Halaman

Sabtu, 23 Januari 2010

MUSIBAH

MUSIBAH
Tuhan menciptakan segala sesuatu yang ada dialam semesta ini selalu memiliki sifat kontra yang mendua. Ada baik ada jahat, ada tingggi ada rendah, ada laki laki dan perempuan, ada kaya ada miskin, ada senang ada susah, ada hidup ada mati, dan sebagainya. Hanya Tuhanlah yang bersifat Maha Satu, tanpa tandingan dan padanan.
Maksud dari penciptaan secara berpasangan ini, taida lain, agar dapat menjadi sarana bagi kita untuk dapat mengingat Tuhan. Sifat mahkluk yang mendua ini mengandung ilmu Tuhan dan hikmah bagi manusia hingga dapat mengantarkan pada ‘pengenalan’ kepada Tuhan.
Salah satu pasangan yang berlaku adalah adanya rasa senang dan sedih. Kita merasa sedih manakala ditimpa musibah, dan senang jika mendapat kenikmatan. Tuhan memberikan beragam bentuk musibah kepada kita hingga mengakibatkan munculnya rasa susah dan tertekan. Disaat hampir terhimpit inilah biasanya kita tersadar hingga kita menjadi ingat kepada Tuhan. Kita menjadi tergantung harapan kepada-Nya disaat tak ada lagi yang bisa kita harapkan dari dunia.
Oleh sebab itu sepantasnya kita bersyukur bila mendapat musibah yang membuat kita tertrekan, bukan malah menyalahkan-Nya!
Musibah adalah paket yang harus diterima, musibah adalah hadiah yang tak dapat ditawar kehadirannya. Musibah ini diberikan Tuhan sebagai ungkapan kasih sayang-Nya. Musibah adalah tanda perhatiannya kepada kita. Jika Dia tak sayang tentu kita akan dicueki atau dibiarkan begitu saja, bukan?
Seorang yang bisa berpikir pasti akan merasa merana jika ia hanya dibiarkan begitu saja. Inilah analogi dari datangnya musibah yang kita terima. Karena hidup ini adalah sebuah proses belajar-mengajar. Kita adalah murid yang sedang menempuh studi di dunia. Kita dibekali akal untuk belajar (dan terus belajar). Agar kita mampu mengambil manfaat dari setiap musibah yang kita terima.
Kita adalah siswa yang sedang bersekolah dan belajar suatu jenjang studi tertentu. Dan musibah adalah ujian semester sesuai dengan jenjang yang kita duduki. Berkesinambungan, terus-menerus, dari kanak-kanak hingga ajal menghampiri. Manusia yang sadar akan serius memanfaatkan setiap waktu dan kesempatannya untuk belajar, sehingga dia tak akan menjadi orang yang tertipu di dunia. Yang saya maksudkan belajar disini adalah ‘belajar tentang kehidupan’ (bukan di bangku sekolah secara formal saja). Agar kita dapat mengenal hakikat Tuhan.
Setiap manusia yang berakal harus belajar. Tuhanlah gurunya, kitab suci adalah buku teksnya, dan alam semesta adalah objek penelitian atau mata pelajaran yang dipelajari. Dan ilmu pengetahuan bukanlah yang hanya diperoleh dibangku sekolah atau sarana formal lain saja. Belajar dari buaian adalah pengejawantahan dari perintah ‘membaca’, yakni membaca alam semesta. Dunia adalah symbol. Alam semesta adalah objek yang penuh dengan tanda. Dibaliknya terdapat symbol yang sangat luas. Oran-orang yang tercerahkan akan mampu membaca setiap tanda yang ada didepannya
Kitab suci adalah kumpulan teori dan rumus yang berguna sebagai sarana untuk memahamai setiap catatan yang tergoreskan pada semesta, buah karya Tuhan Sang Pencipta. Dua puluh empat jam dalam sehari adalah waktu yang digunakan dalam memahami teori serta memecahkan rumus yang termaktub dalam firman Tuhan dan utusan-Nya. Diselsa-sela pembelajaran itulah terselip serangkaian ujian sebagai bahan evaluasi hasil belajar. Ujiian itu adalah ‘musibah’.
Makna Musibah
Orang yang tak memiliki lagi segala keinginan dan kehendak, sebenarnya sudah mendapatkan kunci awal menuju makrifat. Sebab jika masih saja melibatkan diri dengan objek-objek duniawi akan membuahkan apa yang disebut dengan ‘ketertarikan’. Ketertarikan itu membuahkan keinginan, dan keinginan membuahkan amarah yang merupakan sumber mula dari kehancuran manusia.
Barangkali Anda menyangkal, “Bagaimana mungkin keinginan harus dihilangkan? Bukankah keinginan merupakan bagian dari karsa manusia untuk berkarya? Bukankah ini sama saja upaya untuk menghambat kemajuan?”
Jika dipandang dari sisi kemanusiaan, pertanyaan diatas memang benar. Karena memang setiap manusia pastilah memiliki keinginan (dan kehendak). Keinginan manusia itu merupakan kepanjangan tangan dari keinginan Tuhan. Sebagai sarana pendukungnya, maka manusia diberi kekuatan. Kodrat ini juga merupakan kepanjangan dari kodrat Tuhan.
Laiknya pemain drama, dunia ini sebagai panggungnya, kitalah adalah pemainnya, dan skenarionya adalah catatan di Lauh Mahfuzh yang merupakan pengejawantahan dari kehendak Tuhan. Hidup ini akan seimbang jika segala sesuatu dialani sesuai dengan skenario. Artinya keselarasan antara skenario di Lauh Mahfuzh dengan lakon di dunia.
Namun kenyataannya, kebanyakan manusia lebih memilih menentukan lakonnya sendiri. Inilah yang kemudian memunculkan kerusakan, peperangan, dan bencana alam dimuka bumi. Jika lakon yang dibuat itu masih dalam konteks kebaikan, tak akan jadi masalah. Lantas, mengapa kebanyakan dari manusia lebih memilih jalannya sendiri yang artinya bertentangan dengan skenario Tuhan? Karena, manusia menuruti keinginannya sendiri.
Seharunya keinginan itu harus dihilangkan, hingga memunculkan kehendak-kehendak Tuhan! Para sufi mengatakan ada tiga langkah untuk menempatkan keinginan sebagaimana mestinya.
Pertama, menghilangkan keinginan itu sendiri. Tuhan akan membantu dengan musibah yang menimpa, hingga nanti manusia akan merasa putus asa terhadap dunia. Tak memiliki lagi keinginan, termasuk pula keinginan hidup; meskipun agama melarang untuk meminta mati. Jika sudah merasa benar-benar putus asa, hampa, sunyi dari kenyataan, dan tiada lagi memiliki keinginan macam-macam, dan menyerahkan apa saja pada Tuhan, hanya Tuhan yang diharapkan, bukan karena pahala, surga, apalagi dunia. Saat itulah baju kedirian telah lenyap, dan ego telah terkesampingkan, inilah yang mengantar pada kepasrahan. Orang Jawa menyebutnya ‘sumeleh’.
Inilah hikmah dari datangnya musibah bagi manusia. Musibah bukanlah sesuatu yang harus dihindari lagi. Justru seharusnya Anda harus merasa senang karena diberi musibah. Karena itu berarti Tuhan masih menyayangi dan bersedia membantu Anda.
Musibah adalah anugerah dari Tuhan. Musibah datang agar Anda merasa putus asa terhadap dunia, hingga tiada lagi memiliki keinginan, termasuk pula (mungkin) keinginan untuk hidup. Mati saat itu pula pasti akan Anda terima dengan riang.
Saat Anda sudah merasa putus asa, hampa, sunyi dari pengharapan, dan tiada lagi memiliki keinginan macam-macam, dan Anda pasrahlah sudah kepada Tuhan. Maka hanya Tuhanlah yang Anda haparkan dan Anda inginkan. Anda menjadi manusia pilihan, karena telah melepaskan baju kesendirian. Maka ego telah terlepas, ego yang menjadi penghalang Anda untuk menjumpai Tuhan.
Kedua, yakni, Tuhan akan hadir memenuhi kekosongan dan kehampaan hidup manusi. Keduakaan hati telah terganti oleh rasa tenang dan bahagia. Dan tak akan ada lagi merasa sedih hati, karena sudah tak ada lagi yang terminati.
Dengan melepasnya segala keinginan itu, hati Anda akan terisi oleh keinginan baru yang bukan lagi keinginan manusia. Kalaupun ada, itu hanyalah keinginan semu saja.
Ketiga, kehadiran keinginan terhadap dunia dalam diri sebagaimana manusia yang lain. Namun bukan lagi keinginan oleh nafsu, namun keinginan dari Tuhan. Ditunjukkan untuk pengabdian, menuruti dharma. Dan tak akan lagi tersia-siakan. Bahagia itu akan muncul dari dalam diri manusia sendiri, bukan dari nafsu ataupun orang lain. Tak tersentuh, tak ada yang sia-sia, demikian seterusnya.
Inilah makna kebahagiaan yang tak bersumber dari dunia. Bahagia muncul dari dalam diri, bukan orang lain. Tak ada orang lain yang dapat menyentuh.
Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda masih terpengaruh oleh dunia sekitar? Ketergantungan dengan orang lain masih sangat besar? Jika “ya”, inilah yang menjadi sumber kecemasan dan kesedihan Anda. Marilah kita lihat perilaku sehari-hari. Manakala orang lain mengkritik atau menghina, Anda tersinggung. Berarti anda masih memiliki keinginan untuk dihormati. Kita meyalahkan orang lain itu sebagai pihak yang membuat kita tak bahagia.
“Sebaiknya Anda tak berpikir itu akan mendatangkan keburukan. Sebab, dari sekian banyak dari mereka itu tak mengetahui maksud dari yang diucapkannya. Mereka tak menyadari bahwa sejatinya Anda telah mengunguli mereka dalam suatu hal, kesuksesan, ketegaran dalam mengarungi hidup, atau karena mereka tak mendapatkan sesuatu yang Anda peroleh. Sadarilah diri Anda adalah seekor singa yang mempunyai taget domba didepannya. Tak menghiraukan nyamuk yang menggigitnya. Dan tak ada waktu hanya untuk memikirkan gigitannya.”
Ketika kehilangan barang berharga, kita sedih dan menyalahkan keadaan, hal ini menandakan bahwa kita masih terikat dengan barang yang telah hilang itu, Anda masih terikat dengan duniawi. Dan seterusnya itu adalah yang menyebabkan kesulitan.
Sebagai tambahan, inilah yang menyebabkan manusia merasakan sakitnya sakaratul maut. Mereka tersesat saat dihampirinya. Dia mau meninggalkan dunia, namun jiwanya masih ingin menikmatinya. Akalnya masih belum rela ia pergi, hatinyapun enggan berpisah dengan yang selama ini dirasakannya. Maka, jadilah tarik-menarik, antara keinginan untuk tetap tinggal didunia dan ketentuan bahwa sudah masanya untuk meninggalkannya.
Karenanya, jangan takut dengan adanya kesulitan hidup karna musibah dan meletakannya (ketakutan) pada tempat yang salah. Sebab, kesulitan itu (jika dilandasi ketakutan yang benar pada tempatnya) akan menguatkan hati, akan merasakan akan nikmatnya sehat dan membulatkan tekad, akan mengangkat kedudukan, dan memunculkan kesabaran. Ingatlah, takdir Tuhan tak bisa diubah. Ibu Kartini menulis dalam suratnya, “Habis gelap terbitlah terang.”
Rasa takut yang Anda rasakan adalah yang akan membawa Anda pada perilaku yang beradab, menjunjung etika, dan selalu mengamalkan perintah-perintah Tuhan. Karena itu berasal dari Tuhan agar Anda sampai ke perasaan takut pada-Nya, bukan pada neraka dan siksa-Nya.
“Rasa takut hingga menjumpai ketentraman adalah lebih baik daripada perasaan tentram hingga memunculkan rasa takut”
Dan, jika Anda mau menelisik lagi, sebenarnya musibah ada karena Anda masih terikat dengan duniawi dan keinginan terhadapnya. Rasa keinginan inilah yang menjadikan sesuatu yang dirasa tidak menyenangkan menjadi bencana atau musibah.
Jika pernyataan ini Anda balik, maka dapat Anda katakana bahwa musibah itu tak ada. Adanya musibah musibah, karena Anda tak mampu memenuhi keinginan Anda. Bahkan, menjadi kebalikan darinya, apa yang Anda benci malah akan datang.
Tuhan, melalui kejadian yang mengguncang hati Anda, sebenarnya sedang mengarahkan hati Anda untuk memantapkan keyakinan bahwa semua ini bukan milik Anda Anda diharapkan-Nya untuk mampu membatasi easa kepemilikan, rasa mencintai sesuatu, dan keinginan-keinginan yang berlebihan. Sebab Tuhan adalah perbendaharaan tersembunyi yang sangat ingin dikenal oleh hamba-Nya.
“Jika pikiran manusia telah mantab terhadap penciptnya, maka dia akan tahu bahwa Tuhan tidak akan mengujinya, kecuali bahwa ujian itu akan membawa kebaikan baginya atau mengilangkan dosa besar darinya. Dengan demikian, ia akan selalu mendatangkan keuntungan yang terus berkelanjutan dan manfaat yang tiada henti.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar