Halaman

Minggu, 24 Januari 2010

temanku yang telah pergi

Hari ini hari sabtu tanggal 9 Oktober, hari yang berlalu seperti biasanya, tak ada yang berbeda sama sekali. Hanya saja, aku merasa sangat letih. “Ah, aku lelah sekali.” Jam sudah menunjukkan pukul 22.00. dan aku masih merebahkan tubuhku dipembaringan, dan melemaskan badan yang sangat letih. Yah, seperti itulah kira kira hidup yang kujalani sehari hari. Hari hari biasa engan kebiasaan yang sama pula.
Namun sepertinya malam ini akan menjadi malam yang berbeda sama sekali. Dimalam yang dingin ini, kenangan itu, kenangan 1 tahun yang lalu, telah menungguku untuk mengingatnya kembali. Ya, malam ini tepat satu tahun temanku, Zulia, meninggalkanku. Seorang teman yang memaksaku merubah apa yang selama ini kuyakini menjadi sesuatu yang lain. Dia telah membuatku membuka diri dibandingkan dari diriku yang sebelumnya. Diri yang penuh rahasia.
Aku sebenarnya tak siap menyambut kenangan itu hari ini. Namun rupanya membuat perjanjian bukanlah kebiasaannya. Dia, kenangan itu, mulai detik ini telah mengontrolku. Dan rasa rasanya waktu semalaman ini mungkin tak cukup untuk mengesampingkannya.
Mulai detik ini, hidupku harus berjalan seperti rutinitas yang harus kulalui setiap harinya. Jujur, aku mengakui kalau aku merasa gelisah. Aku merasa susah hati menjalaninya. Karena kenangan ini sepertinya akan terus hidup bersama denganku didunia ini, mungkin sampai kematian menjemputku.
*
Setahun yang lalu,
Aku adalah seorang pelajar kelas 2 SMK.. Rutinitas sehari hari selalu begitu.. Begitulah hidup, aku terjebak didalamnya. Mungkin karena itu aku menjadi seorang pemarah dan congkak. Bisa seperti itu karena perasaan iri hatiku pada teman temanku. Mereka masih bisa mejalani hari harinya tanpa beban, bebas. Bukan sepertiku, tertekan oleh beban pekerjaan sebagai murid. Sungguh, aku merasa gelisah.
Kegelisaham ini, sering kututup-tutupi dengan marah marah. Menyalahkan siapa saja. Semua orang menganggapku galak, tempramen dan berhati keras. Namun, ada yang menganggap diriku tegar. Aku lebih tahu melebihi siapapun tentang diriku sendiri. Bahwa sebenarnya aku rapuh. Sikapku yang keras, pemarah, dan egois sebetulnya merupakan bentuk pelarian terhadap hal hal yang ingin kuhindari.
Menurutkujika kau membiarkan diriku menjadi lemah lembut, menjadi penyabar, atau seorang yang pengertian, aku tak akan sanggup menghadapi hidup yang keras. Dalam hidup ini selalu ada pertarungan dan saling menaklukkan. Disitulah terdapat suatu kebanggaan. Jadi aku menempa diri dengan keras. Acapkali sikap dan tindakanku mengundang berbagai keluhan dan kemarahan orang lain.
Sesekali, aku rindu akan kehangatan. Sapaan dari orang orang yang kukenal ingin kudengar. Tapi aku ragu hal itu akan berguna. Menurutku hal itu akan membuatku besar kepala dab sama saja tenggelam dalam kelenaan dan membuat malas dalam semangat mencapai kekuasaan.
Tapi ada sesorang yang sungguh sangat mengusikku. Zulia namanya. Dia dan caranya menjalani hidup membuatku bertanya tanya. Zulia adalah kebalikan diriku. Tingkat keberhasilannya sama, bahkan caranya mungkin melebihiku. Karena itu akau mulai mengamatinya. Menurutku mungkin ada yang bisa kupelajari dari diri Zulia.
Dimanapu dia, selalu kulihat tersenyum. Sikapnya sangat berlawanan denganku. Dan aku tidak mengerti kenapa aku merasa ada yang salah dalam diriku. Sudah jelas bahwa dalam segala hal kami hamper sama. Namun Zulia selalu terlihat lebih santai. Seolah tak terbebani.
Aku hanya bisa mengangguk sebagai tanda hormat bila Zulia tersenyum padaku. Belakangan hatiku mulai bergetar bila hanya melihatnya sekilas. Mungkin juga cinta, atau peduli, atau apapunlah itu, aku pokoknya merasakan hal yang berbeda saat melihatnya. Merasa menemukan sosok yang berlawanan denganu, yang sebetulnya dulu pernah ingin aku wujudkan sebagai diriku sendiri. Penemuan ini membuatku serba salah.
Tapi ternyata dia sangat rapuh. Aku melihatnya sendiri menangis pada hari dimana aku pulang sekolah. Aku merasa kasihan padanya. Dan detik itu aku kehilangan kekaguman itu padanya; karena kerapuhanya. Aku merasa menang dengan cara yang kupilih. Aku tidak pernah mau menanggung frustasi sendirian. Lebih baik aku lemparkan pada orang lain agar bebanku berkurang. Kalau dia rasanya tidak demikian. Karena Zulia terlalu baik hati, dia menaggung bebannya sendirian.
Aku menawari mengantarkannya pulang. Zulia tak keberatan. Ternyata Zulia cerewet juga. Mungkin karena sudah menganggapku sebagai teman. Dan dia menceritakan hal hal yang selama ini mengganjal hatinya. Aku tak ingin tahu. Aku diam saja mendengarkan. Dia mempunyai keinginan yang mulia. Dan dia selalu berusaha bangkit dari keterpurukan walaupun sangat sulit. Dia mengatakan, “Dalam hidup ini banya sekali yang harus dilalui manusia dalam kehidupan ini. Karena itu aku berusaha mengerti. Jadi bila ada orang yang melakukan kesalahan, aku piker begitulah kemampuan yang dimiliki orang itu. Bukankah setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda?” Aku masih diam saja mendengarkannya.
“Terkadang aku bertanya, apakah yang kulakukan sudah benar atau salah? Tapi melihat orang lain bahagia selalu membuatku lebih lega. Aku piker, salah dan benar agak sulit dibedakan. Aku mengakui bahwa aku memang naïf. Tapi setidaknya aku mampu membuat orang lain bahagia bukan?” Itulah dirinya, dan itulah yang dilakukanya.
Dia bertanya padaku, “Apa pendapatmu, Yan ?”
Aku menjawab, “Aku tidak ingin terlibat masalah orang lain. Dia menghela nafas. Lalu katanya, “Terkadang kita akan terlibat masalah yang tak pernah kita inginkan. Karena itu kitak tak seharusnya berpangku tangan melihat orang lain mengalami kesulitan”
Aku merasa tersindir, “Kalau kita terlalu mencampuri masalah orang lain, justru akan tertimpa getahya. Bukankah masalah sendiri sudah banyak. Kau, kenapa tadi menangis? Masalahmu sendiri saja tak bisa kau atasi, kenapa masih memikirkan masalah orang lain?”
Di tersentak, dia tak menyangka perkataanya membuatku marah. “Aku minta maaf Yan. Aku hanya merasa terkadang seseorang sangat membutuhkan pertolongan. Ada banyak hal yang tak bisa diselesaikan sendirian. Begitulah maksudku yang sebenarnya Yan. Sekali lagi aku minta maaf.”
Aku diam saja. Sebenarnya aku merasa tak enak marah marah dengannya. Aku sebenarnya juga merasa ada banyak masalah yang tak bisa kuselesaiakn sendiri.
*
2 minggu kemudian,
Zulia mendadak pergi enah kemana aku tak tahu. Perpisahan ini sungguh sangat menyedihkan. Karena aku mulai merasa dialah yang akan membuatku bahagia. Hatiku serasa sakit terutama bila mengingat aku yang pernah marah marah padanya. Aku betul betul merasa kehilangan.
Aku tak tahu mengapa dia pergi dan kemana dia pergi. Dua hari sebelum dia pergi dia berkata padaku, “Yan, besok kita tak akan bisa bertemu lagi. Meski begitu, aku janji akan mengirimu surat.” Saat itu aku hanya mengangguk mendengarnya. Ah, bodohya aku. Seharusnya tak membiarkanya pergi begitu saja. Aku akui, aku benar benar mencintainya.
Sela 3 bulan dia masih mengirimiku surat. Samapi suatu saat, aku merasa aneh karena surat yang dikiriminya semakin hari semakin sedikit. Dan akhirnya Zulia tak pernah mengirimiku surat lagi. Akupun menjadi penasaran, “Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Zul?” Akhirnya akupun memutuskan untuk pergi kerumah orang tuanya di Boyolali.
Sesampainya dirumahnya, aku mengetuk pintu, “Aneh tak ada yang membuka pintu. Sebenarnya dimana kau Zul?” Kemudian aku bertanya pada tetangga-tetangganya. Rupanya Zulia sekarang ada dirumah sakit. Akupun segera pergi dan menuju rumah sakit seperti yang dikatakan tetangganya.
Irumah sakit aku bertemu dengan keluarga Zulia. Zulia tergeletak lemas. Dia memakai tabung oksigen dan alat medis lainnya. Melihat keadaan ini, aku sangat sedih. Aku sangat terpukul saat mengetahui ternyata Zulia terkena Kanker stadium IV. Aku pun segera masuk dan duduk disampingnya.

1 komentar: