yang malang menghadapi tantangan seperti itu? Dia hanya dapat menyatakan bahwa hukum-hukum alam berlaku bagi setiap manusia, tanpa kecuali. Jika seseorang membuat penda'waan yang bertentangan dengan hukum-hukum alam, maka tanggung jawab pembuktian berada pada dirinya. Inilah jawaban pertama, tetapi saya akan mengambil suatu sikap yang rendah-hati lainnya untuk mencoba membuat hal-hal ini lebih jelas dari suatu sudut pandang lain.
Bagaimanapun hubungan beliau dengan Tuhan, apakah Yesus Kristus memang tidak bisa mati? Orang-orang Kristen sendiri percaya bahwa beliau sudah mati. Jika mati itu bertentangan dengan sifat-sifatnya, maka hal ini tentu tidak terjadi pada kesempatan pertama. Paling tidak, kita semua setuju bahwa beliau sudah mati sekurang-kurangnya satu kali. Penyelidikan yang masih tersisa adalah, kapan beliau mengalami kematian. Apakah di tiang salib, ataukah sesudahnya?
Tanda Yunus
Kami dapat membuktikan dari Bible bahwa Tuhan tidak meninggalkan Yesus dan telah menyelamatkan beliau dari kematian hina di tiang salib. Hal ini dapat dipelajari berdasarkan fakta-fakta yang berkaitan dengan masa-masa sebelum penyaliban, juga fakta-fakta pada penyaliban itu sendiri dan sesudahnya seperti yang dikaitkan oleh Perjanjian Baru.
Jauh sebelum penyaliban, Yesus telah berjanji bahwa tidak ada Tanda yang akan diperlihatkan bagi orang-orang kecuali Tanda Yunus:
Pada waktu itu berkatalah beberapa ahli Taurat dan orang Parisi kepada Yesus: "Guru, kami ingin melihat suatu tanda dari padamu." Tetapi jawabnya kepada mereka: "Angkatan yang jahat dan tidak setia ini menuntut suatu tanda. Tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda Nabi Yunus. Sebab seperti Yunus tinggal dalam perut ikan tiga hari: tiga malam, demikian juga Anak Manusia akan tinggal dalam rahim bumi tiga hari tiga malam. Pada waktu penghakiman, orang-orang Niniwe akan bangkit bersama angkatan ini dan menghukumnya juga. Sebab orang-orang Niniwe itu bertobat setelah mendengar pemberitaan Yunus, dan sesungguhnya yang ada di sini lebih daripada Yunus." (Matius 12:38-41)
Jadi sebelum kita menyimpulkan apa yang telah terjadi pada Yesus, kita harus memahami apa yang telah terjadi pada Yunus, sebab Yesus menda'wakan bahwa mukjizat yang sama akan berulang kembali. Apa Tanda Nabi Yunus? Apakah beliau mati dalam perut ikan dan apakah kemudian beliau dihidupkan kembali dari kematian? Ada kesepakatan di kalangan segenap ulama Kristen, Yahudi dan Islam bahwa Yunus tidak mati dalam perut ikan. Beliau berada dalam kondisi genting antara hidup dan mati dan secara mukjizat telah diselamatkan dan situasi tersebut, sedangkan orang lain dalam posisi beliau itu tentu akan mati. Demikianlah beberapa hukum alam yang halus, di bawah perintah Ilahi, tentu telah bekerja-sama untuk menyelamatkan beliau dari kematian. Ingat, kita tidak sedang memperdebatkan masalah apakah itu mungkin atau tidak. Kami hanya menunjukkan bahwa Yesus, tatkala beliau mengatakan bahwa yang terjadi pada Yunus juga akan terjadi pada diri beliau, hanya dapat berarti bahwa apa yang dipahami setiap orang tentang peristiwa yang telah terjadi dalam kasus Nabi Yunus akan terjadi pula pada diri beliau. Tidak seorang pun di seluruh dunia Yahudi, di tanah Judea ataupun di kawasan lain tempat orang-orang Yahudi telah tersebar dan menetap, telah menerima pesan yang berbeda dari penda'waan Yesus tersebut. Mereka semua percaya bahwa Nabi Yunus, secara mukjizat atau melalui cara lain telah bertahan hidup selama tiga hari tiga malam dalam perut ikan dan tidak mati sedetik pun dalam periode tersebut. Memang kami memiliki pendapat sendiri mengenai hal ini. Kisah Nabi Yunus sebagaimana yang diajarkan oleh Alquran kepada kami tidak memaparkan di suatu tempat pun bahwa selama tiga hari tiga malam Nabi Yunus mengalami cobaan dalam perut ikan. Baiklah kita kembali ke permasalahan pertama dan mencoba menyoroti kesamaan-kesamaan nyata yang telah dinubuatkan oleh Yesus Kristus antara Nabi Yunus dengan beliau sendiri. Kesamaan-kesamaan itu dengan jelas menyatakan tentang jangka masa tiga hari tiga malam dalam kondisi-kondisi yang sangat genting dan tentang terhindar dari kematian secara mukjizat, bukan dalam hal kembali hidup dari kematian. Hal yang sama, dinyatakan oleh Yesus, akan terjadi pada diri beliau.
Janji Yesus Kepada Bani Israil
Bukti penting kedua adalah, Yesus mengatakan kepada umatnya bahwa domba-domba Bani Israil yang hidup dalam dan sekitar Judea bukanlah satu-satunya dan bahwa beliau telah diutus oleh Tuhan bukan hanya kepada mereka melainkan juga kepada domba-domba lain yang berasal dan rumpun yang sama. Sebagaimana beliau datang untuk menyelamatkan mereka, beliau juga akan pergi dan menyelamatkan yang lainnya.
"Ada lagi padaku domba-domba lain, yang bukan dari kandangkandang ini. Domba-domba itu harus kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suaraku dan mereka akan menjadi suatu kawanan dengan satu gembala." (Yahya 10:6)
Sekarang berdasarkan pengetahuan yang umum di antara masa janji beliau itu dengan saat Penyaliban, beliau tidak pernah meninggalkan tanah Judea kemana pun. Pertanyaannya adalah, jika Yesus telah naik ke langit untuk selamanya, apakah domba-domba Israil yang telah hilang itu juga telah naik lebih dahulu? Orang-orang Kristen percaya bahwa setelah diturunkan dari tiang salib sebagai orang mati, ruh beliau kembali ke dalam tubuh beliau setelah tiga hari atau lebih, kemudian beliau terlihat naik ke atas awan dan lenyap ke dalam langit yang tidak diketahui, hanya untuk mencapai singgasana tertinggi milik Bapaknya, dan sejak itu beliau duduk di sebelah kanan sang Bapak untuk selamanya. Jikahal ini benar, kita pasti akan menghadapi pilihan yang sangat sulit. Kita harus memilih di antara kedua posisi, pertama yang telah diambil oleh Yesus sendiri dan yang lainnya oleh para pengikut beliau. Kedua posisi tersebut benar-benar tidak dapat berdamai sehingga dengan menerima satu posisi pasti akan menolak posisi lainnya. Jika Yesus benar, sebagaimana yang kami percayai, maka sebelum naik ke langit beliau seharusnya ingat akan janji beliau sendiri dan meminta tambahan waktu dari Tuhan Bapak untuk menunda agak lama di bumi sehingga beliau dapat pergi ke negeri-negeri tempat suku-suku Israil telah pergi dan menetap sebelum kedatangan beliau. Beliau tidak dapat naik ke langit tanpa mengingkari janji dan kepercayaan yang diberikan kepada beliau, menodai dan merusak gambarannya sebagai Tuhan yang sempurna dan juga sebagai manusia sempuma. Jika sebaliknya para theolog Kristen dianggap benar dan diakui bahwa Yesus sungguhsungguh lupa terhadap janji beliau kepada Bani Israil dan langsung naik ke langit, maka kita dengan berat hati harus menyimpulkan bahwa para theolog Kristen memang benar, tetapi Ajaran Kristen telah berubah menjadi salah. Sebab, jika Yesus terbukti salah berarti Ajaran Kristen tidak benar.
Kami percaya, bahwa beliau seorang nabi Allah yang benar dan tidak mungkin memberikan janji palsu. Yang beliau maksud dengan domba hilang adalah 10 suku Israil, yang telah berpindah dari tanah Judea sebelumnya dan pergi ke negeri-negeri timur yang jauh. Janji beliau, oleh karenanya adalah, beliau tidak akan terbunuh di tiang salib, tetapi akan diberikan umur panjang untuk memenuhi misi beliau, dan bahwa beliau bukanlah seorang nabi yang hanya diperuntukkan bagi 2 suku Israil yang hidup di sekitar beliau saja, tetapi bagi seluruh suku Israil. Secara bersamaan, kedua bukti di atas menampilkan petunjuk positif mengenai apa yang bakal terjadi pada Yesus Kristus setelah Penyaliban.
Peristiwa Penyaliban
Hal lain yang berkaitan dengan masalah ini, menyangkut penetapan tanggal dan waktu oleh Pilatus untuk pelaksanaan Penyaliban. Bahkan sebelum dia menetapkan tanggal dan waktu, kita membaca hal-hal lain yang– seseorang seharusnya tidak terkejut untuk mempercayainya– telah memainkan suatu peran penting berkaitan dengan keputusan akhir yang dia buat. Pertama-tama, kita semua tahu, berdasarkan Perjanjian Baru bahwa isteri Pilatus sangat menentang suaminya memberikan keputusan yang memberatkan Yesus akibat sebuah mimpi yang dia lihat pada malam sebelum pengadilan Yesus.
Ia sangat ketakutan karena mimpi itu yang membuatnya percaya bahwa Yesus benar-benar tidak berdosa, sehingga dia merasa wajib untuk turut campur dalam proses pengadilan guna menyampaikan pesan mimpi itu kepada suaminya.1 Tampaknya itu merupakan pernyataan penting yang dilakukan isterinya sehingga Pilatus menampakkan sikap ketidak-terlibatannya dalam tanggung jawab penghukuman Yesus :
Ketika Pilatus melihat bahwa segala usahanya sia-sia, malah sudah timbul kekacauan, ia mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan orang banyak, dan berkata : "Aku tidak bersalah atas darah orang ini; itu adalah urusan kamu sendiri!" (Matius 27:24)
Hal ini menggenapi sebuah pengakuan di pihaknya bahwa Yesus benar-benar tidak berdosa dan bahwa keputusan keji yang telah dia lakukan adalah di bawah paksaan. Dan Perjanjian Baru cukup jelas bahwa masyarakat Yahudi yang sangat berpengaruh telah berkomplot melawan Yesus dan bermaksud menghukum beliau. Sehingga, keputusan apa pun dari Pilatus yang bertentangan dengan kehendak warga Yahudi akan berakibat kacaunya situasi hukum dan ketertiban. Inilah keterpaksaan yang dihadapi Pilatus sehingga membuatnya tidak berdaya dan hal itu dia tampilkan dalam sikap membasuh tangan.
Pilatus juga telah melakukan upaya lain untuk menyelamatkan Yesus. Dia memberikan pilihan kepada khalayak, yakni apakah menyelamatkan hidup Yesus, atau penjahat terkenal yang bernama Barabas.2 Hal ini memberikan petunjuk penting mengenai pertimbangan pikiran Pilatus saat itu. Dia secara cukup nyata menentang penghukuman Yesus. Dalam kondisi perasaan demikianlah dia telah menetapkan hari Jumat petang sebagai hari dan waktu bagi pelaksanaan hukuman. Yang benar-benar telah terjadi, merupakan indikasi jelas bahwa hal itu dia lakukan dengan sengaja, sebab hari Sabat tidak terlalu jauh dari hari Jumat petang, dan dia sebagai petugas hukum, lebih tahu dari siapa pun bahwa sebelum hari Sabat bermula dengan tenggelamnya matahari, tubuh Yesus akan diturunkan; dan itulah yang benar-benar telah terjadi. Hal yang secara normal membutuhkan waktu kurang lebih tiga hari tiga malam untuk akhirnya mengakibatkan kematian aniaya terhadap seorang terhukum, telah diterapkan kepada Yesus hanya beberapa jam saja. Orang heran, hal itu tidak mungkin untuk benar-benar membunuh seorang laki-laki seperti Yesus yang kehidupan kerasnya telah membuat fisik beliau kuat.
Dapatkah peristiwa ini menjadi sebuah kunci pemecahan bagi teka-teki [tanda] Nabi Yunus? Sebagaimana kebiasaan umum saat itu, yakni menggantung seorang terhukum di tiang salib selama tiga hari tiga malam, hal ini dapat menimbulkan dalam benak seseorang tentang persamaan antara Yesus dan Yunus, sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Nabi Yunus juga diperkirakan telah bertahan dalam perut ikan selama tiga hari tiga malam. Mungkin beliau juga telah diselamatkan hidup-hidup oleh rencana Ilahi dalam tempo tiga jam, bukannya tiga hari. Jadi, apa yang telah terjadi dalam kasus Yesus menjadi cermin yang merefleksikan dan memutar ulang drama tragis yang dialami Nabi Yunus.
Sekarang mari kita kembali pada kejadian-kejadian selama Penyaliban. Bahkan pada saat terakhir Yesus tetap teguh dalam pernyataan beliau: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Sungguh tragis hal itu, dan betapa pedihnya ungkapan kekecewaan beliau. Pernyataan itu secara halus menunjuk pada beberapa janji dan .kepastian terdahulu yang tentunya telah diberikan Tuhan kepada beliau; jika tidak, tidak ada makna yang dapat terbaca dalam pemyataan tersebut. Hal itu merupakan suatu penolakan terhadap keinginan dan kemauan beliau, atas kehendak sendiri, untuk memikul beban dosa orang-orang lain dan terhadap pendapat bahwa beliau menanti-nantikan saat kematian tersebut. Mengapa jeritan penderitaan ini terjadi jika hukuman tersebut memang diingini oleh diri beliau sendiri? Mengapa beliau harus mencela Tuhan, atau bahkan berdoa untuk pembebasan? Pernyataan Yesus itu hendaknya dibaca dalam konteks mengenai apa yang telah terjadi sebelumnya. Beliau telah berdoa panjang-lebar kepada Tuhan agar mengambil cawan pahit itu dari beliau.
Kami, sebagai Muslim Ahmadi, percaya bahwa terhadap Yesus yang merupakan seorang tokoh saleh dan suci, tidak mungkin Tuhan tidak mengabulkan doa beliau. Beliau tentu telah diberitahu bahwa doa itu telah dikabulkan. Saya tidak percaya bahwa beliau telah melepaskan nyawa beliau di tiang salib. Bagi saya, tidak ada kontradiksi, dan segala sesuatu berjalan dengan konsisten/tetap. Dugaan kematian beliau hanyalah kesan seorang pengamat yang bukan dokter dan bukan pula seorang yang pernah memperoleh kesempatan memeriksa beliau secara medis. Seorang penonton, menatap dengan gelisah dan prihatin kalau-kalau kematian merenggut nyawa guru yang ia cintai, hanya menyaksikan kepala yang terkulai letih dengan dagu yang menempel di dada Yesus. Dan orang itu menyatakan, "Dia telah menyerahkan nyawanya." Namun, seperti yang telah kami uraikan sebelumnya, ini bukanlah suatu makalah untuk membahas tentang kualitas serta keautentikan pernyataan Bibel dari segi asli atau tidaknya, atau untuk memperdebatkan penafsiranpenafsiran yang dinisbahkan terhadapnya. Kita di sini hanya sedang meneliti falsafah dan dogma Kristen secara kritis, logis dan masuk akal.
Masalah yang timbul terlepas dari apakah Yesus telah pingsan atau telah mati yakni keterkejutan beliau yang sangat memilukan mengenai apa yang bakal terjadi saat itu, dengan kuat membuktikan bahwa beliau tidak mengharapkannya. Jika memang kematianlah yang beliau cari, maka keterkejutan yang beliau tampakkan itu sama sekali tidak tepat. Penafsiran kami sebagai, Muslim Ahmadi, Yesus terkejut hanya karena beliau telah dijanjikan pembebasan dari tiang salib oleh Tuhan sewaktu beliau memanjatkan per-mohonan-permohonan pada malam sebelumnya. Namun, Tuhan memiliki rencana lain Dia membuat Yesus tampak pingsan sehingga para pengawal yang bertugas akan terkecoh menganggap beliau telah mati, dan dengan demikian [mereka] menyerahkan tubuh beliau kepada Yusuf Arimatea, untuk disampaikan kepada sanak keluarga beliau. Keterkejutan yang kami dapati pada kata-kata terakhir Yesus Kristus juga dialami oleh Pilatus: "Sudah mati?" adalah tanggapannya ketika peristiwa kematian itu dilaporkan kepadanya.3 Pilatus tentu telah memiliki banyak pengalaman dalam hal penyaliban selama menjabat sebagai Gubernur Judea, dan dia tentu tidak mengungkapkan keterkejutannya kecuali kepadanya telah diyakinkan bahwa sungguh janggal apabila kematian merenggut nyawa seorang korban penyaliban dalam waktu singkat yang hanya beberapa jam saja. Walaupun demikian dia mengabulkan permintaan untuk melepaskan jasad [Yesus] dalam suasana yang misterius. Oleh karena itulah Pilatus selamanya dituduh telah melakukan persekongkolan. Diperkirakan, atas pengaruh istrinya dia mengupayakan agar pelaksanaan hukuman terhadap Yesus berlangsung satu jam menjelang hari Sabat. Yang kedua, dia telah mengabulkan permintaan untuk melepaskan jasad [Yesus] walaupun terdapat kejanggalan pada laporan kematian Yesus. Keputusan Pilatus tersebut menimbulkan kekhawatiran mendalam di kalangan Yahudi yang telah membuat petisi kepadanya dan menyampaikan keraguan serta kesangsian mereka tentang kematian Yesus.4
Kita juga mendapatkan dari Bibel bahwa ketika tubuh Yesus diturunkan, kaki beliau tidak dipatahkan, sedangkan kaki dua orang pencuri yang disalib bersama beliau, telah dipatahkan untuk memastikan mereka telah mati.5 Terpeliharanya Yesus seperti itu tentu telah membantu beliau selamat dari keadaan koma tersebut. Kita tidak dapat mengesampingkan sama sekali bahwa para prajurit tampaknya telah diperintahkan oleh beberapa utusan Pilatus untuk tidak mematahkan kaki Yesus Kristus. Mungkin hal itu telah dilakukan sebagai suatu tanda hormat bagi beliau dan warga Kristen yang tidak berdosa [saat itu].
Menurut Bibel, ketika lambung Yesus ditusuk, maka darah dan air segera mengalir keluar.
Tetapi ketika mereka sampai kepada Yesus dan melihat bahwa ia telah mati, mereka tidak mematahkan kaki-Nya, tetapi seorang dari antara prajurit itu menikam lambungnya dengan tombak, dan segera mengalir keluar darah dan air. (Yahya 19:33,34).
Jika beliau sudah mati dan jantung beliau telah berhenti berdenyut maka tidak mungkin.terjadi peredaran darah secara aktif seperti itu yang mengakibatkan darah segera mengalir keluar. Paling tidak darah dan plasma yang membeku mungkin telah merembes secara pasif. Namun tidak demikian gambaran yang ditampilkan oleh Perjanjian Baru, justru dikatakan bahwa darah dan air segera mengalir keluar. Sejauh yang berkaitan dengan ungkapan tentang air, tidaklah mengherankan bahwa Yesus telah mengalami radang selaput dada (pleurisy) selama menjalani saat-saat yang sangat menderita dan menyakitkan selama penyiksaan di tiang salib. Juga, tekanan Penyaliban telah mengakibatkan penetesan dan radang selaput dada itu sehingga menimbulkan kantung-kantung air, yang dalam istilah kedokteran disebut wet pleurisy (radang selaput dada basah). Kondisi ini, yang pada sisi lain sebenamya berbahaya dan menyakitkan, tampaknya telah berubah menjadi berguna bagi Yesus, sebab ketika lambungnya ditikam maka radang selaput dada yang membengkak itu dengan mudah telah berperan sebagai bantal yang melindungi organ-organ dada dari tusukan langsung tombak. Air bercampur darah segera mengalir keluar disebabkan jantung yang masih aktif.
Bukti lain adalah sebagai berikut. Menurut keterangan Bibel, setelah tubuh Yesus diserahkan kepada Yusuf Arimatea, tubuh beliau segera dipindahkan ke sebuah pemakaman rahasia, sebuah kuburan yang ruangnya tidak hanya cukup untuk tubuh Yesus tetapi juga bagi dua orang pelayan untuk duduk dan mengurus beliau:
Lalu pulanglah kedua murid itu ke rumah. Tetapi Maria berdiri dekat kubur itu dan menangis. Sambil menangis ia menjenguk ke dalam kubur itu, dan tampaklah olehnya dua orang malaikat berpakaian putih, yang seorang duduk di sebelah kepala dan yang lain di sebelah kaki di tempat mayat Yesus. (Yahya 20:10-12).
Tidak hanya itu, kita juga mengetahui dari Perjanjian Baru bahwa sejenis ramuan rempah-rempah yang telah disiapkan saat itu, telah dibubuhkan pada luka-luka Yesus.6 Ramuan rempah ini disiapkan oleh murid-murid Yesus, mengandung zat-zat yang dapat mengobati luka serta mengurangi rasa sakit dan sebagainya. Mengapa saat itu susah-payah mengumpulkan 12 jenis bahan langka untuk membuat ramuan tersebut? Resep yang digunakan itu tertera di banyak buku kuno, misalnya buku kedokteran yang terkenal Al-Qanun oleh Bu Ali Sina (lihat apendix berisikan daftar buku-buku semacam itu). Jadi, apa perlunya saat itu untuk membubuhkan ramuan rempah pada tubuh yang sudah mati? Hal itu baru akan masuk akal apabila para hawari memiliki alasan-alasan kuat untuk mempercayai bahwa Yesus telah diturunkan dalam kondisi hidup dari tiang salib, bukan mati. Yahya satu-satunya hawari yang telah berusaha memaparkan keterangan tentang pengadaan dan pembubuhan ramuan rempah pada tubuh Yesus. Hal ini lebih lanjut mendukung fakta bahwa pembubuhan ramuan rempah pada mayat dianggap suatu hal yang sangat ganjil saat itu, yang tidak dapat dipahami oleh mereka yang percaya bahwa Yesus telah mati ketika ramuan tersebut dipakaikan. Untuk hal itulah Yahya telah memaparkan keterangan tersebut. Dia memaparkan bahwa hal itu dilakukan hanya karena merupakan tradisi Yahudi yang membubuhkan sejenis balsem atau ramuan pada jasad orang-orang mereka yang sudah meninggal. Sekarang, ini merupakan fakta yang sangat penting untuk dicatat bahwa segenap ilmuwan modem yang telah melakukan penelitian di bidang ini sepakat bahwa Yahya bukan berasal dari kalangan Yahudi, dan dia telah membuktikannya melalui keterangannya itu. Telah diketahui secara pasti bahwa orang-orang Yahudi atau Bani Israil tidak pernah memakaikan ramuan dalam bentuk apa pun kepada jasad orang-orang mereka yang sudah meninggal dunia. Dengan demikian, para ilmuwan berpendapat bahwa Yahya tampaknya bukan berasal dari kalangan Yahudi, jika tidak, tentu dia tidak akan begitu naif tentang tradisi-tradisi Yahudi. Jadi, pasti ada alasan lain bagi hal itu.
Ramuan tersebut dipakaikan kepada Yesus adalah untuk menyelamatkan beliau dari kondisi mendekati maut. Penjelasan satu-satunya terletak pada fakta bahwa Yesus saat itu tidak diperkirakan akan mati oleh para hawari, dan tidak pula beliau benar-benar telah mati di tiang salib. Tubuh yang diturunkan itu pasti telah menampakkan tandatanda kehidupan yang positif sebelum ramuan tersebut dipakaikan. Jika tidak, hal itu jelas merupakan perbuatan sangat tolol, tidak beralasan, dan sia-sia, pada pihak orang-orang yang turut serta dalam perbuatan tersebut. Tidak mungkin orang-orang itu mempersiapkan ramuan ini seketika tanpa adanya pertanda yang kuat bahwa Yesus tidak akan mati di tiang salib, tetapi akan diturunkan dalam kondisi hidup dengan luka-luka yang sangat serius, sehingga sangat membutuhkan ramuan yang sangat mujarab untuk menyembuhkan.
Harus dicamkan baik-baik dalam ingatan bahwa lokasi kuburan tempat Yesus dibaringkan telah dirahasiakan secara ketat, yang hanya diketahui oleh beberapa murid beliau. Hal ini jelas-jelas dengan pertimbangan bahwa beliau masih hidup saat itu dan belum terlepas dari bahaya.
Mengenai apa yang telah terjadi dalam kubur, merupakan hal yang dapat diperdebatkan dari beberapa segi. Hal itu tidak dapat menampilkan pengujian yang kritis, dan tidak pula hal itu dapat membuktikan bahwa orang yang telah keluar dari situ benar-benar sudah mati dan kemudian telah dibangkitkan. Bukti satu-satunya yang kita miliki adalah kepercayaan orang-orang Kristen bahwa Yesus yang telah keluar dari kubur tersebut membawa tubuh sama yang telah mengalami penyaliban, memiliki tanda-tanda dan luka-luka yang sama. Jika beliau telah tampak berjalan dengan tubuh yang sama, maka kesimpulan logis satusatunya yang dapat diambil adalah, beliau belum pernah mati saat itu.
Bukti lain yang menunjukkan keberlangsungan hidup Yesus adalah sebagai berikut. Setelah tiga hari tiga malam beliau terlihat, tidak oleh khalayak umum, melainkan hanya oleh hawari (para murid) beliau. Dalam kata lain, oleh orang-orang yang beliau percayai. Beliau menghindari siang, dan hanya bertemu dengan mereka di balik kegelapan malam. Orang dapat mengambil kesimpulan secara aman dari keterangan Bibel bahwa beliau tampaknya berusaha keluar dari pusat bahaya dengan tergesa-gesa dan sembunyisembunyi. Pertanyaannya adalah, jika beliau telah memperoleh hidup yang baru dan abadi setelah kematian pertama beliau, dan bakal tidak akan mengalami penderitaan lain, maka mengapa beliau bersembunyi dari para musuh beliau, yakni dari unsur-unsur penguasa dan masyarakat umum? Beliau seharusnya tampil di hadapan orang-orang Yahudi dan perwakilan Kerajaan Romawi serta mengatakan: "Ini saya, dengan kehidupan abadi, cobalah dan bunuhlah saya lagi jika kalian bisa, kalian tidak akan mampu." Namun, beliau memilih untuk tetap bersembunyi. Bukannya kepada beliau tidak dianjurkan agar tampil di hadapan umum, sebaliknya kepada beliau justru secara khusus dianjurkan agar menampakkan diri kepada dunia, tetapi beliau menolak dan terus jauh meninggalkan Judea sehingga tidak ada yang dapat mengejar beliau:
"Yudas, berkata kepadanya: Tuhan, apakah sebabnya maka engkau hendak menyatakan dirimu kepada kami, dan bukan kepada dunia?" (Yahya 14:22).
Mereka mendekati kampung yang mereka tuju, lalu ia berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalanannya. Tetapi mereka sangat mendesaknya, katanya: "Tinggallah bersama kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam." Lalu masuklah ia untuk tinggal bersama dengan mereka. (Lukas 24:28,29).
Hal ini dengan sangat kuat menampilkan kasus seorang yang tidak abadi, yang tidak berada di luar jangkauan kematian ataupun luka bagi dirinya. Hal itu hanya membuktikan bahwa Yesus tidak mati dalam makna bahwa beliau telah terpisah dari unsur manusia yang ada dalam diri beliau, melainkan beliau tetap sama dalam kondisi alami beliau, apa pun itu, dan saat itu tidak ada kematian yang telah memisahkan diri lama beliau dari diri yang baru. Inilah yang kami sebut keberlanjutan hidup dalam pengalaman manusia. Suatu ruh yang hidup di dunia lain, sudah pasti tidak bersikap seperti Yesus bersikap selama pertemuanpertemuan rahasianya di balik kegelapan malam dengan para sahabat dan pengikut-pengikut dekat beliau.
Masalah Yesus sebagai hantu, secara tegas bukannya ditolak oleh orang lain melainkan oleh Yesus sendiri. Ketika beliau tampil di hadapan beberapa hawari beliau, mereka tidak mampu menyembunyikan rasa takut mereka terhadap beliau, sebab mereka percaya bahwa itu bukanlah Yesus, melainkan hantunya Yesus. Yesus Kristus, yang memahami kesulitan-kesulitan mereka itu, telah menghalau rasa takut mereka dengan menyangkal diri sebagai hantu, serta menegaskan bahwa diri beliau adalah wujud Yesus yang sama yang telah disalib, dan bahkan beliau meminta mereka memeriksa luka-luka beliau, yang masih segar.7 Kemunculan beliau di hadapan para murid beliau dan sebagainya, dalam makna apa pun tidak menyatakan kebangkitan beliau dari kematian. Semua itu secara jelas menyatakan telah selamatnya beliau dari kondisi yang mendekati mati.
Seolah-olah untuk menghapuskan kesalahpahaman yang mungkin masih tersembunyi dalam pikiran-pikiran mereka, beliau menanyakan apa yang sedang mereka makan. Ketika beliau diberitahu bahwa mereka sedang makan roti dan ikan, beliau minta sedikit, sebab beliau lapar, dan beliau memakannya sebagian.8 Hal ini secara meyakinkan merupakan sebuah bukti yang tidak diragukan sedikit pun yang membantah kebangkitan beliau dari kematian, yakni kebangkitan kondisi alami seorang manusia yang pernah mati satu kali dan dihidupkan kembali. Problema-problema yang timbul dari pemahaman hidupnya kembali Yesus Kristus semacam itu, akan jadi berlipat ganda.
Jika Yesus masih merupakan spesies tuhan-manusia, sebagaimana yang dida'wakan tentang diri beliau sebelum beliau disalibkan, maka tentu beliau tidak dapat menghindarkan unsur manusia dari dalam dirinya. Hal ini menampilkan situasi yang sangat rumit dan penuh permasalahan. Apa yang bisa dilakukan oleh kematian terhadap beliau, atau terhadap keduanya, yakni manusia dalam Yesus dan tuhan yang ada dalam dirinya? Apakah ruh manusia dan tuhan, keduanya tercabut bersama-sama dan kembali kepada tubuh kasar semula, setelah masuk neraka bersama-sama; atau apakah hanya ruh tuhan dalam diri Yesus saja yang kembali ke dalam tubuh manusia [Yesus] tanpa ruh manusianya? Di mana pula ruh tersebut menghilang, membuat orang bingung. Apakah perjalanannya ke neraka merupakan perjalanan tanpa kembali. sedangkan ruh tuhan dalam diri Yesus telah tertahan di sana hanya untuk tiga hari tiga malam? Apakah Tuhan merupakan bapak bagi manusia Yesus, ataukah bagi Yesus Sang Anak? Pertanyaan ini masih harus diselesaikan dengan tuntas untuk memberikan gambaran yang jelas bagi kita. Apakah tubuh Yesus itu sebagian merupakan tubuh Tuhan, dan sebagian lagi tubuh manusia?
Konsep tentang Tuhan yang kami peroleh dari penelaahan terhadap Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, adalah wujud gabungan yang tak terbatas, dengan zat yang tidak memiliki peran apa pun dalam penciptaan diri-Nya. Dengan memahami hal itu, mari kita simak kembali Yesus sebagaimana beliau melewati tahap-tahap pertumbuhan yang berbeda sebagai embrio dalam janin Maryam. Seluruh zat yang dipakai untuk membentuk Yesus berasal dan ibu manusia tanpa ada sedikit pun yang diberi dari Tuhan Bapak. Memang, Tuhan dapat saja menciptakan beliau secara mukjizat. Namun, dari sudut pandang saya, penciptaan.– secara mukjizat atau pun alamiah – tetap merupakan penciptaan. Kita hanya dapat mengakui seseorang sebagai bapak dari seorang anak apabila zat sang bapak dan zat sang ibu secara seimbang atau sebagian dimiliki [oleh si anak] sehingga paling tidak beberapa zat pada tubuh si anak berasal dari zat sang bapak.
Dari hal ini harus menjadi jelas bagi pembaca bahwa Tuhan tidak memainkan peran apa pun sebagai bapak dalam proses kelahiran embrio manusia, dan seluruh kesatuan tubuh itu dengan jantung, pernapasan, unsur, sel dan sistim saraf pusat, merupakan hasil dari seorang ibu sendiri tanpa bantuan lain. Di mana terletak unsur [tuhan] anak dalam diri Yesus, yang semata-mata wadah bagi ruh Tuhan dan tidak lebih dari itu? Pemahaman baru tentang hubungan antara Tuhan dan Yesus ini dapat secara pantas dinyatakan sebagai hubungan bapak-anak.
Hidup Kembali ataukah Kebangkitan Kembali?
(1/)
Skenario tentang kembali hidupnya Yesus dari kematian menampilkan banyak permasalahan. Beberapa di antaranya telah diperbincangkan pada bab terdahulu. Kini kita beralih pada unsur dan permasalahan lain.
Yang menjadi perhatian kami adalah kondisi "otak" Yesus, sebelum Penyaliban dan setelah beliau siuman kembali. Otaknya telah difungsikan kembali, setelah tidak berfungsi selama tiga hari tiga malam. Pertanyaannya adalah, apa yang sungguh-sungguh telah terjadi pada otak saat kematian? Pada satu poin, paling tidak, terdapat kesepakatan di antara para ahli medis Kristen dan non-Kristen: jika otak mati lebih dari beberapa menit, itu berarti mati dan hilang selamanya. Segera setelah suplai darah terhenti, otak mulai mengalami kerusakan.
Jika Yesus telah mati pada waktu Penyaliban, hal itu hanya dapat berarti bahwa jantung beliau berhenti berfungsi dan berhenti menyuplai darah ke otak beliau, dan otak beliau segera mati sesudah itu. Jadi, seluruh sistim penyanggah hidup beliau telah berhenti beroperasi, atau beliau tidak dapat dinyatakan mati pada waktu itu. Dengan demikian, kita dihadapkan pada permasalahan yang sangat membangkitkan minat, dalam kaitan memahami tentang hidup dan matinya Yesus Kristus.
Kematian Yesus Kristus, seperti yang telah dikemukakan, berarti kepergian terakhir tubuh ruhani beliau, atau apa yang kita sebut ruh, dari jaringan fisik tubuh manusia beliau. Jika demikian, hidupnya beliau kembali berarti kembalinya tubuh ruhani itu ke dalam tubuh fisik yang sama yang telah ia tinggalkan tiga hari sebelumnya.
Kembalinya ruh seperti itu akan menghidupkan kembali jam kehidupan fisik dan membuatnya mulai berdetak kembali. Untuk hal yang terjadi seperti itu, sel-sel otak yang telah mengalami kerusakan dan mati, tiba-tiba akan kembali hidup, dan proses kimiawi pembusukan yang cepat, akan berbalik seluruhnya. Hal ini mencakup sebuah persoalan besar dan akan tetap menjadi suatu tantangan bagi para ahli biokimia Kristen untuk memecahkannya. Uraian berbaliknya seluruh proses kimiawi pembusukan/kematian dalam sistim saraf pusat, adalah di luar jangkauan yang paling jauh dari imajinasi ilmuwan. Jika hal ini benar-benar telah terjadi, tentu saja ini merupakan sebuah mukjizat, yang bertentangan dengan sains dan memperolok hukum-hukum yang telah dibuat oleh Tuhan sendiri, tetapi hal itu akan menjadi suatu mukjizat yang masih belum dapat memecahkan permasalahan.
Kehidupan kembali seperti itu tidak hanya berarti hidupnya kembali sel-sel pada sistim saraf pusat, tetapi benar-benar perpaduan mereka. Bahkan jika sel-sel yang sama direkonstruksi dan dihidupkan kembali persis seperti sebelumnya, mereka pada kenyataannya akan menjadi suatu set baru sel-sel yang tidak memiliki memori sebelumnya. Selsel itu harus dirancang kembali lengkap dengan seluruh data yang terkait dengan kehidupan Yesus, yang telah terhapus dari otak beliau setelah kematian otak tersebut.
Hidup, seperti yang kita ketahui, tediri dari sebuah kesadaran yang diisi dengan informasi yang disimpan oleh milyaran neuron dalam otak. Informasi tersebut kemudian terbagi dalam data informasi terkomputerisasi yang lebih rumit dan saling terkait, yang diterima melalui panca indera. Jika data itu terhapus, kehidupan juga akan terhapus. Oleh karena itu, hidupnya kembali otak Yesus berarti pembangunan dan perakitan sebuah komputer otak baru dengan software/perangkat-lunak yang sama sekali baru. Hal yang kompleks/rumit ini juga berkait dengan [aspek] kimia seluruh bagian tubuh lainnya pada Yesus Kristus. Untuk menghidupkan kembali tubuh itu, proses rekonstruksi kimiawi yang maha besar harus dijalankan, setelah menyelamatkan kembali segenap materi yang telah hilang dalam proses pembusukan/kematian. Dengan terjadinya mukjizat yang begitu besar, pertanyaan akan timbul: siapa yang telah dihidupkan kembali, dan dengan dampak apa? Apakah manusia dalam diri Yesus, ataukah tuhan dalam beliau? Itulah sebabnya kami menegaskan tentang pentingnya memahami wujud diri Yesus.
Ketika Yesus diketahui telah bimbang dan gagal menunjukkan kedigdayaan beliau sebagai Anak Tuhan, orang-orang Kristen berlindung pada penda'waan bahwa beliau itu bimbang sebagai seorang manusia bukan sebagai tuhan. Jadi, kita memiliki hak penuh untuk mempertanyakan dan secara jelas merinci bagian mana yang merupakan manusia dalam diri beliau dan bagian mana yang merupakan tuhan. Kebimbangan wujud manusia dalam diri Yesus menuntut suatu otak/pemikiran manusia yang merupakan suatu jati diri terpisah dari tuhan dalam diri beliau. Ketika otak itu dihidupkan kembali, adalah unsur manusia dalam diri Yesus yang telah dihidupkan kembali, sebab zat "tuhan" dalam diri Yesus tidak membutuhkan sebuah otak lahiriah untuk menopangnya. Bagi zat "tuhan" itu, ia hanya berfungsi sebagai suatu wadah selama persinggahannya terdahulu di bumi, seperti suatu sarana ruhani. Oleh karena itu, hidupnya kembali Yesus hanya melibatkan hidupnya kembali wujud manusia dalam diri beliau, yang tanpa itu kembalinya ruh beliau kepada tubuh yang sama menjadi tidak mungkin.
Jika skenario ini tidak dapat diterima, maka kita akan menghadapi permasalahan berat lain, yaitu menisbahkan pada Yesus dua otak/pemikiran yang independen selama kehidupan beliau di bumi. Satu otak manusia, dan satu lagi otak tuhan. Kedua otak/pikiran ini bersama-sama mengisi satu tempat yang sama, tetapi saling tidak berhubungan dan berdiri sendiri. Jika demikian, masalah hidup kembali itu terpaksa harus dikaji ulang sampai fakta yang sebenarnya dipahami secara jelas. Dalam skenario ini, orang tidak harus dapat memahami intisari pembangunan kembali otak manusia sebagai wadah bagi pikiran manusia. Kita hanya perlu membayangkan bagaimana Yesus masuk kembali ke dalam batok kepala yang berisikan bangkai otak yang membusuk/mati milik tubuhnya terdahulu.
Semakin dalam kita menelaah permasalahan ini semakin banyak permasalahan yang muncul dalam kepala mereka pada setiap tahap pemeriksaan. Pikiran manusia membutuhkan sebuah otak sebagai sarana bagi proses pemikirannya. Sejauh yang berkaitan dengan fungsi-fungsi tubuh lahiriah, jika kita percaya otak/pikiran itu sebagai suatu sosok terpisah yang hidup sendiri maka ini secara tidak langsung menyatakan bahwa otak/pikiran dan ruh adalah satu hal yang sama. Dengan memberikan nama apa pun padanya, tidak peduli apakah kita menamakannya pikiran atau ruh, ia dapat dianggap mampu hidup secara terpisah walau hubungannya dengan otak manusia telah terputus. Namun, jika pikiran atau ruh itu diminta mengendalikan tubuh manusia atau menyerap pengaruh dari apa yang terjadi pada kenyataan-kenyataan fisik, maka tampaknya harus ada ikatan yang bagus antara pikiran dan otak, atau antara ruh dan otak. Jika tidak, mereka tidak dapat mempengaruhi, menggerakkan atau mengendalikan proses-proses fisik, mental dan perasaan dalam diri manusia. Mungkin hal ini tidak dapat diperdebatkan.
Dari sini, kita digiring kepada permasalahan serius lainnya: apakah oknum yang disebut Tuhan Anak itu perlu mengendalikan sebuah tubuh melalui sebuah otak? Dan apakah dia bertumpu pada sebuah otak lahiriah untuk proses-proses pikirannya? Jika dia melampaui segenap batasan manusia dan jika dia memiliki sistim yang mandiri bagi proses pikirannya, aneh baginya, tanpa sejajar dengan seluruh alam hasil ciptaannya, maka kembalinya ruh Tuhan ke dalam tubuh manusia beriringan dengan pikiran manusia, membentuk suatu gambaran aneh berupa dua kepribadian dengan proses pikiran yang bertentangan, sebab tidak mungkin bagi pikiran manusia dan ruh manusia untuk menyatu secara total dengan pikiran Tuhan dan Wujud-Nya.
Pasti ada perbedaan yang tetap antara kedua proses pemikiran, dibarengi benturan-benturan yang sangat mengganggu gelombang-gelombang otak. Kasus semacam ini tepatnya ditangani oleh seorang psikiater superhuman. Mungkin ini sebuah jenis baru schizofrenia (penyakit jiwa) ruhaniah .
Dengan mengatakan demikian, mari kita bangun kembali seluruh skenario dari sudut lain. Setelah mempelajari kekristenan pada kedalaman tertentu, saya sampai pada kesimpulan bahwa terdapat kerancuan umum dalam memahami beberapa istilah dari terapannya, tanpa memahami penuh dampak-dampaknya terhadap situasisituasi yang sebenarnya tidak tepat. Ideologi Kristen diselubungi oleh kabut tebal kerancuan dan kesalahan dalam menerapkan istilah. Revival (siuman) adalah istilah tersendiri, sedangkat resurrection (kebangkitan kembali) lain lagi, dan keduanya memiliki makna berbeda. Sejauh ini, kami sengaja menggunakan istilah revival (siuman) ketika membincangkan kemungkinan hidupnya Yesus kembali. Sebagaimana yang telah kita saksikan dari pembahasan sebelumnya, ‘hidup kembali' berarti kembalinya seluruh fungsi vital tubuh manusia sesudah ‘mati’. Namun, kebangkitan kembali' (resurrection) adalah suatu fenomena yang benar-benar berbeda.
Sayangnya, gereja Kristen, di seluruh dunia, bertanggungjawab atas penciptaan kerancuan dalam pemikiran-pemikiran Kristen melalui penggunaan yang salah terhadap istilah-istilah tersebut, dan dengan cara menukarnya satu sama lain, atau paling tidak dengan cara menisbahkan makna yang satu terhadap lainnya. Kebanyakan orang Kristen memahami kebangkitan (resurrection) Yesus Kristus sebagai hidupnya sekali lagi tubuh manusia beliau yang telah beliau tinggalkan pada saat apa yang disebut sebagai kematian beliau. Tentu kami tidak sependapat dengan itu, dan tetap menggunakan hak kami untuk menyatakannya sebagai kondisi koma total dan bukan kematian.
Jika dipahami dan diterapkan secara benar, kata ‘kebangkitan Yesus' tidak dapat berarti kembalinya ruh beliau ke dalam tubuh manusia yang sama yang telah ditinggalkannya pada saat mati. Istilah ‘kebangkitan' (resurrection) hanya berarti kelahiran/penciptaan sebuah tubuh ruhani baru. Tubuh semacam itu bersifat ruhaniah, dan berfungsi sebagai semacam wadah bagi ruh yang telah disucikan dalamnya. Ia telah diciptakan untuk kelangsungan abadi bagi kehidupan sesudah mati. Sebagian orang menyebutnya tubuh sidereal body (tubuh nyata sampingan) atau astral body (tubuh ruhani), dan sebagian menyebutnya athma. Apa pun nama yang anda berikan untuknya, makna intinya tetap sama; ‘kebangkitan' digunakan bagi kelahiran tubuh baru bagi ruh yang bersifat sangat halus, dan bukan, kami ulangi, bukan kembalinya ruh ke dalam tubuh manusia yang sama yang telah rusak dan yang telah ditinggalkan sebelumnya.
Paulus telah memberikan ulasan/komentar panjang lebar dengan menggunakan istilah ini mengenai kebangkitan Yesus Kristus. Dia percaya tidak hanya pada kebangkitan Yesus, tetapi kebangkitan secara umum semua orang yang mati dan dianggap pantas oleh Tuhan untuk diberi sebuah eksistensi baru dan sebuah bentuk kehidupan baru. Kepribadian sang ruh tetap sama, tetapi tubuh/cangkangnya berubah: Menurut Paulus, ini adalah fenomena umum yang harus diterima, jika tidak, tidak ada makna yang tersisa bagi kekristenan atau agama.
Surat-surat Paulus kepada orang-orang Korintius harus dipelajari secara mendalam, sebab merupakan titik pusat permasalahan. Surat-surat itu tidak menyisakan tempat bagi keraguan, dalam pikiran saya paling tidak, yakni bila saja dia berbicara tentang telah terlihatnya Yesus hidup-hidup setelah Penyaliban, dia berbicara secara jelas dan tanpa kerancuan mengenai kebangkitan dan kebangkitan beliau semata, serta tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa ruh Yesus telah kembali masuk ke dalam tubuh beliau yang tidak abadi itu, dan bahwa beliau telah dibangkitan kembali dari kematian dalam istilah fisik. Jika pemahaman saya tentang Paulus tidak dapat diterima oleh beberapa theolog Kristen, mereka akan terpaksa mengakui bahwa Paulus secara nyata menempatkan dirinya pada pertentangan. Sebab, paling tidak dalam beberapa penjelasannya mengenai kehidupan baru Yesus, dia tidak meninggalkan unsur keraguan sedikit pun bahwa dia memahami kehidupan baru Yesus itu sebagai kebangkitan (resurrection) dan bukan sebagai hidupnya kembali (revival) tubuh manusia, di mana dikatakan tempat ruhnya pernah terkurung.
Berikut ini beberapa kutipan terkait yang berbicara dengan sendirinya: Allah, yang membangkitkan Tuhan (Yesus), akan membangkitkan kita juga oleh kuasa-Nya. (Korintius I, 6:14).
Demikianlah pula halnya dengan kebangkitan orang mati. Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan. Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan. Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan. Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh ruhaniah. (Korintius I, 15:42-44). Sebab nafiri akan berbunyi dan orang-orang mati akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah. Karena yang dapat binasa ini harus mengenakan yang tidak dapat binasa, dan yang dapat mati ini harus mengenakan yang tidak dapat mati. Dan sesudah yang dapat binasa ini mengenakan yang tidak dapat binasa dan yang dapat mati ini mengenakan yang tidak dapat mati, maka genaplah firman Tuhan yang tertulis: ‘Maut telah ditelan dalam kemenangan.' (Korintius I, 15:52-54). Tetapi hati kami tabah, dan terlebih suka kami beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan. (Korintius II, 5:8).
Permasalahan yang masih harus dipecahkan timbul dari referensi Paulus kepada warga Kristen masa awal mengenai bagaimana Yesus telah kelihatan hidup dalam tubuh beliau segera sesudah Penyaliban. Jika Paulus memahami bahwa Yesus telah mengalami kebangkitan, dia dapat saja benar tentunya, dan mimpi/rukya pribadinya tentang Yesus atau bersama beliau dapat dijelaskan dalam makna kebangkitan seperti berkunjungnya ruh seorang yang telah mati dari dunia lain, yang menuntut sang hantu untuk tampil persis seperti bentuk dan rupa sebelum kematian. Namun, tampaknya terjadi kerancuan atas tercampurnya dua jenis bukti. Pertama-tama kita harus mempertimbangkan bukti terdahulu dari para murid Yesus dan mereka yang mencintai dan memuja beliau, walaupun mereka mungkin secara formal belum masuk Kristen saat itu. Bukti tersebut tampaknya telah salah dipahami oleh Paulus, sebab bukti itu secara jelas menyatakan Yesus dalam bentuk manusianya dengan sebuah tubuh lahiriah yang tidak dapat ditafsirkan sebagai kebangkitan.
Untuk membuktikan hal itu, orang dapat merujuk pada episode ketika Yesus mengejutkan beberapa murid beliau: Mereka terkejut dan takut dan menyangka bahwa mereka melihat hantu. Akan tetapi ia (Yesus) berkata kepada mereka: "Mengapa kamu terkejut dan apa sebabnya timbul keragu-raguan dalam hati kamu? Lihatlah tanganku dan kakiku. Aku sendirilah ini; rabalah aku dan lihatlah, karena hantu tidak ada daging dan tulangnya, seperti yang kamu lihat padaku." Sambil berkata demikian, ia memperlihatkan tangan dan kakinya kepada mereka. Dan, ketika mereka belum percaya karena girangnya dan masih heran, berkatalah ia kepada mereka: "Adakah padamu makanan di sini?" Lalu mereka memberikan kepadanya sepotong ikan goreng. Ia mengambilnya dan memakannya di depan mata mereka. (Lukas 24:37-34).
Episode ini secara jelas menyingkirkan pemikiran tentang kebangkitan, dan menyatakan bahwa Yesus ingin memperlihatkan secara jelas bahwa beliau masih merupakan orang sama dalam tubuh manusia yang sama dan bukan hantu; dan tidak pula beliau merupakan seseorang yang tidak lagi membutuhkan makanan untuk bertahan hidup. Hal ini lebih lanjut menunjukkan bahwa warga Kristen masa awal menyatakan dua hal yang berbeda. Bila saja mereka berbicara tentang hidupnya kembali Yesus dari kematian dan telah dihadang oleh keraguan tentang betapa tidak masuk akalnya pemikiran seperti itu, mereka berlindung pada gagasan kebangkitan, yang secara falsafah dan logika dapat dijelaskan. Korintius I, khususnya, menampilkan peluang yang bagus untuk mempelajari dilema bagaimana menempatkan kaki seseorang pada dua buah perahu yang berbeda.
Akhimya, kembali pada bukti perjumpaan warga Kritsten masa awal dengan Yesus Kristus, kita tidak diberi pilihan kecuali mempercayai bahwa Yesus yang telah tampil di hadapan banyak murid dan sahabat beliau segera setelah Penyaliban, yang telah bercakap-cakap dengan mereka, yang telah [duduk] bersama-sama mereka, dan secara bertahap berpindah menjauhi tempat Penyaliban, kebanyakan dalam kegelapan malam, sudah pasti bukanlah orang yang telah dibangkitkan, tetapi orang yang secara fisik telah dihidupkan kembali dari kematian, atau orang yang tidak pernah mati tetapi secara mukjizat telah pulih dari kondisi yang mendekati mati. Beliau memang sudah sangat dekat dengan kematian, sehingga kondisi beliau dapat disebandingkan dengan kondisi Nabi Yunus dalam perut ikan. Kami tidak ragu dalam pemikiran kami, bahwa pilihan terakhir ini satusatunya yang dapat diakui.
Guna memudahkan kaum Kristen untuk memahami sudut pandang kami, saya akan memaparkan kasus hipotetis yang sama. Cerita yang sama diulangi kembali dalam kehidupan nyata zaman sekarang. Rencana untuk membunuh seseorang dilakukan dengan cara menyalibkannya, dan dia diperkirakan akan mati sebagai akibatnya. Setelah itu, orang yang sama tampak berkeliaran oleh beberapa rekan dekatnya. Mereka juga menyaksikan tubuh lahiriahnya yang tampak jelas mengandung bekasbekas penyaliban. Kemudian orang itu ditangkap kembali oleh petugas hukum dan diseret ke pengadilan dengan tuntutan dari pihak kejaksaan, yakni dikarenakan dia telah terhindar dari maut dalam rencana pertama maka untuk menjalani hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya, dia harus disalib kembali. Orang itu kemudian membela diri dengan memaparkan argumentasi bahwa dia satu kali sudah pasti dapat mati, sehingga tujuan hukuman telah terpenuhi; dan sekarang dia telah dibangkitkan dari kematian oleh suatu keputusan khusus dari Tuhan, maka hukuman yang terdahulu itu tidak dapat dilaksanakan kembali, sebab dia memperoleh suatu kehidupan yang benar-benar baru, yang di dalamnya dia tidak melakukan pelanggaran hukum apa pun. Jika pengadilan menerima pembelaan ini, sudah jelas dia tidak akan dihukum lagi untuk suatu kesalahan yang telah dia tebus.
Yesus, telah tumbuh menjadi salah satu dan pilar-pilar keimanar Kristen, yang tanpanya maka seluruh bangunan theologi Kristen akan rubuh? Kami akan berusaha memproyeksikan diri kami ke dalam pemikiran-pemikiran warga Kristen awal yang menghadapi suatu dilema yang sulit sekali dipecahkan, dan mulai merekonstruksi kondisikondisi yang dalamnya kekristenan telah diberikan sebuah bentuk yang berbeda dari kenyataannya. Dengan cara ini mungkin akan lebih mudah bagi kami untuk memahami secara mendalam proses pembentukan dan perombakan Kristen. Fakta nyata yang harus menjadi pusat pemikiran adalah: jika Yesus alaihissalam benar-benar telah mati di tiang salib, maka pada pandangan orang-orang Yahudi beliau itu jelas-jelas tampil sebagai seorang pendusta.
Bahasa Keji Terhadap Orang Suci
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Bibel telah memperkirakan bahwa penda'wa palsu, yang menyebutkan sesuatu berasal dari Tuhan padahal Dia tidak mengatakannya, akan digantung di pohon kayu. Oleh karena itu, kematian Yesus di tiang salib akan berarti kematian bagi Kristen. Itulah sebabnya literatur agama Yahudi yang, autentik dipenuhi oleh kesenangan terhadap kematian Yesus di tiang salib. Beliau dianggap telah terbukti palsu/dusta, tanpa ragu sedikit pun, oleh Yahudi musuh beliau saat ini, berdasarkan ayat Bibel tersebut. Mereka bahkan kehilangan rasa hormat terhadap beliau dan telah menggunakan kata-kata kotor serta caci-maki terhadap beliau, yang tidak sanggup dibaca oleh siapa pun yang mencintai Yesus, seperti kami, sebagai seorang utusan Allah yang benar, tercinta, dan suci. Orang dapat membayangkan keperihan mendalam serta penderitaan hebat para warga Kristen awal yang telah mengenal Yesus sebagai seorang suci dan rasul sejati dari Tuhan, yang ditunjuk secara khusus sebagai Almasih. Bagaimana mereka akan membela diri mereka terhadap serangan gencar kata-kata kotor tersebut, tatkala membaca saat ini dalam konteks masa sekarang, membayangkan buku bejad Salman Rushdie, The Satanic Verses?
Tidak adanya sama sekali rasa hormat sedemikian rupa terhadap sopan-santun yang dilakukan oleh keduanya tampak muncul dari kedalaman degradasi (kemunduran akhlak) manusia. Kutipan berikut ini akan memberikan beberapa gambaran bagi para pembaca, yakni apa yang terjadi pada segenap nilai kesopanan manusia apabila para penentang fanatik orang-orang suci memilih untuk menjadikan orang-orang itu sebagai sasaran kekurangajaran mereka, cercaan-cercaan mereka yang jahat serta menyimpang.
Talmud, kitab doktrin yang merinci segenap ilmu dan keimanan orang-orang Yahudi, telah mengajarkan bahwa Yesus tidak hanya dilahirkan secara tidak sah, tetapi lebih kurang ajar lagi dengan menganggap beliau dilahirkan dari perkawinan Maryam dengan setan ketika mengalami menstruasi. Lebih lanjut kitab itu menjelaskan bahwa beliau memiliki ruh Esau; yakni beliau itu seorang tolol, tukang sihir, penggoda; dan bahwa beliau telah disalibkan, dikubur di neraka dan telah dijadikan sebagai berhala oleh para pengikutnya. Kutipan berikut diambil dari buku The Talmud Unmasked, oleh Pendeta I.B. Pranaitis.
Berikut ini diceritakan dalam Risalah Kallah, lb (18b): "Suatu kali, ketika para Tetua duduk di Gerbang, dua anak muda lewat, seorang di antaranya mengenakan tutup kepala. Yang satu lagi kepalanya tidak tertutup. Rabbi Eliezer menyatakan bahwa yang tidak bertutup kepala adalah tidak sah (anak haram), seorang mamzer. Rabbi Jehoschua mengatakan bahwa dia dikandung pada masa menstruasi, ben niddah. Akan tetapi Rabbi Akibah mengatakan, dia kedua-duanya. Atas hal itu, yang lain bertanya pada Rabbi Akibah, mengapa dia berani bertentangan dengan rekan-rekannya? Dia menjawab, dia dapat membuktikan apa yang telah dia ucapkan. Dia pergi kepada ibu anak itu yang dia lihat duduk di pasar menjual sayuran, dan mengatakan kepadanya: ‘Putriku, jika engkau akan menjawab sejujurnya apa yang akan saya tanyakan ini kepadamu, saya berjanji bahwa engkau akan selamat di akhirat.' Perempuan itu memohon agar dia (Rabbi) bersumpah untuk memegang janjinya, dan Rabbi Akibah melakukan hal itu — tetapi hanya dengan bibirnya, sebab dalam hatinya dia tidak memberlakukan sumpahnya itu. Kemudian dia berkata: ‘Katakan, anakmu ini anak yang bagaimana?' Perempuan itu menjawab: ‘Hari ketika saya kawin saya mengalami menstruasi, dan karena itu suami saya meninggalkan saya. Namun ruh setan datang dan tidur bersama saya dan dari persetubuhan itu putraku ini lahir.’ Dengan itu telah terbukti bahwa anak muda ini tidak saja tidak sah (anak haram), tetapi juga dikandung dalam masa menstruasi oleh ibunya. Dan ketika para penanyanya itu mendengar hal ini, mereka menyatakan: ‘Hebat Rabbi Akibah, sebab dia meralat para Tetuanya!' Dan mereka menyatakan, ‘Beberkatlah Tuhan Israel, yang telah membukakan rahasia-Nya kepada Rabbi Akibah, putra Yusuf!" Orang-orang Yahudi memahami cerita ini ditujukan kepada Yesus dan ibunya, Maryam, secara jelas dipaparkan dalam buku mereka Toldath Jeschu - Generasi Yesus — di mana kelahiran Juru Selamat kita diceritakan dalam kata-kata yang hampir sama.1
Seluruh rasa sopan-santun yang ada dalam diri manusia bergejolak menentang kotoran berbau busuk menyengat ini, yang telah ditumpukkan di atas nama dan gambaran/sosok suci Yesus pada literatur para penentangnya yang sangat memusuhi. Jelas, Yesus dikandung oleh seorang wanita perawan suci yang bemama Maryam, dan tidak ada pihak lain yang memainkan peranan dalam pembuahan [si anak] kecuali kudrat penciptaan tak terbatas dari Tuhan kita. Pemikiran tentang terjadinya pembuahan melalui persetubuhan dengan setan sewaktu menjalani masa haid, jauh lebih tepat ditujukan pada pikiran yang mengandung kebejadan tersebut. Tidak ada istri orang-orang suci dan tidak pula ibu-ibu mereka yang terhindar dari lidah-lidah dan pena-pena orang bejad yang meludahkan bisa racun serta kekurangajaran. Tidak ada bedanya, apakah orang gila seperti itu hidup 2000 tahun lalu atau dilahirkan pada zaman sekarang. Sungguh mengherankan, bahkan masyarakat yang paling beradab sekali pun pada zaman sekarang ini dapat menutup mata mereka terhadap kebiadaban tersebut dan agak mengizinkan serangan-serangan menyolok itu atas nama kebebasan menggunakan lidah dan pena.
Bahasa yang digunakan Salman Rushdie, umpamanya, terhadap istri-istri suci Rasul Suci Islam, bukannya tidak persis dengan bahasa yang telah digunakan terhadap bunda suci Kristus:
Juga diriwayatkan dalam Sanhedrin, 67a:

‘Inilah yang telah mereka lakukan pada putra Stada di
Lud, dan mereka menggantungnya pada perayaan
Paskah. Sebab putra Stada merupakan putra Pandira.
Sebab Rabbi Chasda mengatakan kepada kami bahwa
Pandira adalah suami Stada, ibunya, dan dia hidup pada
masa Paphus putra Jehuda.

Penulis buku The Talmud Unmasked, Pendeta I.B.Pranaitis memberikan ulasan berikut ini terhadap ayat-ayat yang dikutip di atas:

‘Artinya adalah, Maryam ini disebut Stada, yakni
seorang pelacur, sebab, berdasarkan apa yang telah
diajarkan di Pumbadita dia meninggalkan suaminya dan
melakukan perzinahan. Hal ini juga tertera pada Talmud
Jerusalem dan Maimon.’
‘Apakah mereka yang mempercayai kedustaan
kedustaan setaniah seperti itu pantas memperoleh
kebencian yang lebih besar atau kasih-sayang yang lebih
besar, saya tidak dapat mengatakannya.'

Ini jelas merupakan jeritan penderitaan dari hati seorang korban tak berdaya yang merasa perih atas penghinaan fanatik terhadap junjungannya yang tercinta. Para warga Kristen masa awal tentu telah mengalami penderitaan yang lebih besar dan menjalani masa perih atas penghinaan orang-orang Yahudi zaman itu. Mereka mengalami cercaan, yang ditujukan bukan kepada seseorang yang kenangan tentangnya telah terkubur di masa lalu, tetapi kepada seseorang yang kenangan penuh cinta tentangnya masih segar dan hidup, dan yang sangat dicintai oleh mereka yang telah melihatnya dan telah mengalami saat-saat yang indah dalam hidup mereka bersamanya. Mereka tersiksa dua kali lipat, sebab tidak hanya penghinaan keji yang melukai mereka, tetapi penghinaan lebih lanjut ditambahkan pada luka tersebut melalui penderitaan Yesus Kristus selama penangkapan dan upaya penyaliban beliau.
Saya hanya menghendaki agar hati nurani orang-orang Kristen dari Barat yang bebas, setidaknya melakukan sesuatu untuk memahami penderitaan dan kesedihan mendalam yang dialami oleh milyaran umat Islam yang sudah pasti tersiksa tidak kurang dari itu ketika bahasa tidak manusiawi telah digunakan terhadap Junjungan Mulia mereka dan para sahabat beliau.
Orang-orang Kristen masa awal mengalami semua itu sedangkan mereka secara pribadi mengetahui dan memiliki bukti tak terbantahkan bahwa Yesus masih hidup [saat itu] dan tidak mati di tiang salib seperti yang digembargemborkan oleh orang-orang Yahudi. Mereka sendiri yang telah merawat luka-luka beliau. Mereka menyaksikan beliau pulih secara mukjizat dari kondisi koma ketika tubuh beliau diserahkan kepada mereka, dan telah melihat beliau dengan mata mereka sendiri, bukan dalam bentuk bayangan atau hantu, tetapi dalam tubuh lemah manusia sama yang telah mengalami penderitaan begitu besar demi kebenaran dan yang telah selamat dari kematian secara mukjizat. Mereka berbicara dengan beliau, makan bersama beliau dan menyaksikan beliau bergerak selangkah demi selangkah, malam demi malam, dengan penuh rahasia, menjauhi kawasan Penyaliban.

The Talmud Unmasked, oleh Pendeta I.B. Pranairis, bab I, p.30 103
Kenaikan
Masalah Kenaikan Yesus Kristus tidak disentuh oleh Matius dan Yahya dalam Injil-injil mereka. Tidak adanya pemaparan peristiwa penting seperti itu menimbulkan tanda tanya pada orang.
Dua Injil yang memaparkan Kenaikan [Almasih] hanyalah Markus2 dan Lukas3 . Namun, penelitianpenelitian yang ilmiah dan mendalam telah membuktikan bahwa hal-hal yang terkandung dalarn kedua Injil ini merupakan tambahan di belakang hari. Ayatayat ini tidak terdapat pada teks-teks aslinya.
Codex Sinaiticus, berasal dari abad ke-4 dan merupakan teks Perjanjian Lama serta Perjanjian Baru yang paling tua dan mendekati sempurna.4 Kitab ini memberikan kesaksian mengenai fakta bahwa ayat-ayat tersebut tidak termaktub di kedua Injil, Markus dan Lukas dalam versi asli, melainkan pasti telah ditambahkan belakangan oleh beberapa penulis atas inisiatif sendiri. Dalam Codex Sinaiticus, Injil Markus berakhir hingga bab 16 ayat 8. Fakta ini sekarang diakui oleh beberapa Bibel edisi modern.5 Demikian pula, Injil Lukas (24:15) dalam Codex Sinaiticus tidak memuat kata-kata ‘terangkat ke sorga.’
Menurut kritikus Bible, C.S.C.Williams, jika tidak dicantumkannya hal-hal tersebut pada Codex Sinaiticus itu merupakan sesuatu yang benar, rnaka tidak ada rujukan sama sekali bagi Kenaikan [Almasih] pada teks asli Injil-injil.6
Bahkan Saksi Yehova, yang paling bersemangat dalam mendukung masalah Yesus sebagai Anak Tuhan dan kenaikannya ke Tuhan Bapak, pada akhimya telah mengakui bahwa ayat-ayat Markus dan Lukas tersebut merupakan tambahan-tambalhan tanpa suatu dasar pada teks-teks asli.7

Apa yang Terjadi Pada Tubuh Yesus?
Pengamatan yang cermat dari sudut pandang akal sehat data logika, menguakkan kemustahilan-kemustahilan lebih lanjut yang melekat pada episode-episode Penyaliban serta Kenaikan [Almasih], seperti yang dikernukakan oleh orang-orang Kristen zaman sekarang.Sejauh yang berkaitan dengan kembalinya Yesus ke New World Translation.dalam tubuh manusianya, cukup banyak yang sudah dipaparkan. Kami hanya ingin menambahkan tentang apa yang dapat terjadi pada tubuh Yesus apabila akhirnya naik [ke langit], jika memang beliau pernah.
Bila dihadang oleh pertanyaan apa yang terjadi pada tubuh Yesus Kristus, maka dikemukakan oleh beberapa orang Kristen bahwa beliau telah naik kepada Bapak-nya di sorga dan tubuh jasmani beliau terurai dan menghilang dalam cahaya. Hal ini menimbulkan pertanyaan fundamental. Jika kepergian Yesus dari tubuh manusianya memang harus terjadi dalam suatu peristiwa ledakan, mengapa hal itu tidak terjadi langsung pada saat kematian pertama beliau? Rujukan satu-satunya yang kita peroleh dalam Bibel mengenai kematian Yesus adalah ketika beliau masih tergantung di tiang salib dan dalam kata-kata Matius, ‘dia telah menyerahkan nyawanya’ (Matius 27:50). Rupanya, tidak ada yang terjadi kecuali keberangkatan ruh secara lembut meninggalkan tubuh. Apakah kita akan menganggap bahwa beliau tidak mati di tiang salib sama sekali, sebab bila beliau telah meninggalkan tubuh tersebut, harus terjadi ledakan dalam bentuk yang sama? Mengapa hal itu terjadi hanya pada kali kedua Yesus meninggalkan tubuhnya? Dalam kondisi demikian hanya ada dua kemungkinan yang terbuka lebih lanjut:
1. Yesus tidak secara kekal tertahan dalam tubuh manusia setelah ruhnya kembali ke dalam tubuh tersebut, dan selama kenaikannya dia membuang tubuh manusianya dan naik secara murni sebagai suatu ruh Tuhan.
Hal ini tidak didukung oleh fakta-fakta dan tidak pula mungkin, sebab hal itu akan mengarah pada jalan buntu, yakni mempercayai bahwa Yesus telah mati dua kali. Pertama di tiang salib dan kedua pada waktu Kenaikan.
2. Beliau tetap tertahan dalam raga manusia seutuhnya.
Hal ini tidak dapat diterima, sebab benar-benar menjijikkan dan bertentangan dengan kemuliaan serta keagungan sosok Tuhan.
Di sisi lain, kita memiliki sebuah sudut pandang akal sehat; Akan merupakan suatu kekeliruan apabila memahami kenaikan Yesus itu sebagai semacam perjalanan luar angkasa di masa lampau, dan surga merupakan sebuah tempat jauh di balik matahari, bulan dan galaksi-galaksi.’ Kebenaran tidak ada pada pilihan pertama maupun kedua.8 Oleh karenanya, penyisipan kisah aneh semacam itu hanya dapat terdorong oleh dilema tak terpecahkan yang dihadapi orang-orang Kristen pada masa kelahiran agama Kristen. Ketika Yesus hilang dari pandangan, secara alami pertanyaan yang timbul adalah, apa yang telah. terjadi pada beliau. Orang-orang Kristen masa awal tidak dapat memecahkan kebingungan itu dengan cara menyatakan secara terbuka bahwa disebabkan Yesus belum pernah mati [sebelumnya] maka tidak ada permasalahan mengenai tubuh yang ditinggalkan dan tentang tubuhnya yang secara fakta telah pergi bersama beliau dalam perpindahan tersebut. Dengan cara ini masalah lenyapnya tubuh Yesus, dapat dipecahkan secara mudah. Namun, pengakuan seperti tersebut tidak mungkin dilakukan saat itu. Mereka yang berani mengaku bahwa Yesus terlihat [masih] hidup dan bergerak secara bertahap menjauh dari Judea akan menghadapi risiko disalahkan oleh Hukum Romawi sebagai kaki tangan kejahatan melarikan diri dari keadilan.
Berlindung di balik cerita sisipan seperti kenaikan Yesus ke sorga telah memberikan sebuah pilihan yang lebih aman, walau betapa pun anehnya pemikiran tersebut. Namun jelas hal itu pun akan merupakan suatu keterlibatan dalam kedustaan. Kita harus memberikan kehormatan pada kejujuran para murid awal [Yesus] yang dalam kondisi berbahaya demikian pun mereka tidak mencari perlindungan di balik pernyataan dusta. Segenap penulis Injil memilih tidak bersuara dalam masalah ini, daripada berlindung di balik tabir pernyataan-pernyataan keliru. Tidak diragukan lagi, mereka telah mengalami derita cemoohan dari para musuh mereka, tetapi mereka memilih menderita dalam bungkam.
Kebungkaman misterius pada pihak mereka yang mengetahui kisah nyata, tentu lebih bertanggung-jawab dalam menumbuhkan lebih besar bibit-bibit keraguan pada pikiran-pikiran warga Kristen dari generasi-generasi belakangan. Mereka tentu heran: mengapa, setelah ruh Yesus Kristus pergi, tidak ada disebutkan tentang tubuhnya yang tertinggal? Kemana perginya tubuh itu, dan apa yang telah terjadi pada tubuh tersebut? Mengapa ruh Kristus kembali kepada tubuh yang sama jika memang pemah dia tinggalkan? Pertanyaan vital akan tetap tidak terjawabkan ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain. Jika revival (hidup kembali) itu berarti kembali ke tubuh semula, apa yang telah terjadi pada Yesus Kristus setelah masa pemenjaraannya yang kedua dalam kerangkeng tubuh manusia tersebut? Apakah beliau tetap terikat dalam tubuh itu, tidak pernah dilepaskan lagi?
Di sisi lain, jika ruh Yesus sekali lagi keluar dari tubuh yang sama, maka apakah revival (hidup kembali) tersebut bersifat sementara ataukah permanen? Jika beliau tidak tetap terikat dalam tubuh itu, maka apa yang terjadi pada tubuh beliau sesudah kematian yang kedua? Di mana tubuh tersebut dikuburkan, dan apakah ada pernyataan tentang hal itu dalam arsip atau catatan manapun?
Tampaknya pertanyaan-pertanyaan ini, kalau pun tidak timbul pada masa awal, pasti telah timbul pada abad-abad belakangan ketika upaya-upaya filosofis yang sungguhsungguh mengenai misteri Kristus dan segenap yang berkaitan dengan beliau disaksikan secara luas di kalangan para theolog Kristen. Tampak bahwa beberapa penulis tak bermoral mencoba keluar dari [benang kusut] itu dengan cara melakukan penyisipan pada 12 ayat terakhir dalam Injil Markus, dan secara dusta menisbahkan pada Markus pemyataan bahwa Yesus terakhir kali terlihat naik ke sorga dengan tubuh yang sama.
Penyisipan juga tidak mengecualikan Injil Lukas, di mana sisipan pintar kalimat "dan [dia] terangkat ke sorga" pada bab 24 ayat 51 memenuhi maksud para penyisip. Dengan cara demikian penyisipan itu telah menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan itu seluruhnya. Paling tidak sebuah misteri dogma Kristen telah terpecahkan. Namun, dengan imbalan apa? Dengan imbalan [rusaknya] fakta-fakta mulia mengenai sosok suci sejati Yesus Kristus. Fakta tentang Kristus telah dikorbankan di atas altar cerita khayal. Sejak saat itu, ajaran Kristen berlanjut semakin menjadi-jadi dan tidak terkendali dalam perjalanan perubahannya dari kenyataan-kenyataan menuju cerita khayal.
Kita mengetahui dengan pasti bahwa orang-orang Yahudi saat itu kesal dan geram tidak menemukan tubuh Yesus Kristus.9 Mereka ingin memastikan kematian Yesus dan untuk itu mereka membutuhkan bukti kematian yang dapat diterima secara universal, yakni, keberadaan tubuh mayat. Pengaduan mereka, yang ditujukan pada Pilatus, jelas memperlihatkan kegelisahan mereka tentang potensi lenyapnya tubuh tersebut.10
Akan tetapi jawaban yang sebenarnya dan sederhana adalah, terletak pada fakta bahwa disebabkan Kristus saat itu tidak mati sebagaimana yang dipercayai, maka pertanyaan tentang tubuh yang hilang sama sekali tidak relevan, dan dalam menepati janjinya beliau harus pergi meninggalkan Judea untuk mencari domba-domba Bani Israil yang telah hilang. Jelas, beliau tidak dapat dilihat lagi.
Pandangan Muslim Ahmadi
Pandangan Muslim Ahmadi tentang keberadaan tubuh Yesus sangat jelas, logis dan berdasarkan kenyataan. Pandangan ini menampilkan Yesus dan apa yang telah terjadi pada diri beliau dalam siraman cahaya kebenaran, dimahkotai oleh keagungannya. Kenyataan hakiki Yesus Kristus begitu indah sehingga tidak perlu membubuhkan hiasan misteri di sekeliling beliau. Kenyataan [hidup] beliau meliputi penderitaan beliau demi manusia berdosa sepanjang hidup beliau yang berpuncak pada penderitaan Penyaliban, pembebasan beliau dari tiang salib sebagaimana dijanjikan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pemurah, serta hijrah beliau dalam mencari sepuluh suku Israil yang hilang.
Dengan demikian beliau telah menyampaikan amanat Tuhan tidak hanya kepada dua suku yang telah beliau hubungi sebelum Penyaliban, tetapi beliau juga telah menemukan seluruh suku Israel lainnya dan memenuhi tujuan tugas beliau. Belakangan barulah beliau memenuhi seluruh tujuan kerasulan beliau. Inilah kenyataan-kenyataan mulia dan penuh ilustrasi pada kehidupan Yesus.
Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, menyatakan sekitar seratus tahun lalu bahwa Yesus, seorang nabi Allah yang benar, telah diselamatkan dari tiang salib sebagaimana telah dinyatakan secara tidak langsung dalam ucapan-ucapan beliau sebelumnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, berdasarkan bimbingan Samawi, telah menguakkan tabir misteri dari kenyataankenyataan brilian kehidupan Yesus. Beliaulah yang telah menda'wakan di hadapan kemarahan mayoritas umat Islam ortodoks bahwa Yesus tidak mati di tiang salib, tidak pula telah naik dengan tubuh kasar ke sorga, melainkan secara mukjizat telah dilepaskan hidup-hidup dari tiang salib sesuai janji Allah. Setelah itu Yesus hijrah mencari domba-domba hilang Bani Israil sebagaimana beliau sendiri telah berjanji.
Dengan menelusuri rute yang diperkirakan jalur hijrah suku-suku Israel, orang dapat memperkirakan secara mudah bahwa beliau pasti telah melewati Afghanistan dalam perjalanan beliau ke Kashmir dan tempat-tempat lain di India, lokasi dilaporkannya keberadaan suku-suku Israel.
Terdapat bukti sejarah yang kuat bahwa orang-orang Afghanistan dan Kashmir keduanya berasal dari suku-suku imigran Yahudi. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad menyatakan bahwa Yesus akhirnya wafat dan dikebumikan di Srinagar, Kashmir.
Ketika orang-orang Ahmadi memaparkan uraian ini sebagai pemecahan yang masuk akal dan realistik terhadap lenyapnya tubuh Yesus dari negeri kelahiran beliau, sering mereka dihadapkan pada bantahan, bahwa walaupun telah dibuktikan bahwa beliau diturunkan dalam keadaan hidup dari tiang salib, lebih tidak mungkin beliau melakukan perjalanan penuh bahaya dari Judea ke Kashmir. Mendengar bantahan ini orang-orang Ahmadi heran, mana jarak yang lebih jauh, dari Palestina ke Kashmir ataukah dari bumi ke batas terjauh langit. Sekali lagi, orang-orang Ahmadi heran, apa yang telah terjadi dengan janji Yesus Kristus bahwa beliau akan pergi mencari domba-domba hilang Bani Israel? Jika beliau telah pergi langsung dari Palestina untuk duduk di sebelah kanan Bapak beliau, apakah beliau lupa terhadap tanggung-jawab beliau ataukah janji beliau itu tidak mungkin beliau laksanakan? Apakah memang demikian, atau seperti yang telah kami paparkan sebelumnya, apakah harus diyakini bahwa domba-domba hilang Bani Israil telah terlebih dahulu naik ke langit sehingga Yesus pergi ke sana untuk mencari mereka?
Kasus-kasus Selamatnya [Orang dari Kematian]
Bagi mereka yang masih sulit percaya bahwa skenario Yesus telah diturunkan dalam keadaan masih hidup dari tiang salib itu jauh lebih tidak mungkin dan tidak dapat diterima, kami menarik perhatian mereka pada fakta yang didukung oleh pengetahuan dan sejarah yang tercatat tentang selamatnya manusia dari kondisi-kondisi sangat berbahaya, [sehingga] kasus Yesus, seperti yang telah kami paparkan, bukanlah suatu hal yang aneh dan tidak mungkin untuk diterima. Banyak kasus ‘mendekati kematian' yang dilaporkan secara medis dan diakui, mengetengahkan sejumlah bukti yang mendukung selamatnya orang-orang dari kondisi-kondisi yang sangat tidak mungkin.
Kasus yang terekam secara baik tentang seorang maharaja di sebuah negeri kecil sebelum perpecahan India, tepat untuk dipaparkan. Dia ditempatkan pada kondisi serupa yang tidak mungkin, di mana dia hanya memiliki peluang kecil untuk selamat. Sang maharaja ini diracuni oleh istrinya dan ketika tubuhnya sedang dikremasi dengan api yang menyala-nyala, sebuah badai dahsyat tiba-tiba saja muncul. Akhirnya dia tidak hanya selamat dari kematian tetapi setelah melalui upaya hukum yang cukup panjang dia dikukuhkan kembali di singgasananya. Kisahnya adalah sebagai berikut:
Ramendra Narayan Roy, Kumar (Maharaja) Bhowal Estate dengan pusat Mahkamah Agungnya di Joydevpur, diperkirakan telah diracun dan langsung dinyatakan mati serta disemayamkan untuk kremasi di tempat pembakaran pada bulan Mei 1909. Kondisi-kondisi menunjukkan bahwa istrinya sebagai pemeran utama dalam upaya pembunuhan tersebut. Sebuah badai besar, sebelum selesai kremasi, mengakibatkan petugas yang bertanggung-jawab untuk membakar mayat terburu-buru pergi meninggalkan jasad tersebut. Hujan mengakibatkan api padam. Segerombolan sadhu (orang-orang fakir Hindu) yang kebetulan lewat, melihat bahwa orang itu masih hidup. Akhirnya dia ditolong. Hari berikutnya diketahui oleh orang-orang yang bersekongkol bahwa tubuh itu telah lenyap, mereka mengkremasi mayat lain untuk membuat kematian sang Kumar tampak seperti nyata.
Para sadhu yang telah menyelamatkannya, membawanya dari satu tempat ke tempat lain. Pengalaman mendekati mati itu mengakibatkan sang Kumar kehilangan ingatannya tetapi dapat pulih kembali secara bertahap, dan dia mengunjungi Yoydevpur 12 tahun kemudian. Suasana-suasana yang tidak asing di kota kediamannya telah mengembalikan seluruh ingatannya. Ketika sang Kumar mengajukan gugatan untuk meraih kembali tanahnya di Mahkamah Agung sebagai ahli waris asli dan pemilik kawasan Bhopal, istrinya dan beberapa orang lain berjuang untuk [menguasai] itu.' Perkara pengadilan akhirnya digelar dengan pahit antara kedua belah pihak. Lebih dari seribu orang memberikan kesaksian yang mendukung sang Kumar dan empat ratus orang mendukung istrinya. Permasalahan nyata yang diperkarakan adalah mengenai identitas sang Kumar, sebab menurut pengetahuan umum dia sudah mati 12 tahun silam.
Perkara itu dimenangkan oleh sang Kumar setelah dia mengungkapkan beberapa tanda di tubuh istrinya yang hanya diketahui oleh seorang suami. Tanahnya akhirnya dikembalikan kepadanya.11
Ratusan kasus serupa mungkin telah terjadi tanpa terdata secara sempurna. Syukur dengan adanya fasilitas kesehatan modern dan peliputan media, ratusan kasus serupa telah dilaporkan dan direkam. Jika semua ini masuk akal dalam kasus-kasus orang biasa dari seluruh lapisan masyarakat dan dari segenap latar belakang moral agama, mengapa hal itu jadi tidak mungkin dalam kasus Yesus?
Jika siapa saja memiliki peluang untuk selamat hidup dalam menghadapi kondisi yang paling tidak mungkin sekali pun, Yesus memang memiliki sebuah peluang yang lebih besar berdasarkan kondisi-kondisi khusus yang mengitari beliau. Akan tetapi cukup aneh, orang-orang yang ragu [tetap saja] menolak pernyataan bahwa Yesus memang telah selamat dari upaya pembunuhan melalui penyaliban. Namun, mereka lebih percaya terhadap kisah yang lebih tidak realistis, aneh dan tidak alami mengenai selamatnya beliau dari kematian telak – yaitu kematian yang telah berlangsung selama tiga hari tiga malam penuh menurut mereka.
Bidang riset medis juga tertarik meneliti fenomena kasus mendekati kematian (near death phenomenon). Sebuah studi telah dilakukan yang dalamnya telah diteliti laporan 78 kasus pengalaman mendekati kematian. Delapan puluh persen dari kasus-kasus itu petugas medis hadir selama atau langsung sesudah pengalaman-pengalaman tersebut terjadi. Yang menarik adalah, empat puluh persen orang-orang yang diteliti itu dilaporkan telah dinyatakan mati selama mereka mengalami kondisi mendekati kematian.12
Dengan segala macam peralatan yang tersedia, jika para ahli medis saja dapat menyatakan seseorang yang hidup itu mati, bagaimana dapat dipercayai kesaksian seorang pengamat cemas yang menyaksikan Yesus kehilangan kesadarannya dan dari itu dia menarik kesimpulan bahwa beliau telah mati? Lebih lanjut, setelah melihat beliau lagi, [pengamat] itu membuat kesimpulan bahwa beliau telah hidup kembali dari kematian? Sungguh tidak dapat diterima.

Sesudah Tuhan Yesus berbicara demikian kepada mereka, terangkatlah ia ke sorga, lalu duduk di sebelah kanan Allah. (Markus 16 : 19).
Dan ketika ia sedang memberkati mereka, ia berpisah dari mereka dn terangkat ke sorga. (Lukas 24 : 51).
Jesus the Evidence, oleh Ian Wison, 1984, p.18
The Holy Bible, New Internatiional Version, 1984, International Bible Society, p. 1024
The Secret of Mount Sinai, the story of finding the world’s oldest Bible Codex Sinaiticus, oleh James Bently, p. 131.
New World Translation
The Lion Handbook of Christian Belief, London, 1982, p. 120. 108
Matius 28 : 11-15
Matius 27 : 62-64
The Bhowal Case, disusun oleh J.M Mitra dan R.C. Chakravarty, diterbitkan oleh Peer & Son, Calcutta.
The Phenomenology of Near-Death Experience, oleh Bruce Greyson M.D dan Jan Stevenson. M.D., A.M. Psychiatry 137 : 10. Oktober 1980

Trinitas

Sejauh ini kita hanya menelaah hal-hal pokok yang mengarah kepada terciptanya dongeng-dongeng mempertuhankan Yesus dan apa yang disebut peran beliau dalam Trinitas sebagai Anak Tuhan. Namun, oknum ketiga dalam dogma Trinitas Kristen, yakni Ruhul Kudus, merupakan sebuah teka-teki. Mengapa "Dua dalam Satu" tidak mencukupi, dan mengapa harus mengemukakan pihak ketiga dalam doktrin dasar ini? Secara akal, oknum ketiga ini tidak memiliki kebenaran untuk menempati sebuah posisi dalam konsep Kristen tentang tuhan-tuhan. Harnack, seorang penafsir dalam masalah ini, merasakan bahwa pada mulanya, Kristen diwakili oleh suatu tuhan gabungan, yaitu Tuhan dan Yesus. Kemudian meliputi gereja, [dan] menyebutnya sebagai Ruh, untuk menambahkan elemen ketuhanan kepada apa yang jika tidak demikian akan menjadi partner ketiga yang hampa dan tidak masuk akal. Hal ini juga berfungsi sebagai alat ampuh anti Yahudi.1 Pendeta K.E.Kirk dalam eseinya, The Evolution of the Doctrine of Trinity, telah mengatakan hal berikut ini untuk masalah yang sama:
Kita secara alamiah beralih kepada para penulis zaman itu untuk mengetahui apa yang menjadi landasan bagi keimanan mereka. Kami terkejut, ternyata kami terpaksa mengakui bahwa mereka tidak memiliki landasan apa pun. Pertanyaannya sebagaimana yang tampil bagi mereka tidak hanya ‘mengapa’ tiga oknum? Melainkan, lebih cenderung ‘mengapa tidak?'
Dia terus menunjukkan kegagalan total teologi Kristen untuk menciptakan pembenaran/dukungan logika bagi doktrin Trinitas dan ketiga tuhan Kristen dapat dijelaskan secara pokok sebagai konsep sepasang tuhan yang padanya dipautkan oknum ketiga yang berbeda, untuk membuat gambaran yang lebih sempurna.2
Kami percaya bahwa oknum ini secara bertahap berubah di bawah pengaruh falsafah-falsafah dan dongeng-dongeng para penyembah berhala sebelumnya yang banyak terdapat di kerajaan Romawi. Pertukaran pemikiran tentunya telah membuat para theolog Kristen menetapkan posisi Ruhul Kudus. Dengan didapati banyaknya bukti keberadaan kepercayaan-kepercayaan seperti itu atau sekte-sekte yang menggambarkan Tuhan sebagai tiga oknum dalam satu wujud, tidaklah sulit untuk melacak kembali sumber asli doktrin Kristen tentang Trinitas. Ringkasnya, bila dua dapat menjadi satu, dan satu dapat menjadi dua, mengapa tidak tiga menjadi satu saja? Merupakan tugas para ilmuwan peneliti untuk menetapkan secara tepat bila dan bagaimana oknum ketiga dalam rangkaian tuhan Kristen telah mulai berakar kuat dalam dongeng Kristen, tetapi pada saat ini hal itu di luar pokok pembahasan. Di sini, kami hanya ingin menguji kemustahilan penda'waan-penda'waan semacam itu, yang telah ditolak langsung oleh pemahaman manusia. Fitrat manusia menolak dengan tegas pemikiran-pemikiran yang saling bertolak-belakang dan berupa paradoks.

Antar Hubungan dalam Trinitas
Apabila orang membayangkan hubungan sesama di antara ketiga oknum tuhan-tuhan Kristen, maka seknarioskenario yang mungkin timbul hanyalah sebagai berikut:
a) Mereka memiliki tahapan-tahapan dari aspek-aspek yang berbeda dari satu oknum tunggal.
b) Mereka merupakan tiga oknum berbeda, yang samasama menikmati keabadian setara di antara mereka.
c) Mereka merupakan tiga oknum dengan beberapa sifat individual yang berbeda dan sama sekali tidak dimiliki oleh yang lain.
d) Mereka merupakan tiga oknum dalam satu, dengan sifat yang seluruhnya sama dan kekuatan-kekuatan yang setara, bergabung satu sama lain, dan tanpa fungsifungsi yang terpisah satu sama lain.
Kita akan bahas masing-masing kemungkinan secara berurutan.

Tahapan-tahapan dan Aspek yang Berbeda dari Satu Oknum
Kemungkinan pertama tidak perlu dibahas panjang lebar sebab hampir tidak ada orang Kristen zaman sekarang yang lebih mengimani Yesus sebagai sebuah aspek atau salah satu fase Tuhan, daripada mengimani beliau sebagai satu oknum berbeda. Orang-orang yang percaya pada Trinitas bersikeras bahwa terdapat tiga oknum berbeda yang menyatu menjadi satu.
Pada saat seseorang mengakui skenario bahwa satu oknum memiliki aspek-aspek berbeda yang ditampilkan secara bersamaan, maka konsep Trinitas, yakni tiga tuhan dalam satu, akan menguap jadi udara, dan Trinitas tidak tersisa lagi. Sehingga, sang Tuhan Bapak lah, tergerak oleh kasih-sayang-Nya, yang mati demi dosa-dosa manusia. Dalam kasus ini hal itu hanya merupakan suatu fase peralihan dari oknum yang sama. Aspek-aspek bukanlah oknum, dan demikian pula fase-fase tidaklah menciptakan wujud yang terpisah. Manusia mana pun dapat menjalani berbagai macam perasaan dan aspek, tanpa harus terbelah menjadi dua atau tiga atau banyak oknum. Oleh karena itu, jika Tuhan memutuskan untuk mati demi manusia yang penuh dosa, itu adalah Tuhan sendiri dan bukan aspek-Nya yang melakukan hal tersebut.
Oleh sebab itu, mengenai kasus yang menjadi perhatian ini, yakni aspek Tuhan yang telah memainkan sebuah peran vital dalam pengorbanan Tuhan demi manusia yang penuh dosa, hanya dapat dipahami sebagai penampakan satu sifat-Nya. Jadi, jika sifat kasihsayang Tuhan itu sendiri diperlakukan sebagai seorang 'oknum' dan oknum tersebut telah dinamakan Yesus Kristus, maka yang telah mati itu adalah 'kasih-sayang' Tuhan. Sungguh merupakan kontradiksi aneh, bahwa kasih-sayang Tuhan karena iba terhadap manusia yang penuh dosa lalu melakukan aksi bunuh diri. Hal itu secara tidak langsung mengungkapkan bahwa selama tiga hari tiga malam tidak ada sifat kasihsayang yang tertinggal pada diri Tuhan.
Ingat, dalam skenario ini, Yesus tidak diperlakukan sebagai suatu oknum terpisah yang berdiri sendiri, melainkan hanya sebagai sebuah sifat atau aspek Tuhan, yang dalamnya beliau menjadi semacam kasih-sayang yang menjelma sebagai wujud. Akan tetapi wujud ini tetap merupakan satu unsur yang tidak terpisahkan dari Tuhan. Jadi, jika ada yang telah mati dalam proses tersebut, hal itu mestilah wujud Tuhan, atau sifat kasih-sayang-Nya yang telah memainkan peran sangat vital dalam episode ini. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali mempercayai kematian sifat kasih sayang Tuhan, atau kematian Tuhan Yang Maha Pengasih itu sendiri.
Banyak kerumitan yang timbul dari penda'waan bahwa aspek-aspek seorang oknum tunggal dapat dihapuskan dari keberadaannya, untuk sementara atau selamanya. Skenario ini hanya dapat dipahami dalam kaitan dengan penerapannya pada apa yang dialami manusia. Seorang manusia dapat kehilangan penglihatan atau pun pendengaran untuk sementara atau selamanya, tetapi dia tetap merupakan orang hidup yang sama. Kematian suatu kemampuan, memang merupakan kematian parsial bagi orang yang sama. Dalam analisa utama, orang yang kehilangan atau mengalami hal itu tetap merupakan orang yang sama.

Oknum-oknum Berbeda Menikmati Keabadian Bersama
Jika elemen-elemen rangkaian tuhan Kristen merupakan tiga oknum berbeda yang secara bersamaan menikmati keabadian, pertanyaan yang timbul adalah tentang hubungan internal mereka. Jika mereka secara azali merupakan tiga oknum yang membentuk satu tuhan, maka mereka tentu memiliki ego masing-masing, sehingga penderitaan salah satu di antara mereka, jika memang dapat menderita, merupakan hal yang dialami oleh oknum itu sendiri secara pribadi. Yang lainnya dapa bersimpati terhadapnya, tetapi secara nyata tidak dapat ikut dan merasakan penderitaan itu. Sudah tentu hampir tidak mungkin membayangkan cara kerja pemikiran dan proses pengambilan keputusan pada Tuhan, tetapi penda'waan bahwa Dia benar-benar terdiri dari tiga oknum yang bergabung jadi satu, membenarkan suatu upaya untuk 'mengaitkan tiga proses pemikiran yang berdiri sendiri.
Satu skenario yang mungkin timbul adalah, tentang seorang anak manusia yang lahir dengan tiga kepala. Ketiganya dapat dinyatakan sebagai satu oknum tunggal, berdasarkan pada keberadaan hanya satu tubuh saja dan sepasang tungkai serta lengan, tetapi ketiga kepala menampilkan permasalahan dalam menyatakan kondisinya yang sebenamya. Jika keanehan alam seperti itu hidup cukup lama untuk mampu berbicara dan memaparkan sendiri diri mereka, barulah kita dapat menyelidiki apa yang berlangsung di dalam ketiga kepala yang berbeda itu. Dengan tidak adanya pengetahuan tentang itu, menyatakan mereka sebagai satu oknum yang berkongsi memiliki tiga akal pikiran, atau tiga oknum yang berkongsi memiliki satu tubuh, tidaklah mungkin.
Anehnya, aspek sangat penting dalam doktrin Kristen ini sama sekali tidak diuraikan dalam Bibel. Sejauh yang berkaitan dengan rujukan tentang Kristus dan Ruhul Kudus, tidak kurang bukti yang menyatakan bahwa mereka ditampilkan sebagai dua oknum berbeda, yang tidak berkongsi dalam hal proses pemikiran yang sama dan perasaan-perasaan yang sama. Jika tidak, bayanganbayangan Ruhul Kudus yang berbeda dengan Kristus akan tidak mungkin dipahami, khususnya selama periode ketika Yesus terkurung dalam tubuh manusianya.
Pertanyaan-pertanyaan yang pasti timbul berkenaan dengan apa yang benar-benar telah terjadi pada oknum Kristus selama pengalaman tersebut, dalam kaitannya dengan dua oknum lain pada sosok tuhan Kristen adalah:
1. Apakah kedua oknum lainnya, yakni Tuhan Bapak dan Ruhul Kudus, bersama-sama menghuni tubuh Yesus Kristus atau sama-sama mengalami pengalamanpengalaman beliau dalam kaitan mereka dengan tubuh itu?
2. Apakah Yesus sendiri yang menghuni tubuh tersebut, dan dengan demikian beliau tidak mengikut-sertakan kedua oknum Trinitas lainnya dalam pengalaman beliau yang berkait dengan tubuh itu?
Penjabaran nomor satu sudah dibahas. Berkenaan dengan nomor dua, kerumitan lebih lanjut timbul mengenai hubungan Yesus, pada waktu itu dengan kedua oknum Trinitas lainnya. Apakah Yesus merupakan wujud yang terpisah sepenuhnya saat itu, atau beliau tetap merupakan bagian integral dari kedua oknum lainnya, hanya saja beliau memiliki kelebihan menghuni sebuah tubuh manusia secara terpisah? Sekarang kita memiliki pertanyaan lain untuk dijawab:
Apakah wujud ketuhanan beliau sepenuhnya terkandung dalam tubuh manusia beliau, ataukah hanya muncul sendirian keluar dari bentuk Tuhan Bapak dan Ruhul Kudus yang dimiliki bersama-sama, seperti sebuah jari kecil yang muncul dari tubuh seekor amuba?
Skenario ini juga akan memaksa kita mempercayai bahwa selama fase tersebut Yesus lebih hebat dari kedua oknum lainnya, sebab beliau sama-sama mengambil bentuk keberadaan wujud dengan Tuhan Bapak dan Ruhul Kudus, sedangkan kedua lainnya tidak menempati wujud manusia beliau.
Oleh sebab itu, untuk membuat persoalan ini lebih mudah dimengerti, dilakukan upaya untuk memberikan ilustrasi pada pikiran mereka, hati mereka, perasaanperasaan mereka dan fungsi-fungsi organ mereka berada dalam suatu keterpaduan sempurna sedemikian rupa sehingga pengalaman individu masing-masing mereka dapat dirasakan oleh yang lain secara penuh. Jika hal ini terjadi, ,maka Trinitas antara Tuhan, Anak dan Ruhul Kudus jadi lebih dapat dimengerti. Namun, tetap saja masih ada persoalan menyangkut tiga tubuh yang mengandung tiga oknum identik. Hal ini sudah tentu tidak dapat diterapkan pada pemahaman Trinitas Kristen. Pada pandangan kedua, orang terpaksa membayangkan satu tubuh yang memiliki tiga identitas. Tetap saja, identitas demikian yang dimiliki oleh apa yang disebut kembar tiga, hanya dapat dibayangkan apabila satu tubuh mengandung tiga oknum, yang di dalamnya sendiri tampil banyak permasalahan. Akan tetapi dapat dijelaskan bahwa Tuhan tidak mempunyai tubuh, dan sesuatu yang menyerupai tubuh manusia, seperti yang telah dikemukakan, tidak dapat diterapkan untuk-Nya. Sudah tentu, kami sepenuhnya mengerti bahwa Tuhan tidak mempunyai tubuh seperti dalam istilah manusia, tetapi tetap masih ada permasalahan mengenai tiga wujud ruhani sebagai kembar tiga yang identik, secara individu mereka adalah oknum-oknum, tetapi yang merupakan satu dalam semua segi lainnya.
Permasalahan lain yang akan menghadang keberadaan [tuhan] kembar tiga secara hipotesa adalah hubungan mereka dalam kaitan dengan penyembahan. Apakah oknum-oknum ruhani "Tiga dalam Satu" rangkaian tuhan [Kristen] itu saling menyembah satu-sama lain? Apakah mereka semua akan memperoleh penyembahan dari makhluk-makhluk ciptaan mereka tanpa mereka harus menyembah dalam hubungan mereka satu sama lain?
Walaupun pemaparan berulang kali terdapat di dalam Perjanjian Baru bahwa Yesus Kristus yang menyembah Tuhan Bapak dan mengingatkan orang lain untuk melakukan hal sama, tetapi tidak ada penjelasan yang telah dibuat mengenai penyembahan Ruhul Kudus terhadap Tuhan Bapak. Dan lagi, tidak pernah ada upaya Yesus, seperti yang tertera dalam Perjanjian Baru, untuk mendesak orang-orang lain agar menyembah beliau atau menyembah Ruhul Kudus. Orang jadi bertanya-tanya, sebab tidak ada rujukan tentang penyembahan selain yang berkaitan dengan Tuhan Bapak.
Walaupun sudah merupakan tradisi umum di kalangan umat Kristen untuk menyembah Yesus sebagai Anak Tuhan bersamaan dengan Tuhan Bapak, tidak ada contoh-contoh yang tercatat tentang seorang murid Yesus Kristus pemah menyembah beliau, atau Yesus mendesak mereka untuk melakukan hal itu selama beliau menetap di bumi. Bahkan kalau pun beliau pemah berbuat demikian, hal itu akan menimbulkan banyak pertanyaan yang tak terjawabkan. Demikian pula yang berlaku bagi Ruhul Kudus, dan timbul pertanyaan, mengapa Ruhul Kudus tidak meminta siapa pun untuk menyembahnya.
Dalam masalah bahwa mereka adalah "Tiga dalam Satu" dalam arti bahwa ego utama mereka atau kesadaran akan keberadaan mereka tetap satu, walaupun terbagi dalam tiga aspek atau fase, telah dipelajari panjang lebar. Suatu wujud yang demikian secara logika tidak dapat disebut "tiga oknum dalam satu." Selain itu, aspek-aspek atau fase-fase tidak pemah disembah dan tidak pula mereka menyembah ego sentral mereka. Untuk memahami mereka sebagai oknumoknum yang terpisah, mereka harus memiliki identitas masing-masing yang berdiri sendiri, dalam bentuk ego pokok yang memberikan rujukan pada kesadaran mereka sebagai oknum-oknum. Jika tidak, masalah rujukan terhadap diri mereka dan lainnya sebagai "saya", "kamu" dan "dia," tidak akan timbul.
Trinitas yang diterapkan bagi satu wujud hanya akan dapat dipahami sebagai sifat-sifat dan tidak lebih dari itu.
Dan sejauh yang berkaitan dengan sifat-sifat, sudah pasti tidak terbatas hanya sampai tiga saja. Tidak peduli apakah kita tahu atau tidak, Tuhan pasti memiliki berbagai sifat.
Untuk menyimpulkan pembahasan ini, kami menegaskan kembali bahwa masalah penyembahan dalam kaitan antara mereka satu sama lain hanya dapat timbul jika mereka merupakan oknum-paradoks dan kemustahilan yang sudah menjadi bawaan itu dengan cara membayangkan kondisi telaahan yang berbeda. Sudah tentu, ilustrasi-ilustrasi ini hendaknya jangan dipahami secara harfiah oleh para pembaca.
Permasalahan yang ada di hadapan kita adalah, apakah seorang oknum tunggal itu menampilkan sifat-sifat yang berbeda atau menjalani fase-fase yang berbeda. Hal ini membawa kita pada pertanyaan tentang masalah "Tiga Wujud dalam Satu" dan "Satu Wujud dalam Tiga," khususnya dari segi fase-fase yang berbeda satu sama lain; dan penampakkan sifat-sifat serta suasana hati yang berbeda oleh oknum yang sama.
Masalah ini telah disinggung panjang lebar pada bab sebelumnya. Di sini, hal itu hanya perlu ditegaskan kembali pada permasalahan bahwa jika seorang oknum atau satu wujud menampilkan fase-fase yang berbeda, ia tidak dapat menampilkan fase-fase berbeda tersebut secara bersamaan, tanpa membelah dirinya menjadi bagian-bagian yang berbeda.
Ambillah, misalnya, air dalam ukuran dan jumlah tertentu. Air itu dapat diubah seluruhnya menjadi uap atau es tanpa meragukan wujudnya yang tetap satu. Jika air itu secara simultan dicermati dalam fase-fase yang berbeda itu, ia harus dipecah menjadi sedemikian rupa sehinga sepertiga bagiannya akan menjadi es, sepertiga menjadi uap dan sepertiga lagi tetap mencair. Masing-masing bentuk akan berbeda satu sama lain, tanpa menjalani dua fase lainnya secara beriringan. Jumlah air akan terpecah menjadi tiga kondisi, tetapi ukurannya pasti akan lebih kecil dari seluruh substansi jika disatukan, dan tidak ada yang dapat menyatakannya "satu dalam tiga" dan "tiga dalam satu." Demikian pula, perwujudan Kristus dalam bentuk manusia Yesus, sementara tetap terjalin ikatan menyatu antara Yesus si manusia dengan Tuhan Bapak, adalah suatu hal yang tidak dapat dipahami.
Seluruh umat manusia terbentuk dari elemen-elemen yang sama, tetapi kemiripan dan kesamaan mereka satu sama lain tidak membuat mereka menjadi satu oknum tunggal. Adalah sifat-sifat,kepribadian-kepribadian dan keterpisahan mereka satu sama lain yang membuat mereka terbagi-bagi dalam banyak wujud, walaupun mereka pada hakikatnya terbuat dari substansi yang sama. Orang tidak dapat menyebut mereka sebagai "satu dalam lima milyar" dan "lima milyar dalam satu," walaupun mereka sama-sama memiliki unsur manusia.
Mari kita telaah pertanyaan yang sama dari sudut lain. Jika, dalam jangka masa tertentu, Yesus terpisah dan dapat dibedakan dari Tuhan Bapak di satu sisi, dan dari Ruhul Kudus di sisi lain maka di mana letak keterpisahan eksistensi Kristus yang berbeda itu? Ingat, orang harus memahami bahwa Kristus yang secara total berbeda dan terputus dari Tuhan Bapak dan Ruhul Kudus. pengorbanan beliau demi saudara-saudara manusia beliau, atau dapat kita katakan sebagai separuh saudara manusia beliau, harus dianggap sebagai pengalaman pribadi beliau sepenuhnya, berbeda dari Tuhan Bapak atau Ruhul Kudus. Hal ini secara jelas menghasilkan pertimbangan kami bahwa Kristus seorang diri yang mentransfer akal pikirannya atau proses pemikirannya kepada tubuh jasmani Yesus. Demikian pula dapat dipahami bahwa beliau menjalani suatu pengalaman yang tidak dialami oleh dua unsur lainnya dalam Trinitas Kristen. Memusingkan kepala, tidakkah demikian?

Harnack. Constitution and Law of the Church, E.T. p 264 116
Essay on the Trinity and the Incarnation, diedit oleh A.E.J. Rawlinson, Logmans, London (1928)
Oknum-oknum Berbeda dengan Sifat-sifat Berbeda
Jika Tuhan Bapak, Yesus dan Ruhul Kudus merupakan tiga oknum dengan sifat-sifat pribadi yang sama sekali tidak dimiliki oleh yang lain, maka mereka tidak dapat dianggap sebagai "Tiga dalam Satu" dan "Satu dalam Tiga." Penyatuan total dari Trinitas menjadi Kemanunggalan hanya dapat dimengerti apabila karakter-karakter, sifat-sifat, fungsi-fungsi dan segenap kemampuan yang dimiliki oleh ketiga oknum menjadi sama satu sama lain, tanpa adanya perbedaan apapun yang membedakan satu sama lain.
Hal ini mengetengahkan sebuah skenario yang dalam tahap tertentu dapat disukai, yakni kembar tiga yang mirip, yang akal oknum berbeda yang tidak memiliki status yang setara serta sifat sifat yang sama.
Dalam contoh ini, hanya ada satu yang layak disembah dan dua oknum lainnya yang secara logika sebagai wujud lebih rendah, diharapkan menyembah yang satu itu. Jawabannya, sekali lagi, dapat diterima kecuali bahwa "Kemanunggalan dalam Trinitas" itu akan punah. Tidak mungkin bagi anda untuk menerima "Tiga dalam Satu" dan "Satu dalam Tiga" keduanya sekaligus.
Hal ini mengingatkan saya pada sebuah lelucon yang ingin saya ceritakan bersama anda. Dikisahkan bahwa Joha, seorang pelawak istana terkenal, begitu menggelikan bagi Timurleng pada waktu penyerbuannya ke Baghdad, sehingga dia memutuskan untuk membawanya sebagai pampasan perang dan menunjuknya sebagai kepala pelawak istana. Suatu kali dikisahkan bahwa Joha merasa ingin sekali makan daging sendirian sehingga dia tidak dapat menahannya lagi. Maka dia membeli dua kilo daging terbaik yang tersedia di tukang daging. Ketika menyerahkan daging tersebut kepada istrinya, dia memerintahkannya agar menyiapkan daging panggang lezat dari itu, dan tidak ada yang boleh menyentuhnya, termasuk istrinya kecuali dia. Akan tetapi malangnya bagi Joha, begitu istrinya selesai masak, beberapa saudara istrinya datang secara mengejutkan. Hal itu merupakan kejutan yang menyenangkan bagi sang istri, tetapi bakal menjadi kejutan yang tidak mengenakkan bagi Joha. Aroma menggoda dari daging yang baru saja dipanggang itu terlalu menggoda bagi mereka untuk dihindari, dan apa yang terjadi berikutnya sudah dapat ditebak secara logika. Setelah selesai menyantapnya, mereka dengan senang hati pamit kepada saudara perempuan mereka yang tampak agak risau itu. Akhirnya sang istri mempersiapkan diri dengan alasan yang tepat manakala Joha pulang ke rumah. Ketika Joha juga mencium bekas makanan, dengan rasa ingin tahu yang besar dia menanyakan dagingnya yang dua kilo tadi, maka sang istri memberikan tanggapan dengan menunjuk pada kucing peliharaan kesayangan Joha, dan berkata: "Ambillah dagingmu dari kucing ini, jika engkau bisa. Ketika saya sibuk bekerja, kucing ini telah menghabisi semua daging panggang." Atas hal itu Joha langsung mengambil kucing itu dan menimbangnya di timbangan. Temyata si kucing beratnya pas dua kilo. Lalu dia dengan lembut berbalik ke istrinya dan menanyakan: "Wahai sayangku, saya memang percaya kepada kamu, tetapi jika ini daging yang saya beli, maka mana kucing saya; dan jika ini kucing saya, maka mana daging milik saya!"
Terlepas dari lelucon itu, izinkan saya menegaskan bahwa saya tidak ingin mempertentangkan perkara ini berdasarkan ajaran-ajaran Yesus yang asli dan benar. Makalah ini murni merupakan suatu sikap dalam memandang doktrin-doktrin Kristen masa sekarang yang kami percayai telah mengalami penyimpangan jauh dari ajaran-ajaran asli Yesus.
Setelah ditolak bahwa di dalam Bible terdapat rujukan untuk menyembah Yesus, tinggal bagi kita menjelaskan satusatunya referensi yang.berkaitan dengan itu, di dalam Lukas 24:52. Banyak yang mengaku bahwa ayat-ayat ini membuktikan bahwa Yesus sendiri mendesak para pengikutnya untuk menyembah beliau. Para ilmuwan Kristen zaman sekarang tahu betul bahwa ayat-ayat ini terbukti palsu dan tidak berhak disikapi sebagai bagian asli Injil Lukas.
Mari kita beralih pada masalah kebiasaan yang berlaku secara umum, apakah hal itu didukung oleh bukti dalam Injil-injil atau tidak? Berdasarkan kebiasaan yang berlaku secara umum, di banyak sekte Kristen masa kini, Yesus memang disembah sebagai Anak Tuhan, akan tetapi mereka semua sepakat bahwa Yesus yang mereka sembah itu selalu menyembah Tuhan Bapak dan hanya pada-Nya.
Dengan sia-sia saya sering menanyakan kepada para ilmuwan Kristen yang berpengetahuan tinggi, apa dasarnya sehingga Yesus harus menyembah Tuhan Bapak bila beliau sendiri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Tuhan dan benar-benar menyatu dengan-Nya sehingga menimbulkan kemanunggalan meskipun terdapat tiga oknum? Apakah beliau pemah menyembah oknum ketiga dalam Trinitas, yaitu Ruhul Kudus? Apakah beliau pemah menyembah diri beliau sendiri? Apakah Ruhul Kudus pemah menyembah Yesus? Apakah Tuhan Bapak pernah menyembah salah satu dari kedua oknum lainnya? Jika tidak, mengapa? Mungkin jawaban terhadap pertanyaanpertanyaan ini akan memaksa orang-orang Kristen mengakui bahwa suatu superioritas nyata sangat pasti dimiliki oleh Tuhan Bapak atas kedua oknum lain dalam Trinitas. Dari hal itu tampak bahwa ketiga oknum Trinitas tidaklah sama dalam status mereka. Oleh karenanya mereka merupakan "Tiga dalam Tiga," jika mereka memang tiga, tetapi mereka bukanlah "Tiga dalam Satu."
Kadang-kadang tatkala para ilmuwan Kristen dihadapkan pada pesoalan Yesus, yang mereka imani sebagai Anak Tuhan, yakni Yesus sendiri menyembah Tuhan Bapak, maka mereka menyatakan bahwa unsur manusia [dalam diri Yesus] lah yang melakukan penyembahan terhadap Tuhan Bapak, bukan Yesus Anak Tuhan yang melakukannya. Hal itu membawa kita kembali kepada pembahasan yang telah kita lakukan sebelumnya. Apakah di situ terdapat dua wujud sadar yang menguasai tubuh Yesus yang sama, yakni yang satu menguasai kesadaran sebagai manusia dan satu lagi menguasai kesadaran sebagai Anak Tuhan?
Sekali lagi, mengapa si manusia itu telah melewati dan benar-benar mengabaikan si Anak Tuhan yang ada dalam dirinya dan tidak pernah menyembah Kristus? Manusia Yesus yang sama, rekan [satu tubuh] Kristus, seharusnya juga menyembah Ruhul Kudus si oknum ketiga, yang tidak pemah beliau lakukan.
Penyembahan adalah suatu perbuatan akal pikiran dan jiwa yang kadang-kadang diungkapkan dalam simbol-simbol [gerakan] tubuh, tetapi perbuatan itu tetap berakar pada jiwa dan emosi oknum yang melakukannya. Oleh sebab itu harus ditentukan siapa yang melakukan penyembahan tatkala Yesus Kristus menyembah Tuhan. Kita sudah menyimak skenario itu, dengan segala, keruwetannya, yang mana Kristus si Anak Tuhan lah yang telah melakukan penyembahan. Sebaliknya, jika [unsur] manusia [dalam diri Yesus] yang menyembah Tuhan Bapak dan jika dia tidak pernah menyembah Kristus, maka mengapa orang-orang Kristen menentang tauladan suci Yesus itu? Mengapa mereka mulai menyembah Kristus selain Tuhan, sedangkan Yesus si manusia tidak pernah menyembah rekannya, Kristus, meskipun sangat dekat dengannya.
Oknum-oknum Berbeda dengan Sifat-sifat yang Sama dan Seimbang
Sekali lagi mari kita amati sekarang, dari sebuah sudut lain kali ini, formula "Tiga dalam Satu" pada Trinitas sebagai tiga oknum berbeda yang benar-benar dan sungguh mirip satu sama lain. Dalam skenario ini kita tidak berbicara tentang seorang oknum tunggal dengan ciri-ciri berbeda yang telah terangkai menjadi satu, tetapi dalam tiga bentuk terpisah, lebih menyerupai kembar tiga. Kita merujuk pada jenis kembar tiga yang benar-benar mirip sehingga kemiripan mereka tidak berakhir pada kesamaan bentuk saja, tetapi juga meliputi seluruh proses pemikiran dan perasaan. Mereka mengalami sama-sama secara identik pemikiran-pemikiran, perasaan-perasaan, dan pengalaman-pengalaman mereka. Dalam kasus ini orang harus mengakui bahwa dua dari ketiga oknum Trinitas memiliki kelebihan. Jika mereka menghapuskan [kelebihan] tersebut, maka tidak akan sempuma oknum lainnya dalam Trinitas.
Alquran Suci juga mengetengahkan persoalan yang sama ketika memaparkan bahwa jika Tuhan memutuskan untuk memusnahkan dan menghapus keberadaan Yesus Kristus dan Ruhul Kudus, apa perbedaan yang timbul pada Keagungan, Keabadian dan Kesempumaan-Nya, dan siapa yang dapat menghalangi-Nya berbuat demikian (QS 5:18). Hal itu secara tidak langsung menyatakan bahwa segenap sifat Tuhan akan berfungsi secara abadi, dan dalam kondisi demikian konsep Trinitas seperti yang telah digambarkan dalam skenario ini tampil tidak bermakna dan tidak berguna.
Akan tetapi jika diandaikan, ketiga oknum berbeda yang terdapat dalam Trinitas itu menjalankan fungsi-fungsi berbeda, maka jelas bahwa ketiga komponen itu akan menjadi sangat penting untuk membentuk [rangkaian] Tuhan. Meskipun demikian, dalam kasus ini terdapat tiga Tuhan berbeda yang bekerja-sama satu sama lain dan hidup bersama dalam keharmonisan sempuma, dan dalam kondisi demikian mereka hanya dapat diperlakukan sebagai "Tiga Tuhan dalam Tiga," bukannya "Tiga Tuhan dalam Satu."
Sekali lagi, jika dikemukakan bahwa Trinitas adalah sama seperti kasus satu oknum tunggal dengan tiga fungsi organ yang berbeda, kesemuanya terjalin dalam kemanunggalan, maka sudah tentu Keesaan dapat dipertahankan, bukannya Trinitas. Di sini kita tidak membicarakan tentang satu oknum tunggal dengan fungsi--fungsi organ yang berbeda, tetapi tiga oknum yang benarbenar mirip, dan masing-masing melakukan fungsi-fungsi yang sama tetapi tetap memiliki kepribadian sendiri. Apa yang telah dibahas ini memaparkan kasus satu oknum tunggal dengan organ-organ berbeda. Jadi, sejauh ini tidak ada yang tidak masuk akal dalam hal itu. Namun, ketika organ-organ diperlakukan sebagai oknum-oknum dengan hak mereka masing-masing, dan pada saat yang sama mereka dipercayai sebagai satu kepribadian yang dalam keterpaduannya merupakan tunggal, maka batas-batas logika pun dilanggar dan seluruh pembahasan menjadi tidak layak diakui. Memang organ-organ memiliki kepribadian mereka sendiri, tetapi kepribadian mereka hanya merupakan sebuah komponen dari sebuah kepribadian lebih besar, yang tidak hanya terdiri dari satu organ tetapi juga organ-organ lain. Seluruh organ tersebut dalam perpaduan mereka bersama dalam diri seorang manusia, disebut "manusia seutuhnya". Memang beberapa organ menjalankan fungsi-fungsi yang relatif kecil, dan manusia dapat saja tetap menjadi manusia tanpa keberadaan organ-organ tersebut, hanya saja tidak sempurna. Seorang manusia sempurna harus memiliki seluruh organ yang umum dimiliki oleh seorang manusia dan perpaduan seluruh organ ini membuatnya menjadi seorang manusia sempurna.
Jika kita mengambil kasus seorang manusia yang disebut Paul, orang tidak dapat mengatakan bahwa dikarenakan hati, jantung, paru-paru dan ginjal Paul memiliki individualitas dengan fungsi-fungsi khusus yang harus dijalankan, maka [organ-organ] itu merupakan oknumoknum berbeda yang secara menyeluruh persis seperti Paul. Kemiripan total hanya mungkin [terjadi] apabila, katakanlah, ginjal-ginjal itu berfungsi persis seperti Paul dalam keseluruhan dirinya, dan hal yang sama dapat dikatakan bagi organ-organ lain miliknya. Hal ini menghendaki bahwa tidak adanya masing-masing organ itu tidak akan merubah sifat Paul dalam makna apapun, atau pada pilihan lain, Paul tanpa paru-paru, hati, ginjal dan otaknya, dan segenap organnya dicabut, tetap akan merupakan seorang Paul yang sempuma dirinya. Hal itu disebabkan pada analisa terakhir, mereka semua benar-benar identik satu sama lain, dan si oknum Paul tetap utuh secara mutlak, terlepas dari tidak adanya organ-organ tersebut.
Jika, demikian skenario "Tiga dalam Satu," maka sudah tentu keliru untuk mencoba melakukan kritikan terhadap kepercayaan Kristen dengan merujuk pada logika. Dan logika yang dapat diterapkan terhadap dogma Kristen zaman sekarang ini hanyalah logika si nenek sihir Macbeth ketika mereka mengatakan: "Adil adalah curang, dan curang adalah adil." (Fair is foul, and foul is fair).
7. Evolusi Ajaran Kristen
Doktrin Trinitas, yang merupakan unsur dasar dalam dogma Kristen, tidak ada dalam ajaran Kristen semasa hidup Yesus Kristus. Paling orang dapat menyatakan bahwa doktrin tersebut mulai terbentuk sesudah Penyaliban. Doktrin ini memakan waktu berabad-abad lamanya untuk mencapai bentuk terakhimya yang terdefinisikan dengan baik, tetapi tidak dapat dipahami. Doktrin ini melewati suatu proses panjang perdebatan sangat sengit dan kontroversial di kalangan para theolog dan pemikir Kristen yang berasal dari latar belakang agama, budaya dan tradisi yang berbeda.
Doktrin ini sangat dipengaruhi oleh mitologi/dongeng--dongeng dan tradisi-tradisi dari berbagai negeri yang menerima Kristen pada masa-masa awalnya. Akan tetapi pangkal utama ajaran Kristen, yang merawat dan memelihara perkembangan ajaran-ajaran serta falsafah Kristen dalam peran pembentukkannya pada masa awal, adalah bangsa Yahudi. Pengaruh Yahudi tetap sangat dominan selama babak permulaan sejarah Kristen. Murid-murid Yesus, yang telah mempelajari dan memahami Kristen langsung dari Yesus dan menyaksikannya dalam bentuk kehidupan Yesus sendiri, berasal dari bangsa itu. Mereka adalah para penjaga utama ajaran Kristen dan memiliki akar-akar yang tertanam mendalam pada tanah suci pengarahan-pengarahan Yesus serta pada cara hidup (sunnah) beliau. Merekalah yang menyaksikan Penyaliban dan telah melihat Yesus selamat dari upaya pembunuhan yang dilakukan terhadap beliau.

Para Pengikut Awal Yesus
Pada dasarnya orang-orang Kristen awal terbagi baik berdasarkan pada kedua keadaan alami Yesus, maupun berdasarkan pada mengikuti Syariat Musa atau tidak. Dalam fase kedua perkembangan Kristen, Paulus menemukan karakter yang paling penting dalam memberikan suatu falsafah dan ideologi baru pada ajaran Kristen. Terdapat perbedaan pendapat mendasar antara Paulus dan James the Righteous (James sang siddiq). Sementara James menjaga Gereja Yerusalem, Paulus menyampaikan ajaran ke Barat, khususnya kepada orang-orang yang bukan Yahudi. Gereja Barat berkembang berdasarkan garis-garis doktrinasi Paulus, sedangkan Gereja Yerusalem berkembang berdasarkan ajaran-ajaran ke-Esa-an Tuhan.
Salah satu cabang aliran James adalah Ebion (Ebionite), sebuah sekte yang namanya berasal dari kata Ibrani, ebionim yang berarti "penurut" atau "miskin/sederhana." Mereka adalah orang-.orang Kristen Yahudi, yang untuknya Yesus tampil dalam jubah Mesias dan bukan sebagai Anak Tuhan. Mereka mengikuti Syariat Musa dengan ketaatan penuh, dan mereka mempunyai Injil mereka sendiri yang dikenal dalam berbagai konteks sebagai "Injil orang-orang Ibrani," "Injil orang-orang Ebion" atau "Injil orang-orang Nazaret." Berikut ini sebuah gambaran tentang orang-orang Ebion yang diambil dari berbagai sumber.
Dalam bukunya "The History of the Church" yang ditulis pada abad ke-4 sesudah Masehi di Caesaraea, Eusebius memaparkan tentang orang-orang Ebion dalam Buku 3, Vespasian to Trajan. Dia mencemoohkan pandanganpandangan mereka, dengan mengatakan bahwa nama mereka berasal dari pandangan mereka yang sederhana dan polos tentang Yesus. Orang-orang Ebion menganggap Yesus sebagai makhluk hidup [yang tidak abadi] dan menjunjung beliau sebagai orang yang benar melalui perkembangan karakter/sifat beliau. Sebagai orang Yahudi, mereka melaksanakan Sabat dan segala rincian Hukum Syariat, serta tidak menerima pemikiran Paulus tentang keselamatan melalui iman semata.
Eusebius juga berbicara tentang sebuah kelompok lain dari orang-orang Ebion yang menerima tentang melahirkan dalam keadaan perawan dan Ruhul Kudus, tetapi menolak konsep bahwa Yesus itu sebelumnya merupakan "Tuhan [dalam bentuk] Firman dan Kebijaksanaan." Mereka mengikuti sebuah "Injil orang-orang Ibrani" yang kemungkinan merupakan Injil Matius. Mereka melaksanakan Sabat dan sistim Yahudi, tetapi merayakan kebangkitan (resurrection).1
R.Eisenman dan M.Wise ketika memaparkan latar belakang orang-orang Ebion dalam buku mereka The Dead Sea Scrolls Uncovered (1992) mengatakan bahwa James (the "Zaddik" atau "Zadok", artinya: orang yang benar); merupakan pemimpin Gereja Yerusalem pada pertengahan abad pertama (sekitar tahun 40-60 sesudah Masehi). Cabang ini dahulu disebut agama Kristen Yahudi di Palestina. Kelompok Ebion tumbuh dari gereja ini.2
Jemaat yang mengikuti James dikenal sebagai "orangorang miskin" (Galatia 2:10, James 2:3-5) suatu sebutan yang disinggung baik dalam Sermon on the Mount maupun dalam Dead Sea Scrolls. Dalam banyak segi, Eisenman merasakan bahwa orang-orang Ebion sama dengan para penulis Dead Sea Scrolls (Naskah-naskah Laut Mati). Mereka menghormati James sang siddiq, dan percaya bahwa Yesus adalah Mesias mereka yang merupakan makhluk tidak abadi (mortal), sedangkan Paulus [bagi mereka] telah menjadi seorang yang murtad di hadapan Syariat. Mereka menjalankan Syariat dan Sabat dengan penuh keitaatan. Mereka menempatkan James pada kehormatan yang tertinggi, sedangkan Paulus mereka anggap sebagai "musuh" (Matius 13:25-40). 3
Menurut Baigent, Leigh dan Lincoln dalam The Messianic Legacy, sumber ajaran-ajaran asli kelompok Ebion, Gnostik,
Manichean, Sabian, Mandean, Nestorian dan Elkasit telah dipaparkan sebagai falsafah Nazarene. Mereka menyebut pemikiran Nazarene sebagai:
"Suatu orientasi terhadap Yesus dan ajaran-ajarannya yang terutama berasal dari posisi asli orang-orang Nazaret, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Yesus sendiri, kemudian disebar-luaskan oleh James, Juda atau Judas Thomas dan rombongan mereka yang terbentuk cepat. Kepercayaan-kepercayaan mereka adalah:
1. ketaatan sepenuhnya pada Syariat Musa
2. pengakuan terhadap Yesus sebagai Almasih
3. kepercayaan terhadap kelahiran Yesus sebagai kelahiran manusia biasa
4. permusuhan terhadap pandangan-pandangan Paulus
Ada sebuah koleksi manuskrip bahasa Arab tersimpan pada sebuah perpustakaan di Istanbul yang memuat kutipan-kutipan dari sebuah teks abad kelima atau keenam yang dianggap berasal dari al-nasara, tertulis dalam bahasa Syiriak dan ditemukan di sebuah biara di Khuzistan, barat-daya Iran dekat perbatasan Iraq. Manuskrip itu menggambarkan pandangan-pandangan silsilah Nazarene yang melarikan diri dari Yerusalem sesudah kehancurannya pada tahun 66 sesudah Masehi. Manuskrip itu menyebut Yesus sebagai seorang manusia dan menekankan pada Syariat Yahudi. Para pengikut Paulus "meninggalkan agama Kristus dan beralih kepada doktrin-doktrin agama orang-orang Romawi."4
Dari ajaran berbagai macam doktrin yang berkembang selama tahap-tahap pembentukan ajaran Kristen, pilihan untuk diakui hanya pantas diberikan kepada orang-orang yang percaya kepada ajaran-ajaran orang-orang Namret. Orang-orang Kristen masa awal ini telah diajarkan makna Kristen oleh Yesus sendiri.
Peran Paulus
Jelas bahwa Paulus dan sektenya tidak berasal dari situ. Pada kenyataannya, sejak masa Paulus dan seterusnya, dengan berkembangnya agama Kristen ke negeri-negeri asing dan ke dalam kepercayaan-kepercayaan penyembah berhala (pagan) di Kerajaan Romawi, ajaran Kristen sangat dipengaruhi dan dibengkokkan oleh budaya-budaya serta mitologi/dongeng-dongeng yang umum di negeri-negeri itu dan semakin menyimpang jauh dari kemumiannya. Paulus memainkan peranan dalam mempengaruhi kerusakan pemikiran Kristen dengan cara memperkenalkan mistik/kebatinan dari dirinya sendiri. Dia bukan berasal dari Bani lsrail dan tidak pula memiliki hubungan langsung dengan Yesus, kecuali melalui rukya/kasyaf pengakuannya sendiri. Dia saat itu tampaknya sudah sangat terpengaruh oleh budaya-budaya asing.
Tampaknya terdapat dua pilihan bagi Paulus saat itu, melakukan peperangan sengit terhadap sebuah dunia takhayul, mitologi dan legenda yang sudah umum terdapat di negeri-negeri Kerajaan Romawi sejak zaman dahulu, atau menyerah pada mereka dan membiarkan Kristen mengalami perubahan sehingga sesuai bagi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka. Hal itu memberikan pesan kepada mereka bahwa ajaran Kristen tidaklah berbeda secara mutlak dari legenda-legenda dan mitologi-mitologi mereka. Paulus mendapati bahwa penerapan pilihan kedua jauh lebih menguntungkan dan menyenangkan serta membiarkan Kristen mengalami perubahan sesuai keinginan-keinginan dan falsafah-falsafah yang populer di dunia non-Yahudi.
Strategi ini berhasil dengan baik, misalnya dengan diperolehnya jumlah besar orang yang menerima ajaran baru itu, yang kalau tidak dibuat demikian sulit untuk memperolehnya. Namun, apa akibatnya? Sangat disayangkan, hal itu hanya berakhir pada suatu kompetisi kotor antara nilai-nilai mulia Kristen dengan mitologimitologi para penyembah berhala. Yang diubah oleh Paulus hanyalah nama dewa-dewa para penyembah berhala dan menggantikan-nya dengan Yesus, Tuhan Bapak dan Ruhul Kudus. Memang bukan dia yang menemukan mitologi Trinitas dan memperkenalkannya pada dunia para penyembah berhala dengan mengatas-namakan Kristen, sebaliknya dia meminjam mitologi Trinitas dari mitologi para penyembah berhala dan memasukkannya ke dalam Kristen. Sejak saat itu yang ada ialah tetap penyembahan berhala lama, tetapi nama-namanya saja yang baru dan wajahwajahnya baru.
Agama Kristen Paulus, dengan demikian, tidak berhasil merubah doktrin-doktrin, mitologi-mitologi dan takhayultakhayul dunia penyembah berhala, bahkan hanya berakhir dengan merubah ajaran Kristen sesuai dengan semua itu. Jika gunung tidak menanggapi panggilannya, maka dia memutuskan untuk pergi saja ke gunung itu.
Kenyataan Yesus yang Sebenarnya
Memang merupakan hak setiap orang untuk memilih antara Kristen Paulus dan James sang siddiq serta para pemuka Kristen lainnya pada masa awal yang merupakan murid-murid langsung Yesus Kristus. Namun, di sini kami ingin menekankan bahwa golongan utama Kristen berlanjut mengalami perkembangan di sepanjang garis-garis Tauhid/Keesaan dan tetap menjauhkan diri dari perubahanperubahan baru yang melahirkan dogma-dogma Kristen yang bertele-tele dan kacau seperti rangkaian tuhan di mana Yesus sebagai Anak Tuhan, Trinitas, Dosa Warisan, Penebusan Dosa, hidupnya Yesus kembali secara jasmani, dan sebagainya. Pandangan-pandangan para pemuka Gereja masa awal–yang di antaranya paling menonjol adalah James sang siddiq–sederhana dan jujur serta tidak memiliki pertentangan atau paradoks internal yang bersembunyi di balik kepulan asap misteri. Suatu penelaahan terhadap sejarah Tauhid dalam ajaran Kristen menampilkan fakta yang tak terbantahkan bahwa Keesaan Tuhan, yang tidak dicemari oleh slogan Trinitas, tetap merupakan doktrin resmi Gereja Kristus sejati dalam kemurniannya yang asli.
Harap diingat bahwa risalah ringkas ini bukanlah suatu upaya untuk memindahkan orang-orang Kristen kepada keimanan lain manapun di luar ajaran Kristus. Ini merupakan suatu upaya murni untuk mengajak orang-orang Kristen kembali kepada keimanan dan kebiasaan (sunnah) murni Yesus yang tidak tercemar. Ini merupakan upaya tulus untuk mengembalikan kisah dongeng kepada kisah nyata ajaran Kristen – yaitu kisah-kisah nyata yang sudah tentu sangat indah sebab sangat realistik dan memuaskan akal serta kalbu sekaligus.
Selama hampir dua ribu tahun, bukanlah legendalegenda yang dirakit di sekeliling realitas Yesus Kristus yang telah membuat Kristen menyatu dan menolongnya tetap bertahan hidup dari tantangan-tantangan logika/akal dan tetap mengalami pencerahan di hadapan kemajuan sains, dan tidak pula kebertahanannya itu disebabkan oleh kepercayaan mistik Trinitas. Yang telah membuat kebenaran serta hakikat Kristen tetap utuh adalah keindahan pribadi dan ajaranajaran Yesus Kristus. Yakni, amal-perbuatan mulianya, bukan sosok tuhan pada diri Yesus, yang sangat indah untuk dianut. Adalah penderitaan, ketabahan dan keteguhan demi tujuantujuan mulia dan penolakan beliau yang tegas terhadap segenap upaya aniaya untuk membuat beliau merubah ajaran-ajaran beliau itulah yang merupakan tulang punggung sejati agama Kristen. Hal itu masih tetap indah dan sangat patut dicintai seperti sediakala hingga saat ini. Hal itu telah memberikan pengaruh besar pada pemikiran-pemikiran dan kalbu-kalbu orang Kristen sehingga mereka tetap terpaut pada Yesus, dan memilih untuk menutup mata mereka terhadap ketimpangan-ketimpangan logika daripada memutuskan hubungan dari beliau.
Keagungan beliau yang sebenarnya terletak pada fakta bahwa beliau telah berhasil mengatasi dan telah menaklukkan kekuatan-kekuatan gelap yang bersekongkol untuk mengalahkan beliau meskipun beliau seorang manusia lemah dan tidak lebih dari seorang manusia. Kemenangan Yesus itu adalah sesuatu yang [layak] dinikmati bersama dengan penuh kebanggaan oleh anak keturunan Adam. Sebagaimana kami memandang hal itu dari sudut pandang Muslim, beliau adalah seorang anak keturunan Adam yang sangat mulia. Beliau telah mengajarkan peri kemanusiaan melalui suri tauladan beliau yang teguh dalam menghadapi penderitaan dan keperihan yang sangat berat. Tidak untuk takluk, melainkan untuk tetap teguh dalam cobaan beratlah yang merupakan keberhasilan Yesus yang paling mulia. Hidupnya yang penuh penderitaan dan keperihan itulah yang telah menyelamatkan umat manusia dan membuat beliau berhasil menaklukkan kematian. Jika beliau secara suka-rela telah menerima kematian, hal itu sama saja seperti suatu upaya untuk melarikan diri dari penderitaan beliau.
Bagaimana mungkin orang dapat menganggap hal itu sebagai suatu sikap berani? Bahkan sikap orang-orang yang melakukan bunuh diri, di bawah tekanan yang sangat besar, dianggap sebagai suatu perbuatan pengecut semata. Menghadapi penderitaan dalam hidup adalah jauh lebih baik dari menghindari penderitaan melalui kematian. Oleh karena itu, konsep pengorbanan tertinggi Yesus dengan cara menerima kematian demi umat manusia, adalah suatu ungkapan perasaan dangkal yang tidak memiliki dasar.
Kebesaran Yesus, sekali lagi kami tekankan, terletak pada pengorbanan tertinggi beliau selama masa hidup beliau. Seluruh hidupnya, beliau melawan godaan-godaan yang mengajak untuk menyerah dan menukar suatu kehidupan penuh penderitaan dengan kehidupan nyaman dan tenteram. Siang malam beliau menghadapi kematian tetapi menolak menyerah, dan hidup demi orang-orang yang berdosa untuk membawa mereka hidup kembali. Beliau telah menaklukkan kematian tidak dengan cara menyerahkan diri beliau pada kematian, tetapi dengan cara menolak tunduk kepada kematian itu. Beliau telah mengalahkan kematian itu sepenuhnya dan telah berhasil keluar dari cengkeramannya, yang mana seorang manusia lemah akan hancur [bila mengalaminya]. Demikianlah beliau telah membuktikan kebenaran beliau dan kebenaran kata-kata beliau tanpa ragu sedikit pun. Seperti itulah kami melihat Yesus dan itulah sebabnya kami mencintai beliau. Suara beliau adalah suara Tuhan dan bukan suara ambisi beliau sendiri. Beliau telah mengucapkan apa-apa yang telah diperintahkan kepada beliau, tidak kurang dan tidak lebih dari apa yang telah Tuhan perintahkan kepada beliau untuk dikatakan. Beliau menyembah Tuhan sepanjang hidup beliau dan hanya Dia semata yang beliau sembah, serta tidak pemah beliau meminta makhluk apa pun agar bersujud di hadapan beliau atau di hadapan ibu beliau atau Ruhul Kudus. Inilah fakta kenyataan Yesus, yang ke arahnyalah kami mengimbau orang-orang Kristen dari berbagai sekte dan aliran untuk kembali.
Kesinambungan Agama
Kami percaya pada kesinambungan dan keuniversalan agama-agama. Itulah sebabnya Islam memberikan penekanan-penekanan demikian pada lembaga Kenabian sebagai suatu fenomena universal, yang berarti bahwa para nabi harus diterima secara keseluruhan. Penolakan terhadap satu orang saja dari seluruh nabi itu berarti penolakan terhadap semuanya, sebab pada kenyataannya seseorang tunduk kepada para nabi hanya dalam pandangan bahwa para nabi itu berasal dari satu sumber yang sama. Dalam konteks ini, istilah "kesinambungan" (continuity) hendaknya dipahami sebagai sesuatu yang mirip tetapi tidak sepenuhnya sama seperti evolusi kehidupan. Kami percaya pada perkembangan risalah (ajaran agama), maju secara bertahap bersama kemajuan umum manusia dalam segala sisi aktifitas manusia. Tampak bahwa agama-agama yang diwahyukan terdahulu, kendatipun memiliki dasar ajaran yang sama, mencakup rincian perintah yang wilayahnya relatif lebih kecil. Artinya, sejumlah kecil perintah dan larangan. Kemudian secara bertahap berkembang menjadi perintah dan larangan dalam jumlah yang lebih besar mencakupi kawasan yang lebih luas pada aktifitas manusia. Juga tampak bahwa agama-agama pada peradaban
peradaban kuno diperuntukkan bagi sasaran yang relatif lebih kecil pada suku-suku atau kaum-kaum atau kawasankawasan tertentu. Ajaran agama-agama itu terbatas pada kebutuhan-kebutuhan zaman itu. Agama-agama itu lebih tepat disebut sebagai agama-agama suku, kaum, atau bangsa. Kasus Bani Israil dan ajaran-ajaran Yahudi merupakan suatu ilustrasi yang cocok untuk membuktikan hal ini.
Dengan demikian, kecenderungan arah perkembangan sejarah bisa diringkas dalam dua rentetan:
1. Perluasan progresif dan penyempurnaan komparatif ajaran-ajaran.
2. Peralihan progresif dari golongan-golongan agama yang lebih kecil kepada yang lebih besar.
Kesinambungan itu tidak berarti bahwa agama yang telah di wahyukan kepada Adam secara berkesinambungan ditujukan kepada umat manusia dan secara bertahap telah mengalami suatu perubahan progresif yang bertahap, memperluas wilayah hukum dan perintahnya. Yang dimaksudkan adalah, di belahan-belahan dunia yang berbeda, di mana telah berakar dan berkembang peradabanperadaban yang berbeda, wahyu-wahyu Ilahi telah melahirkan agama-agama tertentu yang berkaitan dengan perkembangan-perkembangan sosial manusia di kawasankawasan dunia tersebut. Seluruh agama itu, mengalami perkembangan ke arah yang sama secara umum.
Puncak Perkembangan Agama-Agama
Dari segenap golongan/kelompok agama yang ada, kami percaya bahwa satu yang berada di timur tengah telah dipelihara dan dibudidayakan untuk melahirkan agamaagama besar tertentu yang akan berperan sebagai haluan utama dalam evolusi agama-agama di dunia. Hal ini sangat nyata terbukti dari suatu penelaahan sejarah agama. Agama Yahudi diikuti oleh Kristen, dan diikuti oleh Islam, dengan jelas mengisyaratkan pada arah evolusi ajaran-ajaran agama. Di antara agama-agama ini, perkembangan ajaran-ajaran dapat dengan mudah ditelusuri ke belakang dan ke depan, serta tampak sangat terkait satu sama lain. Oleh karena itu sangat penting untuk memahami rencana agung ini, yang bermuara dan benar-benar bermuara pada penyempurnaan ajaran-ajaran tersebut dalam bentuk sebuah agama universal, yaitu Islam.
Dalam konteks ini, terletak pada kepentingan orang-orang Yahudi untuk secara sungguh-sungguh dan tanpa prasangka memahami pentingnya Yesus Kristus. Dengan gagalnya mereka mengenali Yesus, kasus orang-orang Yahudi itu menjadi sama seibarat sekian banyak spesies hewan yang terkubur jauh dalam sejarah evolusi, yang tidak lagi memainkan peranan vital dalam perkembangan pohon kehidupan di sekitar puncaknya. Dengan demikian, agama Yahudi hanya tinggal sebagai suatu sisa sejarah, tetapi tetap berlanjut mempertahankan hidup dalam kawasan keberadaannya yang sempit.
Begitu pula kasus orang-orang Kristen adalah sama seperti orang-orang Yahudi, hanya saja mereka selangkah lebih maju dari orang-orang Yahudi, lebih dekat pada Islam dari segi urutan. Yang paling penting adalah, penyimpanganpenyimpangan dari jalan yang ditempuh Yesus Kristus ke suatu jalan kemerosotan yang telah dirancang bagi mereka oleh Paulus, telah membawa mereka lebih menjauh dari Islam dibandingkan Yahudi. Umat Yahudi, setelah lebih dari empat ribu tahun keberadaan mereka, paling tidak telah mempelajari ajaran Keesaan (Tauhid) yang vital bagi kehidupan ruhaniah agama mana pun. Namun, di samping kedekatan terhadap Islam dalam doktrin-doktrin dasar ini, terdapat sejumlah besar faktor-faktor lain yang membuat orang-orang Yahudi ini lebih keras menolak menerima Islam.
Penelaahan ini membuat saya percaya bahwa kalau orang-orang Yahudi tidak menimbulkan kerangka pikiran dan sikap yang merupakan suatu syarat untuk memahami Kristus, meskipun mereka memiliki doktrin-doktrin yang sama, mereka akan tetap terpisah lebih jauh dari Islam dibandingkan orang-orang Kristen. Mereka telah kehilangan suatu mata-rantai sangat vital, yakni Yesus Kristus, antara mereka dan kedatangan Nabi Muhammad saw.. Pengingkaran mereka terhadap kebenaran ini telah membuat mereka jadi keras sedemikian rupa sehingga mereka secara mental tidak siap untuk menerima pesan baru. Mereka tetap saja masih menunggu Kristus, sementara Kristus telah datang dan pergi. Satu kali mereka gagal mengenali beliau, mereka tidak jauh berbeda dalam mengenali beliau kembali pada kedatangan beliau yang kedua. Tampaknya mereka telah ditakdirkan untuk menunggu secara abadi Kristus versi impian mereka.
Adalah Kristus yang bertugas mempersiapkan jalan bagi agama berikutnya yang lebih tinggi, yakni Islam. Pemyataan ini hendaknya tidak ditanggapi terlalu kaku. Kami tidak menyatakan bahwa orang-orang Yahudi harus terlebih dahulu menerima Kristen dan kemudian mengambil langkah berikutnya masuk Islam. Suatu panorama manifestasimanifestasi keagamaan menjadi terlalu naif ketika itu terjadi. Yang kami coba paparkan adalah, suatu umat yang telah menolak seorang nabi atau seorang rasul, yang bukan seorang nabi biasa melainkan yang memainkan suatu peran sangat penting dalam pelatihan mental dan ruhani umat tersebut, mereka lakukan demikian hanya jika mereka dalam kondisi sakit secara ruhani maupun mental. Jika penyakit telah diobati dan sikap tercela terhadap kebenaran telah diperbaiki, maka mereka tampaknya akan mengikuti seorang nabi yang telah ditempatkan pada jalur yang telah hilang bagi mereka.
Sejauh yang berkaitan dengan sikap orang-orang Kristen, mereka hanya dapat digiring kepada kebenaran Nabi Muhammad jika mereka kembali kepada kebenaran dan realita Yesus Kristus. Beliau tidak hanya merupakan jalan menuju Tuhan, tetapi juga, sebagaimana segenap nabi lainnya, merupakan jalan yang membawa kepada nabi yang telah ditakdirkan datang sesudah beliau.
Yesus hanyalah mata-rantai tengah dalam kiasan kebun anggur. Perwakilan sempuma Tuhan masih akan datang. Oleh sebab itu, jika umat Kristen tidak kembali dari sosok Yesus Kristus yang keliru, khayalan, dan berbau dongeng itu lalu menuju kepada kenyataan junjungan suci mereka yang lebih agung dan mulia, maka mereka tidak dapat diarahkan ke jalan yang telah mengaitkan Yesus Kristus dengan Nabi Muhammad s.a.w.
Nabi Muhammad adalah suatu realita dan bukan sebuah kisah dongeng, dan hanya realita lah yang dapat menghubungkan realita-realita lainnya. Oleh sebab itu, fakta Kristus lah – bukan kisah dongeng yang ke dalamnya beliau telah dimasukkan – yang akan memberkati umat Kristen untuk mengenali kebenaran Nabi Muhammad.
1. Eusebius; The History of the Church, halaman 90-91, (Penguin 1989)
2. The Dead Sea Scroll Uncovered, R. Eisenman & M. Wise, p.186, (Element Books, 1992).
3. The Dead Sea Scroll Uncovered, R. Eisenman & M. Wise, p. 233-234, (Element Books, 1992).
4. The Messianic Legacy, M. Baigent, R. Leigh, H. Lincoln, p.135-138 (Corgi Books)
Ajaran Kristen Zaman Sekarang
Masalah paling besar yang dihadapi dunia Kristen zaman sekarang bukanlah masalah kurangnya pemahaman, sebagaimana kurangnya kehendak dan keinginan untuk menerima kebenaran. Ajaran Kristen, apakah itu yang berupa kisah dongeng atau pun kisah nyata, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari peradaban Barat dan telah memainkan suatu peran penting dalam kolonisasi dan penaklukan-penaklukan imperialisme mereka. Ajaran Kristen mendukung sistim-sistim politik dan ekonomi mereka serta memberikan, kepada mereka suatu kekuatan yang menyatu dan saling bertalian, sehingga menjadikan mereka sebagai satu wujud yang kuat dan menyatu. Ajaran Kristen telah memainkan sebuah peran vital dalam membangun dan membentuk sistim sosial politik dan ekonomi Barat yang pelik. Apa yang kita pahami sebagai peradaban Barat atau imperialisme Barat dan dominasi ekonominya, telah dirasuki oleh beberapa unsur ajaran Kristen. Dalam kondisinya sekarang, ajaran Kristen tampak cenderung berbakti dengan lebih baik bagi tujuan-tujuan material Barat dibandingkan bagi tujuan ruhani. Sedangkan pada masa lalu peran ajaran Kristen lebih banyak mengarah pada dukungan terhadap kepercayaan-kepercayaan Kristen dan dalam membangun nilai-nilai moral.
Peran paling bersejarah yang telah dimainkan oleh ajaran Kristen, adalah dalam membangun dan memperbesar Imperialisme Barat. Dunia Timur telah ditaklukkan dengan semangat Kristen dan khususnya dalam peperangan yang dilakukan terhadap kerajaan Islam yang didorong secara kuat oleh kebencian Kristen terhadap Islam.

Kristen dan Kolonialisme

Ketika kekuasaan kolonial menaklukkan hampir seluruh benua Afrika dan mengikat penduduk Afrika mulai dari mahkota hingga ke ujung kaki dalam rantai-rantai ikatan politik, mereka tidak harus menunggu lama sampai tangan dan kaki mereka terikat dalam rantai-rantai perbudakan ekonomi. Penaklukan-penaklukan imperial tidak akan bermakna tanpa suatu penaklukan ekonomi rakyat. Tidak jauh di belakang para penguasa politik dan ekonomi, datanglah para pendeta Kristen, mengenakan jubah kerendahan hati dan pengorbanan diri. Tujuan mereka mengunjungi Afrika tampil [seolah-olah] sama sekali bertolak belakang dengan tujuan barisan depan politik dan ekonomi mereka. Mereka datang tidak untuk memperbudak, seperti yang mereka katakan, tetapi untuk memerdekakan jiwa Afrika. Cukup mengejutkan bahwa rakyat Afrika tidak mempertanyakan niat yang tampaknya mulia itu. Mengapa mereka tidak mempertanyakan secara hormat para pemimpin Gereja yang ramah dan dermawan, misalnya mengapa para pendeta itu harus kasihan hanya terhadap jiwa-jiwa mereka saja? Tidakkah para pendeta itu dapat melihat betapa tubuh mereka telah diperbudak secara keji? Bagaimana sampai kemerdekaan politik mereka tanpa alasan telah dirampas? Bagaimana sampai mereka telah diikat dalam rantai-rantai perbudakan ekonomi? Mengapa para pendeta itu tidak kasihan terhadap kondisi lahiriah mereka yang dibelenggu dan mengapa mereka hanya tertarik pada pembebasan jiwa suatu masyarakat yang telah diperbudak?
Kontradiksi yang melekat ini nyata sekali, tetapi tidak terlalu nyata bagi mereka yang telah menjadi mangsa korban rekayasa-rekayasa Kristen. Afrika memang lugu, dan lebih lugu sekarang dibandingkan dua ratus tahun lalu. Masyarakat Afrika masih tidak menyadari perbuatan memperbudak mereka secara politik maupun ekonomi melalui sistim neo-kolonialisme yang tidak tampak dan dikendalikan jarak jauh. Mereka tetap tidak merasakan bahwa bagi mereka Kristen hanyalah suatu alat penjajahan.
Seperti opium yang telah membuat mereka terleria dalam tidur nyenyak tanpa sadar. Hal itu memberikan rasa keterikatan mereka yang keliru terhadap para penguasa mereka dalam menikmati bersama paling tidak sesuatu pada landasan yang setara dengan mereka Dalam makna keterikatan seperti itulah mereka telah digiring untuk meniru gaya hidup Barat yang sangat mahal. Pohon-pohon tetap tertanam dinegeri-negeri asing, tetapi hanya buah-buah saja yang diangkut kepada orang-orang yang telah ketagihan terhadap rasa buah tersebut. Inilah sebuah gambaran kecil bagaimana Kristen selamanya telah menjadi sangat dibutuhkkan bagi imperial Barat dan penjajahan ekonomi Dunia Ketiga.
Di Barat sendiri, terlepas dari apakah seorang awam memahami kepelikan dogma Kristen atau tidak, dia memandang Kristen sebagai suatu bagian yang menyatu dalam budaya dan peradabannya. Hendaknya diingat, kekuatan nyata nilainilai Kristen, di mana pun nilai-nilai itu bertahan, tidaklah terletak pada kepercayaan-kepercayaan Kristen yang berbau dongeng. Melainkan, terletak pada penekanan terhadap kebaikan, simpati, pengabdian demi penderitaan dari nilainilai lainnya yang telah identik dengan Kristen. Walaupun nilai-nilai ini umum terdapat pada seluruh agama di dunia dan tampaknya merupakan tujuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan untuk dicapai oleh seluruh umat manusia, tetapi propaganda gencar yang dilakukan oleh Kristen secara terusmenerus menekankan peran-peran tersebut dalam kaitan dengan Kristen saja, dan dengan demikian telah berhasil membuat orang-orang yakin dalam jumlah besar. Ajaran tentang simpati, baik budi, kebaikan dan perilaku lembut memainkan pengaruh magic pada telinga-telinga dengan musiknya yang memukau. Dunia romantis inilah yang secara umum telah menarik orang-orang ke dalam agama Kristen. Demikianlah, secara beriringan, berbeda dari itu; Kristen menjalankan kenyataan-kenyataan keras, politik, ekonomi kehidupan Barat dan penjajahannya di seluruh dunia.
Tampaknya paradoks dogmatis yang harus dijalani oleh umat Kristen dalam hidup mereka, dalam kadar tertentu telah menjelma dalam perilaku keduniawian mereka. Kebaikan, kerendahan hati, toleransi, pengorbanan dan kata-kata mulia lainnya seperti itu tampil bergandengan dengan kekejaman, penindasan, ketidakadilan yang menyolok, dan penjajahan dalam skala besar di dunia terhadap orang-orang yang tidak mampu membela diri. Ketentuan hukum, keadilan dan aturan main yang jujur tampaknya hanya merupakan mata uang yang berlaku di kalangan budaya-budaya Barat sendiri saja. Dalam hubungan-hubungan internasional, ternyata ketentuan-ketentuan itu diperlakukan sebagai istilah-istilah tolol dan kuno yang harus dilakukan secara sungguh-sungguh hanya oleh pihak-pihak yang lugu.
Politik-politik internasional, hubungan-hubungan diplomasi dan ekonomi tidak mengenal keadilan selain yang menguntungkan bagi kepentingan nasional. Nilai-nilai ajaran Kristen, betapa pun baiknya, tidak diizinkan untuk memasuki kawasan kekuasaan politik-politik dan ekonomi Barat. Ini merupakan kontradiksi yang paling tragis di zaman modern.
Ketika sampai kepada gambaran yang ditampilkannya, ajaran Kristen hanya ditampilkan dalam bentuk budaya dan peradaban Barat yang atraktif yang mengajak dunia Timur kepada suatu kehidupan yang nyaman, riang, serba memperbolehkan, dibandingkan dengan ketentuanketentuan yang umumnya kaku pada masyarakatmasyarakat agama mereka yang merosot. Ajaran emansipasi/kebebasan ini dalam skala besar keliru dipahami oleh masyarakat yang kurang terpelajar di Dunia Ketiga sebagai sesuatu yang sangat atraktif. Ditambah lagi keuntungan psikologis tambahan berupa perolehan suatu rasa kepemilikan terhadap dunia maju melalui kesamaan agama, dan orang mulai mengenali peran hakiki Kristen dalam menarik sejumlah besar orang-orang yang terinjakinjak di bawah, dalam banyak kasus, orang-orang buangan dan orang-orang tertindas pada tingkatan terendah di masyarakat mereka sendiri yang terpecah-pecah dalam berbagai kelas. Adalah di luar jangkauan mereka untuk memahami dogma Kristen. Kristen hanya berfungsi untuk mengangkat status kemanusiaan mereka saja, tetapi secara palsu.
Dari hal di atas hendaknya menjadi jelas bahwa ajaran Kristen yang kita bicarakan ini sangat jauh dari ajaran Kristen Yesus Kristus. Menganggap budaya Barat sebagai ajaran Kristen adalah suatu kekeliruan nyata. Mengaitkan bentuk ajaran Kristen zaman sekarang dalam berbagai bidang kepada Kristus, adalah suatu penghinaan terhadap beliau. Memang terdapat pengecualian-pengecualian dalam setiap ketentuan. Tidak ada pernyataan yang berlaku secara menyeluruh terhadap suatu kelompok besar. Tidak diragukan, masih terdapat sejumlah kecil pulau-pulau harapan individu dan kehidupan di dunia Kristen di mana ketulusan, kecintaan dan pengorbanan menurut ajaran Kristen diterapkan secara murni. Ini adalah `pulau-pulau' harapan yang dikitari oleh samudera-samudera ganas ketidak-bermoralan yang secara perlahan dan bertahap mengikis dan akhirnya mencaplok batas-batas yang lebih banyak lagi dari pulau-pulau tersebut. Jika dunia Kristen tidak disinari oleh tauladan-tauladan Kristen yang berkilauan seperti itu, yang dilakukan sesuai teladan Yesus Kristus, betapa pun jauh antara keduanya dan sedikit, maka suatu kegelapan menyeluruh akan menyelimuti cakrawala Barat. Tanpa Kristen, tidak ada cahaya dalam peradaban Barat, tetapi, sayangnya, cahaya itu pun cepat memudar.
Penting bagi dunia Kristen untuk kembali kepada realita Kristus dan mengobati diri mereka sendiri dari terpecahnya jatidiri mereka dan dari kemunafikan yang mendarah-daging. Terus-menerus hidup dalam suatu dunia mitos dan legendalegenda, sangat berpotensi mengalami resiko-resiko mematikan. Tujuan utama pengkajian ini adalah untuk menyadarkan dunia Kristen tentang bahaya-bahaya besar yang menanti di balik kontradiksi yang semakin lebar antara keimanan dan amal perbuatan mereka. Mitos-mitos memang bagus, sepanjang tujuannya untuk menjajah jenjang-jenjang masyarakat terendah sebagai cara untuk mengendalikan mereka dan mengeksploitasi ketidaktahuan mereka dengan cara membuat mereka tetap terbius. Namun, apabila tiba saatnya keimanan-keimanan yang memainkan peran vital dalam menghidupkan suatu masyarakat yang telah mati dan merekonstruksi nilai-nilai moral mereka yang merosot dengan cepat, maka mitos-mitos seperti itu tidak ada gunanya. Mitos-mitos hanyalah khayalan-khayalan, dan khayalan-khayalan tidak pernah dapat memainkan suatu peran bermakna dalam urusan umat manusia.

Kedatangan Kembali Yesus Kristus

Penerapan [hasil] pengamatan-pengamatan yang telah dilakukan sejauh ini sekarang dapat diperagakan. Permasalahan vital tentang keselamatan umat manusia zaman sekarang, berkisar pada sosok sentral Yesus Kristus. Oleh karena itu sangat penting untuk memahami realita beliau. Siapa beliau dan peran apa yang telah beliau mainkan pada saat pertama sebagai Kristus di tengah-tengah masyarakat Yahudi yang telah merosot? Seberapa jauh kesungguhan kita dapat menanggapi janji kedatangan beliau kembali di akhir zaman? Inilah permasalahan-permasalahan vital yang harus kita perbincangkan.
Jika sosok Yesus Kristus tidak nyata dan hanya merupakan sebuah produk khayalan manusia, maka tidak mungkin untuk membayangkan kedatangan beliau kembali. Akan tetapi, walau bagaimanapun Yesus bukanlah sebuah produk khayalan. Beliau adalah seorang manusia nyata, dan hanya sebagai manusia nyatalah beliau dapat dilahirkan kembali sebagai seorang anak manusia, dan bukan turun sebagai hantu yang mendatangi makhluk-makhluk hidup. Khayalan-khayalan seperti itu tidak pernah muncul dalam kenyataan-kenyataan hidup manusia. Selain itu, suatu masyarakat yang hidup dengan dongeng-dongeng dan legenda-legenda, terus berlanjut melakukan hal demikian, mereka tidak akan pernah memiliki peluang untuk mengenali juru selamat mereka tatkala dia datang.
Jika Yesus memang benar Anak Tuhan, sebagaimana yang dikehendaki oleh orang-orang Kristen agar kami percaya, maka tentu beliau akan kembali dengan keagungan, menumpukan kedua tangan beliau pada pundak malaikatmalaikat nyata. Namun, jika hal ini sekedar suatu khayalan romantis dari harapan-harapan dan aspirasi-aspirasi Kristen, maka peristiwa tersebut tidak akan pernah terjadi. Tidak akan pernah dunia menyaksikan peristiwa aneh ini, yakni beberapa tuhan turun dari langit/sorga dalam bentuk manusia beriringan dengan sebuah pasukan malaikat yang mendukungnya dan menyanyikan lagu-lagunya.
Pemikiran ini sangat menjijikkan bagi logika manusia dan hati nurani manusia. Ini merupakan kisah dongeng paling ngawur yang pemah dikarang untuk menidurkan kemampuan-kemampuan manusia. Di sisi lain, jika pemahaman Ahmadiyah tentang Yesus Kristus diterima, hal itu akan menggantikan skenario fantastik tersebut dengan sesuatu yang tidak hanya diterima oleh pemahaman manusia, tetapi juga secara kuat didukung oleh seluruh sejarah agama umat manusia. Dalam kasus tersebut kami pun menunggu-nunggu seorang juru selamat yang tidak berbeda dari Kristus yang telah datang sebelumnya. Kami menunggu seorang manusia rendah hati, yang lahir dari keturunanketurunan rendah hati seperti Yesus Kristus yang telah datang sebelumnya, yang akan memulai tugasnya dalam gaya yang sama seperti yang pernah Yesus lakukan. Dia akan berasal dari suatu umat beragama yang menyerupai orang-orang Yahudi di Judea, dalam hal sikap-sikap dan kondisikondisi mereka. Mereka tidak hanya akan menolak serta memungkiri penda'waannya sebagai Pembaharu Yang Dijanjikan, yang mereka tunggu-tunggu sebagai juru selamat mereka dari Tuhan, tetapi juga akan menggunakan segenap kekuatan mereka untuk membinasakannya. Dia akan menghidupkan kembali seluruh kehidupan Kristus dan akan diperlakukan dengan penghinaan, kebencian dan keangkuhan yang sama Dia akan mengalami penderitaan sekali lagi, bukan di tangan umatnya, melainkan di tangan kekuatan-kekuatan musuh mirip seperti yang telah menentang Yesus sebelumnya. Dia juga akan mengalami penderitaan di tangan kekuatan kerajaan besar asing yang di bawah kekuasaannya dia akan dilahirkan di tengah-tengah rakyat yang terjajah.
P.D.Ouspensky, seorang penulis Rusia temama di permulaan abad keduapuluh, menuliskan tentang kedatangan kembali Yesus Kristus dalam pandangan yang sangat mirip:
Ini sama sekali bukanlah pemikiran baru bahwa Kristus, jika dilahirkan ke bumi di kemudian hari, bukan hanya tidak akan dapat menjadi pemimpin Gereja Kristen, tetapi mungkin bahkan tidak akan punya kaitan dengan itu, dan pada periodeperiode gemilang kehebatan serta kekuatan Gereja dia sudah pasti akan dinyatakan sebagai seorang yang menyimpang dari agama dan akan dibakar di tempat pembakaran. Bahkan walau di masa-masa kita yang lebih memperoleh penerangan/petunjuk, ketika Gereja-gereja Kristen, jika mereka belum kehilangan ciri-ciri anti-Kristen mereka, bagaimana pun juga telah mulai menyembunyikannya, Kristus akan dapat hidup tanpa mengalami penganiayaan dari "para juru tulis dan Farisi" mungkin hanya di tempat tertentu di suatu pertapaan/tempat-terpencil Rusia. 1
Ini hanyalah proses nyata yang dalamnya para utusan dan pembaharu Samawi dibangkitkan. Apa pun konsep lain di luar itu adalah dusta, palsu, dan tidak bermakna.
Memang selalu terjadi bahwa pada waktu terpenuhinya kabar ghaib tentang kedatangan pembaharu-pembaharu Samawi, yang untuk keselamatan mereka para pembaharu itu telah diutus, umat itu gagal mengenalinya. Pada periode sejarah itu masyarakat tersebut telah merubah gambaran tentang pembaharu mereka dari kenyataan menjadi khayalan. Mereka mulai menanti-nanti suatu khayalan untuk tampil dan muncul secara zahir, sementara apa yang terjadi hanyalah suatu pengulangan kembali sejarah agama seperti yang telah terjadi tanpa kecuali sejak masa pembaharu Ilahi pertama. Para pembaharu senantiasa tampil sebagai manusia rendah hati yang dilahirkan dari ibu-ibu manusia dan selama hidup mereka selalu diperlakukan sebagai manusia. Jauh sesudah kematian merekalah proses pendewaan mereka bermula. Dalam kondisi demikian, penerimaan yang baik terhadap mereka pada saat kedatangan mereka yang kedua kalinya menjadi tidak mungkin.
Ketika umat beragama seperti itu dihadapkan pada ke-nyataan-kenyataan para pembaharu Samawi, yang selamanya tampil sebagai manusia biasa yang lemah, mereka langsung menolaknya. Ketika anda menanti-nanti kedatangan seorang peri (makhluk khayalan) atau hantu untuk menjelma secara zahir, bagaimana mungkin anda dapat menerima kedatangan seorang manusia biasa? Itulah sebabnya mengapa dunia gagal menyaksikan dan mengenali kedatangan Yesus Kristus yang kedua kalinya, yang temyata hal itu telah terjadi.
Mungkin ini suatu penda' waan berlebihan yang tampaknya mudah ditolak oleh hampir seluruh pembaca. Bagaimana mungkin Yesus telah datang dan pergi tanpa [sempat] dicermati secara sungguh-sungguh oleh dunia? Bagaimana mungkin beliau telah pergi tanpa dipedulikan oleh seluruh dunia Kristen dan Islam? Zaman-zaman modern telah menyaksikan banyak penda'wa demikian yang bahkan telah menciptakan kegemparan-kegemparan dan badai topan di banyak kawasan kecil, tetapi kemana gerangan mereka kini?
Ini adalah suatu zaman ketika di banyak negara, sektesekte tumbuh seperti jamur, dan pendawaan-pendawaan aneh bahwa Yesus telah datang atau telah mengutus pembuka jalan baginya, telah dilakukan secara sporadis. Pernyataan ini mungkin hanya salah satu di antaranya. Mengapa seorang yang berpikiran serius harus menghabiskan waktunya untuk merenungkan hal ini? Secara pasti, keraguan-keraguan serius akan timbul dan suatu dilema pelik pasti akan dihadapi. Kami mohon perhatian pembaca untuk sudi membayangkan situasi itu bila Kristus benar-benar datang kembali. Apakah kedatangannya kembali hanyalah suatu khayalan atau dapatkah benar-benar beliau sendiri datang kembali ke dunia atau melalui pengganti? Inilah sebuah pertanyaan yang harus dipecahkan sebelum kita dapat mencoba menjawab berbagai keraguan yang telah dipaparkan di atas.
Apakah dunia, Kristen maupun Islam, benar-benar berada dalam kondisi pemikiran yang secara psikologis siap menerima kedatangan Yesus kedua kalinya? Jika ya, dalam bentuk apa dan dengan cara bagaimana? Jika kita memandang hal ini dari sudut pandang umat Islam dan Kristen keduanya, Yesus, jika beliau memang akan kembali, akan datang dengan keagungan sedemikian rupa serta dengan tanda-tanda begitu jelas, turun dari langit di siang hari bolong dengan para malaikat yang memapah beliau, maka hal itu menjadi tidak mungkin bagi orang yang paling ragu untuk menolak menerima beliau.
Sedihnya, hanya Yesus versi khayalan sajalah yang dapat diterima oleh dunia zaman sekarang. Yaitu seorang Yesus yang tidak pemah datang sebelumnya di seluruh sejarah umat manusia. Jika sejarah agama diperhatikan secara sungguh-sungguh, orang akan menemukan sejumlah contoh mengenai pendiri-pendiri agama mana saja dan para utusan Samawi mana saja yang diriwayatkan telah naik ke langit dengan tubuh kasar mereka. Penda'waan-penda'waan ini begitu banyak dan tersebar luas sedemikian rupa sehingga tampaknya hal itu merupakan suatu gaya universal umat manusia untuk mengarang kisah-kisah semacam itu dalam rangka mengangkat derajat dan menjadikan para pemimpin agama mereka sebagai manusia luar biasa. Pertanyaannya adalah, bagaimana kita dapat menyangkal segenap riwayat ini yang telah diterima dan dipercayai mungkin oleh milyaran umat manusia di dunia zaman sekarang? Umat Kristen dan Islam saja yang mempercayai hal ini dan beberapa hal aneh serupa lainnya, sudah melebihi dua milyar. Jadi, seorang pembaca dapat mempertanyakan, apa hak kami atau siapa pun di dunia ini, untuk menolak seluruh kepercayaan semacam itu sebagai sesuatu yang tidak nyata dan berupa khayalan? Kami setuju bahwa menguji hal tersebut dari sudut ini akan menuntut suatu usaha yang keras untuk menolak penda'waan-penda'waan semacam itu, sebab tidak didukung oleh kitab-kitab suci dari agama-agama tersebut, yang dianut oleh mereka. Sekali seseorang sampai pada penafsiran alternatif dan mungkin, yang pelik ini, hal itu hanya akan berakhir pada selera kesukaan dan pilihan. Akhimya hal itu menjadi permainan setiap orang untuk menafsirkan kitab-kitab suci atau sejarah agama yang diriwayatkan sebagai sesuatu yang hakiki atau kiasan. Untuk melangkah ke dalam kubangan penjelasan-penjelasan yang penuh pertentangan ini tidak akan menghasilkan apa-apa. Namun, hanya ada satu jalan keluar dari upaya yang sukar ini, yang dapat kami tunjukkan kepada para pembaca dan mengajak mereka untuk mengikuti atau menolaknya sesuai kehendak mereka.
Demi untuk argumentasi, andaikan kita menerima segenap penda'waan tentang para pemimpin agama yang [diriwayatkan] telah naik ke langit dan menerimanya begitu saja. Jika kasus Yesus Kristus yang diriwayatkan naik itu disikapi dalam pengertian yang selintas sedangkan kedatangan beliau yang kedua kali diartikan secara hakiki dan nyata, maka tidak ada alasan mengapa kita harus menolak kasus-kasus serupa lainnya di dunia. Mengapa memberikan pengecualian pada Elia (Ilyas), Raja Salim, Imam ke-12 golongan Syiah dalam Islam, kenaikan dewa-dewa Hindu, atau orang-orang suci lain dan apa-apa yang disebut sebagai penjelmaan-penjelmaan Tuhan yang serupa? Oleh karena itu, lebih aman untuk menghindari masuk ke dalam perdebatan-perdebatan yang tidak produktif dan sia-sia seperti itu. dengan orang-orang yang menganut kepercayaankepercayaan demikian. Seseorang dapat menanyakan kepada segenap orang yang mudah mempercayai khayalan seperti itu, jika mereka dapat menunjukkan satu saja kedatangan kembali, secara pribadi, dari antara orang-orang yang diriwayatkan telah naik ke langit yang jauh. Dapatkah segenap sejarah manusia menampilkan satu contoh saja tentang kembalinya seseorang dengan tubuh kasar ke dunia ini, yang telah diriwayatkan naik ke langit dengan tubuh kasamya? Tunjukkan kepada kami jika memang itu ada.
Memperhatikan tidak adanya sama sekali pemenuhan secara harfiah penda'waan-penda'waan semacam itu, orang dihadapkan pada dua pilihan: menolak penda'waan-penda'waan seperti itu sebagai suatu penipuan atau menerimanya dalam makna kiasan, seperti yang dilakukan Yesus dalam kasus kedatangan Eliya/llyas yang kedua kalinya. Dari hal ini jelas bahwa orang-orang yang menantinanti kedatangan Yesus secara harfiah dari langit telah menciptakan suatu penghalang antara diri mereka sendiri dengan realita Yesus. Jika memang Yesus datang kembali, beliau akan datang hanya sebagai manusia biasa seperti segenap pembaharu Samawi yang dinanti-nantikan sebelum beliau. Jika beliau tampil sebagai seorang manusia biasa yang rendah hati, dilahirkan di sebuah negeri yang serupa dengan Judea di Palestina dan mendapat mandat memainkan peran sama seperti yang beliau mainkan pada kedatangan pertama beliau, apakah orang-orang di negeri itu akan memperlakukan beliau berbeda dari perlakuan yang beliau terima sebelumnya?

1. P.D. Ouspensky, A New Model of the Universe, p. 149-150
Ajaran Kristen Zaman Sekarang
Almasih yang Dijanjikan
Begitulah kasus kedatangan kembali Almasih yang kami percayai. Hal itu terjadi sekitar seratus tahun lalu, seorang hamba Allah yang rendah hati, bernama Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, telah diberitahukan oleh Allah bahwa Yesus dari Nazaret, putra Maryam, yang kedatangannya kembali secara harfiah dinanti-nantikan baik oleh umat Kristen maupun umat Islam bersama-sama, adalah seorang nabi Allah yang istimewa, yang telah wafat seperti layaknya nabi-nabi Allah lain. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad menda'wakan bahwa Yesus tidak hidup dengan tubuh kasar beliau, dan tidak pula beliau diangkat ke langit tertentu dengan tubuh kasar beliau untuk menunggu masa keberangkatan beliau yang kedua kalinya ke bumi. Beliau telah wafat seperti segenap nabi Allah lainnya, dan beliau tidak lebih dari seorang nabi. Kedatangan Yesus Kristus untuk yang kedua kalinya – suatu kepercayaan yang umum terdapat di kalangan umat Kristen dan Islam – telah diberitahukan kepada Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad akan terjadi secara ruhani dan bukan secara harfiah. Dengan demikian, beliau telah diberitahukan bahwa Allah telah mengangkat beliau untuk memenuhi nubuatan tersebut.
Mirza-Ghulam Ahmad berasal dari sebuah keluarga terhormat di Punjab. Upaya-upaya yang dilakukan oleh keluarga beliau umumnya bertujuan membangun keberuntungan dan kehormatan mereka, tetapi beliau menjauhkan diri beliau sendiri dari upaya-upaya duniawi dan menghabiskan hampir seluruh waktu beliau dalam beribadah kepada Allah dan menelaah agama. Beliau adalah seorang yang sama sekali hampir tidak terpaut dengan dunia, sangat sedikit dikenal di kota kecil kelahirannya sendiri. Kemudian secara perlahan beliau tampil di cakrawala agama di India sebagai seorang pembela dan pahlawan bagi kepentingan Islam. Beliau jadi dikenal sebagai seorang suci dengan kemashuran sedemikian rupa sehingga beliau tidak hanya meraih penghormatan dari kalangan umat Islam saja tetapi juga dari para pengikut agama agama lain. Orang-orang mulai menyaksikan dalam pribadi beliau seorang yang dekat dengan Allah, yang doa-doanya dikabulkan, ketulusannya yang mendalam terhadap umat manusia serta terhadap penderitaan orang-orang yang kesemuanya itu tidak perlu dipertanyakan lagi.
Islam, pada masa itu di India, malangnya berada dalam kondisi yang sangat patut dikasihani. Islam menjadi sasaran para misionaris Kristen, yang berdasarkan dengan kebijakankebijakan Kerajaan Inggris, melancarkan suatu kampanye yang sangat tajam tidak hanya terhadap ajaran-ajaran Islam tetapi juga terhadap Nabi Suci Islam. Demikian pula, di kalangan Hindu, agama terbesar di India, gerakan-gerakan ekstrim yang ambisius bermunculan dengan dua rencana besar: menghidupkan kembali budaya serta tradisi Hindu, dan menghapuskan Islam serta umat Islam dari India, menggambarkan umat Islam sebagai pendatang-pendatang asing yang tidak memiliki hak untuk berakar di negeri itu. Yang paling agresif di antaranya adalah Gerakan Arya Samaj, yang didirikan pada tahun 1875 oleh Pandit Swami Dyanand Sarsuti (1824-1883). Mungkin gerakan ini selanjutnya telah memotivasi Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad untuk memulai penelitian luas mengenai perbandingan agama-agama, guna membela Islam.
Penelaahan beliau itu lebih lanjut memperkuat keimanan beliau terhadap keunggulan ajaran-ajaran Islam. Beliau sangat terkesan pada pendekatan istimewa yang dilakukan Alquran terhadap permasalahan-permasalahan umat manusia. Alquran, beliau dapati, setelah memaparkan sebuah haluan sikap manusia, tidak berhenti. pada perintah secara sewenang-wenang, melainkan berkelanjutan membangun argumentasi-argumentasi kuat dan logis yang didukung oleh bukti bahwa haluan yang dipaparkan itu merupakan pilihan tepat dalam konteks yang dikemukakan.
Penelaahan-penelaahan beliau pada akhirnya membuat beliau mampu memenangkan kepentingan Islam, yang pada waktu itu praktis tidak berdaya. Demikianlah beliau melakukan hal-hal yang mendesak untuk membela Islam di India pada masa itu. Beliau memulai kehidupan terbuka beliau dengan menyelenggarakan dialog-dialog dan perdebatan-perdebatan dalam skala kecil yang secara bertahap berkembang dalam lingkup yang lebih luas. Ketenaran beliau sebagai pembela kepentingan Islam yang sangat tangkas dan hebat mulai menyebar jauh dan luas.
Dalam masa itulah beliau mulai menulis salah satu karya tulis agama terbesar yang pernah beliau buat. Buku itu, Barahiin Ahmadiyyah,direncanakan untuk diterbitkan dalam 50 jilid, tetapi beliau hanya dapat menerbitkan lima jilid pertama, sementara peristiwa-peristiwa yang menggemparkan telah menyelimuti beliau dan sejak saat itu tidak lagi mungkin bagi beliau untuk melakukan tugas ilmiah guna menyelesaikannya. Walau demikian, beliau sesudah itu telah menulis banyak buku lain dalam menanggapi kebutuhan-kebutuhan zaman. Buku-buku beliau meliputi hampir seluruh permasalahan yang pada mulanya memang telah beliau niatkan untuk digarap dan lebih dari itu. Pada kenyataannya beliau melakukan lebih dari pemenuhan janji beliau [mengenai Barahiin Ahmadiyyah], walaupun bukan dalam judul tersebut. Sungguh menakjubkan, bagaimana beliau telah mampu menghasilkan buku-buku yang begitu banyak seorang diri, tanpa banyak dukungan tenaga pembantu. Buku-buku, selebaran-selebaran dan risalah yang telah beliau tulis, mencapai jumlah sekitar seratus sepuluh buah.
Bukan hanya karya-karya tulis beliau saja yang telah membuat beliau dikenal luas di seluruh anak benua [India], tetapi juga nilai-nilai keruhanian beliau telah memainkan peran vital dalam memberikan ketenaran dan kehormatan yang sangat luas bagi beliau:
Dalam kegemerlapan reputasi beliau yang melonjak dan meluas itulah beliau diberikan mandat oleh Allah untuk memikul tanggung-jawab besar sebagai pembaharu di akhir zaman yang telah dinantikan dan ditunggu-tunggu oleh hampir seluruh agama di dunia. Dari sudut pandang umat Islam beliau adalah Al-Mahdi, pembaharu yang memperoleh petunjuk Ilahi. Dari sudut pandang umat Kristen dan Islam, beliau diangkat ke derajat Almasih Yang Dijanjikan (Al Masihil Mau'ud) untuk memenuhi nubuatan kedatangan kembali Yesus Kristus. Akan tetapi, pemberian mandat ini telah mengorbankan seluruh kemashuran dan ketenaran yang telah beliau peroleh sebelumnya. Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, pembaharu ruhani yang telah ditunjuk oleh Allah bagi zaman ini, telah ditinggalkan dengan segera dan telah ditolak tidak hanya oleh para pengikut agama-agama lain tetapi lebih dahsyat lagi ditolak oleh umat Islam India sendiri, umat yang untuk merekalah beliau telah melakukan pembelaan dengan sangat tangkas dan gigih.
Hal itu praktis merupakan suatu kelahiran ruhani baru bagi beliau. Sebagaimana beliau telah datang seorang diri ke dunia ini, demikianlah beliau telah memulai suatu hidup baru sebagai seorang manusia sebatang kara dalam dunia agama, dan praktis telah ditinggalkan oleh segenap pihak di sekeliling beliau. Namun, Allah tidak meninggalkan beliau. Kepada beliau telah berkali-kali diyakinkan mengenai bantuan dan dukungan Allah melalui berbagai wahyu yang beliau terima selama masa penentangan yang gencar itu. Pada kesempatan lain telah diwahyukan kepada beliau:
Seorang pemberi ingat telah datang ke dunia, tetapi dunia tidak menerimanya, namun Tuhan akan menerimanya dan akan membuktikan kebenarannya melalui Tanda-tanda yang luar biasa.
Aku akan menyampaikan tabligh/amanat engkau ke seluruh pelosok dunia.
Terdapat beberapa wahyu permulaan yang telah membuat beliau tabah selama masa kesedihan yang perih dan penolakan yang beliau alami di tangan para penentang beliau. Lebih dari seratus tahun telah berlalu sejak saat itu, dan gambaran yang muncul secara perlahan namun mantap telah sepenuhnya mendukung penda'waan-penda'waan dan nubuatan-nubuatan beliau serta kebenaran wahyu-wahyu beliau.
Dari seorang diri itu telah tumbuh menjadi sepuluh juta orang di seluruh dunia di 134 negara yang tersebar di lima benua.2 Tabligh/ ajaran beliau telah sampai di pelosokpelosok dunia, dari belahan barat yang terjauh hingga ke belahan timur yang paling jauh. Beliau telah diterima sebagai Imam Mahdi Yang Dijanjikan dan Almasih Yang Dijanjikan (Al Masihil Mau'ud) pada kedatangan yang kedua di Amerika, Eropa, Afrika, Asia dan bahkan di kepulauan-kepulauan jauh di Pasifik Tenggara, seperti Fiji, Tuvalu, Kepulauan Solomon dan sebagainya. Di samping itu, para pengikut beliau dapat dengan tepat digambarkan sebagai sebuah kolam kecil yang tidak berarti dibandingkan dengan samudra besar dunia Kristen.
Keberhasilan-keberhasilan Jemaat Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad akan membutuhkan suatu tempat yang sangat luas di ruang kecil yang tersedia di sini, tetapi sangat penting dicatat bahwa tidak ada gerakan agama lainnya di zaman modern ini yang telah mengalami kemajuan dan menyebar begitu cepat dengan suatu langkah yang demikian mantap. Ini bukanlah sebuah sekte [sempalan], dan bukan pula ini suatu trend gila-gilaan yang populer. Ini adalah suatu amanat serius – suatu tugas pendakian yang menuntut upaya dan disiplin besar dari pihak-pihak yang gigih mengikutinya.
Mereka yang mengikutinya, melakukan hal demikian dengan menerima banyak tanggung-jawab besar yang akan dilimpahkan kepada mereka sepanjang hidup mereka. Jemaat ini sangat disiplin seperti kelompok Essen masa awal. Menerima penda'waan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad sebagai Almasih Yang Dijanjikan (Al Masihil Mau'ud) bukanlah bersenang-senang dengan kisah-kisah manis, melainkan merupakan suatu janji seumur hidup. Mereka yang telah baiat bergabung masuk ke dalam Jemaat ini harus menolak seluruh kesenangan sia-sia dalam hidup mereka, bukan dalam gaya [hidup] para fakir pertapa dan orang-orang yang mengasingkan diri, tetapi dengan suatu pendirian yang kuat, keteguhan janji, kepuasan dan sepenuh hati sehingga membuat mereka mampu melakukan pengorbanan serta gigih melakukan pengkhidmatan terhadap beliau hingga derajat yang paling tinggi. Beliau telah membentuk suatu Jemaat yang tersebar di seluruh dunia, yang tidak ada bandingannya dalam hal pengorbanan harta. Seluruh anggota yang berpenghasilan dalam Jemaat ini berjanji sendiri untuk membayar 1/16 penghasilan mereka untuk tujuan mulia. Semangat pengorbanan sukarela dan sejumlah besar pekerjaan gotong-royong yang dilakukan di seluruh dunia, telah membuat takjub. Namun, semua ini dilaksanakan tanpa adanya paksaan sedikitpun dalam bentuk apa pun. Mereka yang mampu ikut serta dalam gotongroyong dan pengorbanan-pengorbanan harta menganggap diri mereka beruntung dapat melakukannya.
Inilah suatu golongan yang sepenuhnya berdiri sendiri dalam hal-hal keuangannya. Sistim universal sumbangan sukarela ini telah dilaksanakan selama seratus tahun dengan ketulusan yang luar biasa serta akhlak yang jujur. Di situlah terletak rahasia keberhasilan Jemaat ini menegakkan kemandiriannya dari pengaruh-pengaruh luar selama lebih satu abad. Itu, hanyalah satu sisi dari pengamatan yang ada. Menyimak kualitas para pengikut beliau dari sudut lain, [juga] menampilkan gambaran-gambaran yang tidak kurang menariknya. Ini adalah suatu Jemaat yang berdiri tegak di atas nilai-nilai moralnya, kehidupan bersama yang penuh damai, kecintaan antar sesama dan rasa hormat mendalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Ini adalah suatu golongan agama yang membuat dunia sangat kagum terhadap sikapnya yang menghormati hukum dan rasa hormatnya terhadap hubungan-hubungan manusia yang sopan tanpa membeda-bedakan agama, warna kulit, atau pun kepercayaan.
Bagi seorang pembaca hal ini dapat saja tampak bahwa kami telah menyimpang ke jalur yang tidak ada kaitannya dengan pokok permasalahan yang kami bahas. Ijinkanlah kami dengan sangat hormat menunjukkan bahwa seorang pengamat yang demikian itu telah kehilangan fokus. Keterkaitan pembahasan ini dapat dipahami lebih baik apabila dipandang dari sudut pengamatan yang baik tentang Yesus Kristus, yakni bahwa sebuah pohon dikenali melalui buahnya.3
Jika saat ini ada orang yang tertarik untuk menentukan apakah penda'waan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dapat dipercaya, inilah kriteria yang paling baik dan paling dapat dipegang. Melalui kriteria ini dapat ditentukan apakah beliau memang benar Almasih Yang Dijanjikan (Al Masihil Mau'ud) yang kedatangannya telah dinubuatkan bukan hanya oleh Yesus Kristus sendiri melainkan juga oleh Nabi Suci Islam. Menyelidiki tentang para pengikut bagaimana yang telah beliau ciptakan dan apa yang telah dilakukan oleh jangka waktu seabad ini pada mereka, akan merupakan suatu upaya yang sangat bermanfaat. Pertanyaan juga akan timbul, apakah mereka telah diperlakukan oleh zaman dengan sikap serupa seperti yang dialami para pengikut Yesus Kristus di abad pertama Kristen? Kemudian juga pertanyaan pasti akan muncul, yakni apa sikap Allah terhadap Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dalam kaitan dengan begitu banyaknya percobaan untuk membinasakan dan menghancurkan beliau serta Jemaat beliau? Apakah sikap Allah selama ini mendukung, ataukah menentang golongan yang diburu-buru seperti itu? Jika seperti orang-orang Kristen masa awal, apakah para pengikut Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad juga memperolah dukungan yang sama dari Allah terhadap segenap rintangan? Apabila, kapan saja mereka digilas melalui penganiayaan-penganiayaan, bukannya mereka hancur lebur justru mereka tampil di belahan lain dengan lebih besar dari sebelumnya dan lebih kuat serta lebih dihormati, maka sudah tentu penda' waan seorang penda' wa seperti itu tidak dapat diabaikan dan diremehkan. Itu bukanlah penda'waan muluk seorang manusia gila, atau sebuah jaring laba-laba yang dirajut oleh khayalan seseorang yang tengah mimpi di siang bolong. Ahmadiyah telah menjadi suatu kenyataan yang harus dihadapi dengan sungguh-sungguh dalam suatu cakrawala yang lebih luas daripada apa yang telah dibentuk oleh Kristen pada penghujung abad pertamanya.
Inilah kasus seorang Almasih yang merupakan kenyataan sejarah dan bukan suatu hasil khayalan, dan ini sekali lagi merupakan kasus seorang Almasih yang kedatangannya kedua kali begitu nyata seperti nyatanya kedatangan beliau untuk yang pertama kali sebagai seorang imam yang memperoleh mandat dari Tuhan. Semuanya ini tergantung pada umat manusia di zaman sekarang untuk memilih hidup terus-menerus dalam dunia legenda-legenda dan khayalan serta tetap saja menanti-nanti para pembaharu yang dijanjikan oleh agama-agama dan kepercayaankepercayaan mereka, atau menerima kenyataan-kenyataan yang sebenarnya dalam hidup ini. Satu hal yang harus kita sepakati, yakni banyak tokoh agama yang telah diangkat naik dari derajat-derajat manusia biasa ke derajat-derajat para dewa. Sering kali para pemimpin agama dibayangkan telah naik ke langit menunggu di suatu tempat di angkasa lepas untuk kedatangan mereka yang kedua kali ke planet Bumi. Tidak ada alasan mengapa orang harus menerima suatu penda'waan seperti itu dan menolak yang lain, dikarenakan itu semua hanyalah penda'waan-penda'waan saja, tanpa bukti positif dan ilmiah untuk mendukung kebenarannya. Oleh karena itu tidak ada pilihan kecuali menerima semua itu atau menolaknya secara keseluruhan. Inilah satu-satunya yang merupakan sikap jujur dan arah yang benar bagi suatu tindakan. Satu hal yang pasti, yakni sekali mereka pergi meninggalkan keberadaan mereka di bumi ini, tidak peduli dalam bentuk apa para pengikut mereka mempercayai kepergian mereka, tidak pernah di seluruh sejarah umat manusia ada seorang dari antara mereka yang telah datang kembali ke Bumi. Sekali lagi, hal ini sangat pasti bahwa segenap pemimpin suci dan ruhani seperti itu, yang telah diangkat naik ke dalam derajat dewa-dewa atau sekutu Tuhan, telah memulai hidup mereka seperti manusia biasa dan menjalani hidup mereka sampai mati dalam kehidupan seorang manusia. Para pengikut merekalah yang telah merubah mereka menjadi dewa-dewa. Namun, ingat, tidak ada satu pun di antara mereka yang pemah mempertunjukkan peran mereka dalam mengelola alam. Selamanya hanya ada Satu Tangan yang tampak mengelola hukum-hukum alam. Cermin langit dan hukum-hukum alam pada setiap tingkatan, memantulkan wajah Tuhan Yang Esa dan Tuhan Tunggal semata. Alquran Suci mengatakan:
Dan mereka itu berkata, "Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil seorang anak." Sesungguhnya kamu telah mengucapkan sesuatu yang sangat mengerikan. Hampir-hampir seluruh langit pecah oleh karenanya, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung rebah berkeping-keping. Disebabkan mereka menyatakar bahwa Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai seorang anak Padahal tidaklah layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil bagi-Nya Sendiri seorang anak. (Maryam:89-93)
Data Tahun 1994-peny.
“Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakana tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal” (Matius 12:33)
Ajaran Kristen Zaman Sekarang
Kesimpulan
Sejauh yang berkaitan dengan penyelidikan ini, kami harap kami telah melakukan keadilan yang cukup untuk itu. Namun, sebelum kita menghentikan kasus ini, di sini kami ingin membuat satu permohonan penuh kasih-sayang kepada dunia Kristen untuk turun dari menara gading rekayasa kepercayaan mereka dan turun pada kenyataan-kenyataan yang sebenamya dalam hidup.
Yesus Kristus merupakan seorang manusia sempuma dalam konteks zaman beliau, tetapi tidak lebih dari seorang manusia. Beliau mencapai puncak ketinggian yang telah ditakdirkan bagi beliau untuk dicapai sebagai seorang utusan khusus Tuhan yang dijuluki Almasih. Hal ini membuat beliau unik di antara segenap nabi sejak zaman Musa hingga masa kedatangan beliau.
Setiap nabi memang ditugaskan untuk suatu pekerjaan yang sulit. Mereka harus menciptakan perbaikan di kalangan orang-orang yang telah berubah menjadi bejad. Dalam kasus Yesus, tugas itu menjadi lebih sulit sebab beliau tidak hanya harus berperang melawan kebejadan-kebejadan yang umum di kalangan masyarakat, tetapi beliau juga harus menciptakan suatu perubahan yang dramatis dan revolusioner pada perilaku umat Yahudi.
Seperti yang terjadi dalam kasus para pengikut setiap agama, beriringan dengan peralihan zaman, mereka secara bertahap menyimpang dari kebenaran dan mulai berkelana di belantara dosa. Demikianlah yang terjadi pada kasus umat Yahudi. Pada masa kedatangan Yesus, mereka telah menjadi orang yang mati secara ruhani. Air kehidupan ruhani telah mengering, meninggalkan kalbu-kalbu membatu yang telah mati. Tugas yang telah ditetapkan bagi Yesus adalah merubah mereka kembali menjadi kalbu-kalbu insan yang berdenyut hidup dan menciptakan dari mereka sumbersumber mata air kebaikan umat manusia. Inilah mukjizat yang telah dibuat oleh Yesus dan di situlah terletak kebesaran beliau.
Sekarang dunia Islam dan Kristen bersama-sama menunggu kedatangan Yesus Kristus yang kedua kalinya, mereka seharusnya tidak lupa bahwa tokoh Yesus yang telah ditakdirkan untuk datang harus mutlak menyerupai Yesus dalam hal sifat dan jenis penugasan. Demikianlah, sesuai nubuatan nabi Islam, Hadhrat Muhammad, Yesus yang satu ini akan tampil dalam kedatangannya yang kedua kali bukanlah di kalangan dunia Kristen, melainkan di dunia Islam. Namun, mukjizat agung yang akan dia bawa adalah yang sama dengan itu. Tetapi kali ini terhadap kalbu-kalbu umat Islam di akhir zaman, yang menjadi tugasnya untuk diubah. Pemahaman tentang kedatangannya yang kedua kali seperti ini didukung sepenuhnya oleh nubuatan-nubuatan lain dari Rasulullah. Beliau meramalkan kondisi umat Islam, di akhir zaman, akan menyerupai umat Yahudi di masa keruntuhan mereka, seperti sebuah sepatu yang persis dengan pasangannya.
Oleh karena itu, jika penyakitnya akan sama, maka obatnya pun harus sama. Almasih akan kembali ke dunia dalam corak rendah hati yang sama, tidak dalam wujud [yang sama] tetapi dalam semangat dan sifat yang sama, dan inilah yang terjadi dan terpenuhi. Tokoh-tokoh Samawi dan revolusioner seperti itu selalu lahir sebagai manusia-manusia rendah hati dan biasa, serta menjalani hidup rendah hati. Mereka secara ruhani berkunjung kembali ke dunia dalam corak yang sama dan kembali diperlakukan dengan sikap sama yang tidak berperasaan, penuh prasangka, dan permusuhan yang fanatik. Mereka tidak pernah dengan mudah dapat dikenali sebagai utusan-utusan sejati bagi pihak-pihak yang telah menjanjikan kedatangan mereka kembali.
Apa yang telah terjadi pada Kristus di masa kemunculan beliau yang pertama dahulu di tangan-tangan orang Yahudi, akan kembali terjadi pada diri beliau, tetapi kali ini di tangantangan orang Islam dan Kristen yang menanti-nanti kedatangan beliau. Penantian-penantian yang keliru dan tidak nyata tentang bagaimana cara beliau datang kembali ke dunia, tujuan-tujuan sama berbau khayalan yang diharapkan beliau capai, pandangan-pandangan tidak realistis tentang penampilan beliau dan keberhasilan-keberhasilan beliau di dunia seperti yang dulu dimainkan oleh umat Yahudi pada masa Yesus Kristus, akan diulangi kembali oleh umat Islam pada masa kedatangannya yang kedua. Dan dalam bentuk demikian sejarah mengulangi kembali dirinya sendiri.
Sekarang, dengan melihat ke belakang, seseorang berada pada posisi yang lebih baik untuk memahami kegagalan orang-orang Yahudi dalam mengenali Almasih mereka. Kita dengan mudah dapat memahami kesulitan mereka dan mengambil pelajaran dari tragedi mereka. Pemahaman mereka secara harfiah terhadap Kitab Suci telah menyesatkan mereka. Semua ini telah dibahas, tetapi untuk menguraikan masalah penting ini lebih dalam, kami sekali lagi merujuknya. Hal ini selalu terjadi dalam sejarah para pembaharu agama yang dinanti-nanti, yakni orang-orang yang menanti-nantikan mereka selalu gagal mengenali mereka sebab tanda-tanda pengenalan mereka telah salah dibaca dan salah dipahami. Kenyataan-kenyataan yang sebenamya, telah diubah menjadi khayalan, sedangkan kiasan-kiasan telah dipahami secara harfiah.
Kisah samalah yang akan terulang kembali pada masa kedatangan Almasih kedua kali, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian. Seperti kasus janji akan turunnya kembali Eliya/Ilyas dari langit sebagaimana dinanti-nantikan umat Yahudi di zaman Kristus, orang sekali lagi menantinantikan peristiwa turunnya dengan tubuh kasar dari langit, kali ini yaitu Almasih sendiri.
Dalam kasus orang-orang Yahudi, mereka saat itu menanti-nantikan kedatangan Almasih yang bersimbahkan kemuliaan dan yang akan mengantarkan mereka ke era kekuasaan serta kemenangan atas para penjajah mereka, orang-orang Romawi. Seluruh penantian itu telah buyar oleh Yesus dari Nazaret. Ketika beliau telah muncul akhirnya, beliau muncul jauh berbeda dari sosok kedatangan Almasih yang dinanti-nantikan, yang telah dianut dengan sepenuh hati oleh umat Yahudi sejak berabad-abad.
Secara mengejutkan, peristiwa-peristiwa sama telah terjadi dalam kaitan dengan kedatangan Kristus dalam wujud Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian. Peran yang dimainkan oleh para penentang beliau adalah sama, hanya nama-namanya saja yang berbeda. Kelompok utama umat Islam dan Kristen sama-sama memainkan peran Yahudi di masa Yesus. Keberatan-keberatan mereka juga sama. Logika penolakannya pun sama. Namun, Allah telah memperlakukan hamba yang rendah hati ini dengan tanda--tanda dukungan-Nya yang lebih besar dibandingkan dengan Yesus zaman awal, dan telah menolong beliau menyebarluaskan amanat/ajaran beliau jauh lebih cepat di negaranegara yang lebih banyak di seluruh benua di dunia. Ini adalah fakta-fakta yang memberikan kesaksian dengan sendirinya, tetapi hanya bagi mereka yang mendengar. Ini adalah fakta-fakta yang menjadi semakin jelas dan lebih jelas beriringan dengan berjalannya waktu, tetapi hanya bagi mereka yang mau memperhatikan.
Sekali lagi, ruh ajaran mesianisme/kealmasihan dalam konteks haluan-haluan umat Islam dan Kristen zaman sekarang tidaklah berbeda. Namun, hanya merekalah yang memahami, yaitu yang tidak menutup mata mereka.
Marilah kita, pada bagian akhir, mengingatkan umat Kristen dan Islam yang menanti-nanti kemunculan kembali Kristus selama sekian abad terakhir ini, dengan menggunakan kata-kata nubuatan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, tokoh yang telah ditunjuk oleh Allah sebagai Almasih akhir zaman:
Ingatlah dengan baik, tidak ada seorang pun yang akan datang dari langit. Seluruh penentang saya yang hidup hari ini akan mati dan tidak ada di antara mereka yang akan pernah melihat Isa putra Maryam turun dari langit; kemudian anak-anak keturunan mereka yang tertinggal sesudah mereka, juga akan mati dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang akan pernah menyaksikan Isa putra Maryam turun dari langit. Dan kemudian generasi mereka yang ketiga juga akan mati dan mereka pun tidak akan menyaksikan putra Maryam turun. Kemudian Allah akan menimbulkan kekuatiran besar dalam pikiran-pikiran mereka dan mereka lalu akan berkata bahwa walaupun era keunggulan salib telah berlalu lama dan cara hidup telah berubah secara menyeluruh, tetap saja putra Maryam belum juga turun. Lalu, dalam kondisi cemas orang bijak di antara mereka akan meninggalkan kepercayaan ini, dan tiga abad sejak sekarang tidak akan berlalu ketika mereka yang menanti-nanti kedatangan Isa putra Maryam apakah mereka orang-orang Islam atau pun Kristen akan meninggalkan seluruhnya konsep ini.1 Jadi, anda boleh menunggu sampai suatu generasi
dilahirkan dan mereka juga akan menunggu sampai mereka menempuh jalan mereka dan suatu generasi baru akan mengambil alih. Suasana penantian akan terus berlanjut sampai akhir masa, tetapi Yesus dengan tubuh kasar tidak akan turun dari langit. Impian-impian kedatangan beliau secara nyata tidak akan pemah terwujudkan, tidak peduli berapa banyak orang yang menunggu kedatangan beliau kembali dengan penuh harapan. Mereka bahkan boleh membangun sebuah dinding ratapan bagi diri mereka sendiri seperti yang dilakukan umat Yahudi lebih dari tiga ribu tahun silam. Dan mereka boleh saja menghempas-hempaskan kepala mereka ke dinding itu. Namun, seperti yang telah terjadi pada kasus orang-orang Yahudi, demikian pulalah yang akan terjadi kembali. Mereka tidak akan menyaksikan mesias apa pun turun, walaupun mereka terus meratap dan sengsara, generasi demi generasi dan generasi. Penantianpenantian mereka terhadap Kristus di masa mendatang tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali kehampaan dan suatu kekosongan yang tidak akan pemah habis. Ini memang suatu harapan yang sama sekali suram.
Bagi orang-orang Kristen yang benar-benar menganggap Kristus sebagai anak Tuhan secara hakiki, izinkan kami mengakhiri pembahasan ini dengan kata-kata peringatan dari Alquran Suci, Kitab yang diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Suci Islam. Ayat-ayat ini memaparkan tujuan-tujuan kedatangan beliau:

Dia (Rasulullah) datang supaya memperingatkan mereka yang mengatakan, "Allah telah mengambil seorang anak laki-laki." Mereka tidak memiliki ilmu mengenainya, dan tidak pula nenek moyang mereka. Alangkah dahsyatnya bahaya perkataan yang keluar dari mulut mereka. Mereka tidak mengucapkan sesuatu selain dusta belaka (Al-Kahf. 5-6).
Ruhani Khazain vol. 20: Tazkiraruts Shahadatain, p. 67 169
Apendix I
Sebuah daftar buku yang memuat pemaparan tentang Marham Isa, dan suatu pernyataan bahwa ramuan ini dibuat untuk Yesus, yakni untuk luka-luka di tubuh beliau. Harap dicatat bahwa jumlah buku yang memaparkan fakta ini lebih dari seribu.
• Qanun, oleh Syeikhul Rais Bu Ali Sina, vol III, halaman 133.
• Syarah Qanun, oleh Allama Quthbuddin Syirazi, vol.III.
• Kamilus Sannat, oleh Ali bin Al-Abbas Al-Majusi, vol.III, halaman 602.
• Kitab Majmu'ah Baqai, Muhammad Ismail, Mukhatif az Khaqan oleh Khitab pidar Muhammad Baqa Khan, vol.Il, halaman 497.
• Kitab Tadzkirah Ulul Albab, oleh Syekh Daud Al-Zarir Al-Antaki, halaman 303.
• Qarabaddin Rumi, disusun sekitar masa Yesus dan diterjemahkan ke bahasa Arab pada masa kekuasaan Ma'mun Al-Rasyid, lihat: penyakit-penyakit kulit.
• Umdatul Muhtaj, oleh Ahmad bin Hasan Al-Rasyidi Al-Hakim. Dalam buku ini Marham Isa dan ramuan-ramuan lain telah dicatat dari seratus buku, mungkin lebih dari seratus buku, semua buku ini dalam bahasa Perancis.
• Qarabaddin, dalam bahasa Farsi, oleh Hakim Muhammad Akbar Arzani: penyakit-penyakit kulit.
• Syifaul Asqam, vol. II, halaman 230.
• Miratush Syifa, oleh Hakim Natho Syah — (manuscrip) penyakitpenyakit kulit.
• Zakhira Khawarazam Syahi, penyakit-penyakit kulit.
• Syarah Qanun Gilani, vol.III
• Syarah Qanun Qarsyi, vol.III.
• Qarabaddin, oleh Ulwi Khan, penyakit-penyakit kulit.
• Ilajul Amraz, oleh Hakim Muhammad Syarif Khan Sahib, halaman 893.
• Qarabadin Yunani, penyakit-penyakit kulit.
• Tuhfatul Mu'miniin, pada catatan pinggir Makhzanul Adwiya, halaman 713.
• Muhfit Fi Tibb, halaman 367.
• Aksiri Azam, vol.IV, oleh Hakim Muhammad Azam Khan Sahib, Al-Mukhatab ba Nazim-e-Jahan, halaman 331:
• Qarabaddin, oleh Ma'shumiul Ma'shum bin KaramuddinAl-Syustri Syirazi.
• Ijala-e-Nafiah, Muhammad Syarif Dehlwi, halaman 410.
• Tibb-e-Syibri, dikenal dengan nama lain sebagai Lawami Syibriyya, Syed Husein Syibr Kazimi, halaman 471.
• Makhzan-e-Sulaimani, terjemahan Aksir Arabi, halaman 599, oleh Muhammad Syamsuddin Sahib dari Bahawalpur.
• Syifaul Amradh, terjemahan Maulana Al-Hakim Muhammad Nur Karim, 282.
• Kitab AI-Tibb Dara Syakohi, oleh Nuruddin Muhammad Abdul Hakim, Ainul Mulk Al-Syirazi, halaman 360.
• Minhajud Dukhan ba Dasturul Aayan fi Aamal wa Tarkib al-Nafiah lil Abdan, oleh Aflatun-e-Zamana wa Rais-e-Awana Abdul Mina bin Nasrul Atta Al-Israili AI-Haruni (Yahudi), halaman 86.
• Zubdatut-Tibb, oleh Syaidul Imam Abu Ibrahim Ismail bin Hasan AI-Husaini AI-Jarjani, halaman 182.
• Tibbi Akbar, oleh Muhammad Akbar Arzani, halaman 242.
• Mizanul Tibb, oleh Muhammad Akbar Arzani, halaman 152.
• Sadidi, oleh Raisul Mutakallimiin Imamul Muhaqqiqiin A1-Sadidul Kazruni, vol.II, halaman 283.
• Hadi Kabir, oleh Ibnu Zakariya, penyakit-penyakit kulit.
• Qarabaddin, oleh Ibnu Talmiz, penyakit-penyakit kulit.

Daftar ini diambil dari Almasih Hindustan Mein (Almasih di Hindustan), karangan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad dari Qadian, Masih Mau'ud (Almasih yang dijanjikan), halaman 56-57.
Apendix II
Parthenogenesis: reproduksi non-seksual, yakni pertumbuhan sel telur (ovum) menjadi individu tanpa pembuahan melalui sperma.
Parthenogenesis sangat umum di dunia serangga dan ikan, dan rutin di kalangan hewan seperti aphid (sejenis serangga kecil yang memakan tumbuh-tumbuhan). Di kalangan reptil terdapat bukti kuat bahwa parthenogenesis dapat menjadi suatu strategi yang sukses bagi kadal-kadal di lingkungan dengan curah hujan yang rendah dan tidak dapat diperkirakan.1 Di Lancet pada tahun 1955 dilaporkan, seorang wanita memperoleh seorang anak perempuan di mana parthenogenesis tidak dapat disangkal. Hal ini telah diproduksi di kalangan mamalia secara eksperimen. Walau demikian, tidak ada data yang pasti mengenai kelahiran mamalia parthenogenetik. Pencapaian yang paling tinggi adalah embryo tikus dan kelinci parthenogenetik yang telah tumbuh normal separuh jalan dalam kehamilan, tetapi kemudian mati dan telah digugurkan.
Di kalangan manusia sebuah studi riset baru-baru ini dilakukan tentang "The development and systematic study of the parthenogenetic activation and early development of human oocyte."2 Dalam pengkajian ini, oocyte manusia, yang baru belum mengalami fertilasi setelah disatukan dengan sperma, dimasukkan ke dalam alkohol atau kalsium ionophore dan diteliti untuk bukti activation/pengaktifan. Hasil pengkajian ini adalah, oocyte manusia dapat diaktifkan secara parthenogenetik dengan menggunakan kalsium ionophore, tetapi dalam angka yang rendah dibandingkan dengan yang tampak pada oocyte tikus. Parthenot manusia dapat menyempurnakan divisi hingga tahap 8-sel. Data ini menampilkan adanya kemungkinan bahwa gugurnya kehamilan tahap awal pada manusia dapat saja melibatkan oocyte yang telah diaktifkan dengan spontan secara parthenogenetik.
Suatu kejadian parthenogenetik parsial pada seorang manusia telah dilaporkan di New Scientist edisi 7 Oktober 1995 dengan judul, "The boy whose blood has no father."3 Dalam kasus pria, seluruh sel harus memiliki kromosom Y, tetapi dalam kasus kajian yang satu ini mengenai seorang anak lakilaki berusia 3 tahun, sel-sel darah putih hanya mengandung kromosom XX saja. Para peliput juga memaparkan bahwa kadang-kadang, kromosom-kromosom wanita membawa satu kromosom X yang termasuk gen pria, dan para periset pada mulanya menduga kasus kajian mereka merupakan sebuah contoh sindroma tersebut. Namun, mereka telah menggunakan teknologi DNA yang sangat sensitif, dan mereka tidak berhasil mendeteksi materi kromosom Y satu pun dalam sel-sel darah putih anak itu. Akan tetapi, kulit anak itu didapati berbeda secara genetika dari darahnya, yakni memiliki kromosom X dan Y keduanya.
Suatu analisa yang lebih rinci terhadap kromosomkromosom X pada kulit dan darah anak itu, menunjukkan bahwa seluruh kromosom X identik dan sepenuhnya berasal dari ibunya. Demikian pula, anggota-anggota pada masingmasing pasangan 2 kromosom lain dalam darahnya sangat identik, seluruhnya berasal dari sang ibu. Penjelasan yang diberikan oleh para periset tersebut adalah, ovum yang belum mengalami fertilasi telah mengaktifkan dirinya sendiri dan membelah diri menjadi sel-sel yang identik; salah satu sel tersebut kemudian difertilasi oleh sperma dari sang bapak dan hasil campuran sel-sel itu mulai tumbuh sebagai sebuah embrio normal.
Hal ini menggambarkan bahwa terbentuknya sel-sel secara parthenogenetik di kalangan mamalia tidak selamanya gagal. Dalam kasus anak laki-laki ini, proses itu berhasil menciptakan suatu sistim darah normal.
Hermaphroditisme: suatu keganjilan sex, dalamnya terdapat gonads kedua jenis kelamin; alat kelamin luar menunjukkan ciri-ciri kedua jenis kelamin (jantan dan betina) dan kromosom-kromosom menunjukkan campuran jantan dan betina (xx/xy).
Sebuah studi dilakukan di Belanda tahun 1990, disebut "Combined Hermaphroditism and Auto fertilization in a Domestic Rabbit." Dalam studi ini seekor kelinci yang benar-benar hermaphrodit mengawini beberapa betina dan telah menjadi bapak bagi lebih dari 250 anak yang terdiri dari jantan dan betina. Pada musim beranak berikutnya, kelinci yang dikurung terpisah itu, menjadi hamil dan melahirkan tujuah ekor anak kelinci sehat yang terdiri dari jantan dan betina. Kelinci tersebut dikurung terpisah, dan ketika diotopsi ia kembali sedang dalam keadaan hamil dan menampakkan dua ovari yang masih berfungsi serta dua buah zakar (testis) yang subur. Sebuah preparat kromosom menunjukkan jumlah diploid autosom, dan dua kromosom sex dalam konfigurasi yang tidak jelas.
Sebuah studi telah dilakukan pada seorang manusia hermaphrodit pada Bagian Obstetrik & Ginekologi, Chicago, Rumah Sakit Lying-in, Illinois.4 Tujuan riset ini adalah untuk menentukan peristiwa-peristiwa penghamilan (konsepsi) yang terjadi pada seorang hermaphrodit tulen 46xx, 46xy, serta untuk melaporkan kehamilan pertama pada seorang hermaphrodit tulen 46xx, 46xy dengan sebuah ovotestis (ovum dan zakar).
Bentuk studi ini termasuk pengkajian kromosom pada lymphocytes (getah bening) dan fibroblasts, antigen-antigen sel darah merah, antigen-antigen leucocyte manusia, dan kehadiran y chromosome deoxyribonucleic acid telah dianalisa. Temuan-temuan itu diperbandingkan dengan data kelompok darah orangtua serta saudara kandung.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa pasien kita adalah sesuatu yang aneh; suatu organisme yang dalamnya terdapat paling tidak dua jenis tissue/jaringan [daging] yang berbeda dalam bentuk genetik mereka, juga dengan kontribusi ganda dari ibu dan bapak. Sebagai tambahan, di samping memiliki sebuah ovotestis, [pasien] wanita itu telah mengandung dan melahirkan seorang anak.
Genetics:1991 Sept: 129(1):214-9
Fertility – Sterility – 1991 Nov;56(5):904-12
Laporan ini mengenai riset David Bonthorn serta rekan-rekannya, dan merujuk pada Nature Genetics edisi Oktober 1995, tempat laporan mereka ditemukan.
ournal of Fertility and Sterility – JC:evf 57(2):346-9 1992 Feb 175

Tidak ada komentar:

Posting Komentar